Di malam yang panas, Urdin bosan bersembunyi di dalam kamar. Urdin bosan mendengarkan makian bersahut-sahutan dari ayah dan ibunya yang sedang bertengkar. Urdin bangkit dari persembunyiannya di balik selimut di atas ranjangnya. Ia mencopot piyamanya, menggantinya dengan pakaian yang pantas dipakai berpergian, lalu ia merengut sebuah tas ransel kecil dari salah satu rak di kamarnya. Ia isi ransel itu dengan sebotol air mineral, dompet, dan dua buah telepon genggamnya. Tanpa basa-basi, ia menerobos keluar pintu kamarnya. Ia tidak hiraukan sepasang orang tuanya yang masih saling meneriaki. Demikian juga kedua orang tua itu tidak menghiraukan satu-satunya anak mereka yang berjalan ke arah rak sepatu, memasang sepasang sepatu olah raga ke kakinya, dan lenyap di balik pintu depan rumah mereka.
Urdin yang telah berada di teras menarik keluar sepedanya dan memacu sepedanya secepat yang ia bisa. Kemanapun, ia tak tahu. Ia mengayuh sekuat tenaga. Angin menerpa wajahnya kuat-kuat sampai pipinya tampak sedikit bergelambir ke belakang. Teriakan pejalan kaki yang nyaris tertabrak olehnya, makian sopir angkutan umum yang nyaris menabraknya, semua tidak ia hiraukan.
Suatu ketika, Urdin masuk ke sebuah gang buntu tanpa menyadarinya karena tempat itu begitu gelap dan ia begitu kalap. Ia baru sadar ketika seorang tunawisma yang tidur di pinggir gang itu meneriakinya, "heh! Awas! Tembok!". Urdin sedikit berteriak, memejamkan mata, dan mengerem sepedanya secepat mungkin. Itulah persiapannya menghadapi tabrakan dengan tembok yang rasanya memang tak terelakkan lagi. Namun, tiba-tiba segala sesuatu seperti berjalan dengan sangat lambat. Seolah hidupnya dikendalikan oleh seorang yang jauh lebih besar dan orang itu menekan tombol "slow motion" pada rimut di tangannya. Ketika jarak antara tembok dan roda sepedanya hanya tinggal 1 milimeter, ia mendengar bisikan "tembok tidak bisa ditabrak. Tembok adalah segala kesenangan di baliknya!". Sepersekian detik, ia tersentak. Sepersekian detik, ia melihat roda depan sepedanya memasuki tembok itu. Tembus.
***
Dengan satu sentakan, Urdin bangun terduduk dan mendapati dirinya duduk di atas permukaan empuk, sementara yang dilihatnya adalah kegelapan karena sesuatu menutupi wajahnya. Dengan satu tarikan oleh tangannya, sesuatu yang menyelubungi wajah dan seluruh tubuhnya ia tarik. Maka, ia melihat cahaya dari lampu kamarnya dan selimut di tangannya. Ia menghela napas panjang.
Dengan malas, ia turun dari ranjangnya. Ia menyeret kakinya berjalan untuk mencari sebotol air mineral karena ia begitu haus. Ia ingat botol air itu sebelumnya ia letakkan di atas meja belajarnya, tapi sekarang ia tidak menemukannya di sana. Urdin memutar otaknya. Mengingat-ingat apabila ia telah memindahkan botol itu. Maka, kejadian tentang berpacu dengan sepeda, tembok, dan semuanya itu terlintas lagi di kepalanya. Buru-buru, ia mencari tas ransel kecil miliknya di rak tempat biasa ia menaruhnya. Tidak ada. Rupanya, tas ransel itu ada di atas ranjangnya. Ia buka tas itu dan mendapati botol air mineralnya ada di sana bersama sepasang telepon genggam dan dompetnya. Dengan cepat, ia serbu botol itu, ia buka tutupnya, dan ia tegak isinya sampai tandas.
Baru ia sadari, dari luar kamarnya tidak terdengar keributan lagi. Perlahan ia berjalan ke pintu kamarnya. Ia buka pintu itu dan ia keluarkan sedikit demi sedikit kepalanya. Ia dapati rumahnya diterangi cahaya, tetapi bukan cahaya lampu, melainkan cahaya matahari. Petanda hari tidak lagi malam. Aku pasti tertidur semalam, pikir Urdin.
Urdin masuk kembali ke kamarnya. Ia mengganti piyamanya dengan baju lain yang biasa ia pakai di dalam rumah. Setelah itu, ia beranjak ke dapur untuk memuaskan perutnya yang telah ribut memprotes kelaparan. Dari dapur terdengar kasak-kusuk dan Urdin yakin itu adalah pembatunya yang sedang menyiapkan sarapan bagi ia sekeluarga. Namun, begitu menerobos ke dalam dapur, ia terkejut mendapati ibunya tengah memasak. Sebelum selesai ia terkejut, ibunya telah berkata-kata dengan nada sangat riang.
"Hari ini, Mama masak masakan spesial buat kamu dan Papa!"
"A... Ada apa, ... Ma?"
"Duh, kamu lupa ya? Hari ini, ulang tahun pernikahan Papa dan Mama!"
Urdin terkejut sebab hal itu belum pernah disebut-sebut di rumahnya sepanjang hidupnya. Ibunya seolah tidak membaca keterkejutan Urdin, terus saja meneruskan pekerjaannya. Setelah selesai, ia menata semua masakannya dengan rapi di atas meja. Kemudian, ia pergi ke kamarnya sendiri untuk membangunkan suaminya. Mereka sarapan bersama.
Selama sarapan, ayah dan ibu Urdin tampak begitu akrab dan mesra. Urdin sampai tidak sanggup menelan makanannya. Ia hanya memain-mainkan makanan di piringnya dengan sendok dan grapu di tangannya. Sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya, tapi hanya dikunyah pelan-pelan tanpa ditelan, sehingga mulutnya menjadi begitu penuh. Dengan tiba-tiba, Urdin menyambar gelas berisi air mineral. Air di dalam gelas itu ia habiskan untuk mendorong makanan dalam mulutnya. Setelah itu, ia bangkit dari sana dan tanpa permisi menuju ke kamarnya.
Di dalam kamar, ia merenung. Di tengah-tengah renungannya, samar-samar ia mendengar suara pintu dibuka dengan kasar, lalu ditutup kembali dengan keras. Ia yakin, itu adalah suara pintu kamar ayah dan ibunya. Ia pun mendengar teriakan, "gak tau adat! Jangan banting-banting pintu!". Buru-buru Urdin meraih gagang pintunya, membuka pintu kamarnya, dan melongokkan kepalanya keluar kamar. Ia tidak mendapati siapapun di ruang keluarga yang menghubungkan semua kamar di dalam rumahnya. Belum sempat ia bereaksi, ia mendengar lagi teriakan parau yang samar, "lu yang gak tau adat! Jadi suami, kerjaannya cuman males-malesan! Cuman buang-buang uang! Kerja dong!". Urdin terkejut.
Begitu Urdin mengingat bahwa tadi ia bertemu ayah dan ibunya di ruang makan, ia langsung berlari ke sana. Ia terkejut lagi. Demikian juga ayah dan ibunya terkejut karena dipergoki anaknya sedang berciuman mesra. Mereka jadi salah tingkah dan muncul kemerah-merahan di wajah mereka. Seketika itu juga, Urdin lupa akan suara-suara yang didengarnya. Ia ikut salah tingkat, meminta maaf, dan cepat-cepat kembali ke kamarnya.
Kali ini, ia langsung mandi di kamar mandi dalam kamarnya. Ia mengenakan pakaian sekolahnya dengan rapi, membawa tas selempang berisi buku-buku sekolah dan alat tulis, lalu mengambil botol minumannya. Ia langsung menuju ke dapur untuk mengisi botol minumannya sampai penuh, mengambil sekotak bekal yang disediakan pembantunya, lalu ia hendak langsung beranjak ke sekolah. Namun, baru sampai di ruang keluarga, ia telah mendengar maki-makian yang sebenarnya tak mungkin pantas diperdengarkan. Juga pukulan dan tangisan. Ia mencari ke semua ruangan di rumahnya untuk menemukan asal suara itu. Tidak ada siapa-siapa. Terakhir, ia berhenti di dapur dan menemukan pembantunya.
"Mbok, Papa dan Mama mana?"
"Oh, mereka pergi. Kayaknya mau bulan madu lagi tuh..." kata pembantunya dengan nada menggoda dan senyum yang lucu.
Urdin tersenyum, mengangguk, lalu berpamit. Setelah itu, ia langsung menuju ke terasnya. Karena tidak mendapati sepedanya di sana, tanpa pikir panjang ia langsung berjalan kaki.
***
Sepulang sekolah, Urdin tiba-tiba teringat jalan buntu yang pernah ia masuki di mana ia menabrak, atau menembus, temboknya. Ia pikir, di saat siang, pasti lebih mudah melihat apa yang ada di sana. Dengan susah payah, ia mengingat-ingat jalannya. Akhirnya, ia temukan juga gang itu. Ia langsung berlari hendak menghampiri ujung jalan itu.
Betapa terkejut dirinya mendapati sepedanya di ujung jalan itu. Sedikit lecet di bagian depannya dan tergeletak di tanah. Ia menengok ke sampingnya di mana seorang tunawisma tersenyum kepadanya. Ia membalas senyuman itu. Kemudian, ia mengangkat sepedanya dan menaikinya sampai ke rumahnya.
Setelah masuk ke dalam rumahnya, kali ini ia mendengar (masih samar-samar) suara teriakan, makian, pukulan, tangisan, dan semuanya itu. Ia menjadi sangat bingung. Ia memutuskan untuk menajamkan telinganya, sehingga ia mendengar semua itu menjadi semakin jelas dan nyata. Ia ingin menangis dan berteriak karena ia mulai berpikir semua kebahagiaan ini pasti hanya mimpi dan aku pasti masih tertidur di kamarku sementara semua kegaduhan itu bercampur dengan mimpiku.
”Semua suara itu dapat kau abaikan,” tiba-tiba sebuah bisikan terdengar dan membuat Urdin terkejut.
Ia turuti saja suara itu. Ia berusaha mengabaikan suara-suara itu. Perlahan-lahan, suara-suara itu pun surut. Lalu hilang sama sekali. Betapa senang hati Urdin saat itu. Dengan riang, ia melompat ke sana ke mari.
***
”Kamu liat sekarang! Gara-gara punya ibu kayak kamu, anak kita jadi gila!”
Urdin masih terus berlompatan dan tertawa riang.
”Aku? Justru gara-gara punya bapak kayak kamu, dia jadi gila!”
Urdin tetap terus berlompatan sambil tertawa-tawa.
”Keluargaku bahagia!” teriak Urdin.
honestly, terlalu tinggi buatku. haha.. aku ga ngertiii.. hwhw.. ci, ntar klu dah jd penulis, bilang2 yh =)
BalasHapus