Kila adalah ibuku. Aku anaknya. Aku tidak boleh bertanya mengapa kepada Tuhan. Nantinya aku juga akan tahu mengapa. Setiap hal yang diadakan Tuhan mempunyai tujuan. Jadi, jika Kila menjadi ibuku dan aku menjadi anak Kila, Tuhan mempunyai tujuan untuk kami berdua. Tujuan Tuhan selalu terlalu indah untuk terbayangkan (dan aku selalu menunggu untuk menyaksikannya).
Akan kuceritakan bagaimana susahnya menjadi anak seorang Kila. Pertama, ia menganut prinsip "yang lebih tua yang lebih benar". Jadi, sesalah apapun dia dan sebenar apapun aku, tetap segala sesuatu adalah salahku. Sayangnya, peraturan itu hanya berlaku antara diriku dan dirinya. Tidak berlaku antara aku dan adikku. Dengan kata lain, dia pilih kasih. Adikku selalu dibenarkan dan aku adalah kambing hitam dalam keluarga. Kadang aku berpikir, kelahiranku tidak diinginkan. Mengapa tidak diaborsi saja? Kadang kupikir, aku ini anak pungut atau mungkin tertukar di rumah sakit. Namun, aku sangat mirip dengan Kila. Kadang, kupikir aku ini anak haram. Tidak, menurut nenekku, ayah dan ibu adalah orang-orang baik dan orang baik-baik yang menjalani hidup dengan baik dan menikah dengan baik. Kadang, kupikir Kila membenciku karena kesakitan yang dialaminya saat mengandung dan melahirkan diriku. Jika ya, seharusnya adikku mendapat perlakuan yang sama. Banyak hal lagi yang kupikirkan, tapi nenek bilang, Kila tidak membenciku. Nenek bilang, Kila sayang padaku (sungguh, sulit dipercaya), tapi ia tidak dapat mengungkapkannya. Jadi, hanya kebencian yang dapat ia ungkapkan?
Kedua, ketika aku terlibat sebuah masalah dengannya, masalah itu akan ia pendam menjadi dendam seumur hidup meskipun masalah itu sudah selesai. Meskipun ia tahu masalah itu adalah kesalahpahaman, ia tetap akan menjelek-jelekkanku sejelek-jeleknya di depan orang lain ketika ia menceritakan kembali masalah itu. Jika aku (mengalah dan) meminta maaf kepadanya untuk menyelesaikan suatu masalah, masalah itu memang selesai (sementara waktu) karena ia merasa menang. Namun, ketika di lain waktu ada masalah baru, semua masalah yang dulu-dulu akan keluar lagi dari mulutnya dengan segala bumbu, caci-maki, dan keterbalikan fakta.
Akan kuceritakan apa yang terjadi baru-baru ini. Suatu hari, ketika aku baru pulang dari sekolah, aku harus berpergian agak jauh dari tempat tinggalku di Kelapa Gading ke Rawamangun. Karena hari begitu panas dan aku membawa buku-buku yang sangat memberatkan dalam tasku, aku memutuskan untuk berpergian dengan mobil pribadi yang memang hanya satu-satunya dimiliki keluargaku dan dikendarai oleh sopir pribadi satu-satunya dalam keluargaku. Aku telah menghitung baik-baik waktu yang dapat kugunakan sebelum mobil itu akhirnya harus dipakai adikku untuk pergi kursus.
Tak lama setelah aku sampai di tempat tujuan, Kila meneleponku. Ia memarahiku dan memaki-makiku. Aku tidak sakit hati karena itu memang hal biasa. Inti pembicaraannya adalah bahwa aku egois karena tidak memikirkan adikku yang hendak pergi kursus dan membutuhkan mobil itu. Tak lama, urusanku selesai, aku hendak pulang, tetapi tak kudapati mobil pribadiku maupun sopirku. Maka, kutelepon sopirku. Rupanya, ia telah dikomando Kila untuk segera pulang dan mengantar adikku pergi les.
Masih dengan sabar, aku menelepon adikku. Adikku bahkan kebingungan ketika tahu Kila marah-marah. Rupanya, adikku tidak di rumah. Ia sedang di mal dan ia bilang ia tidak bicara apa-apa pada Kila. Ia hanya memberitahu rencananya untuk pergi ke mal kepada Ayah. Maka, ketelepon Ayah. Aku ingin tahu jika Ayah mengatakan sesuatu mengenai hal itu kepada Kila. Ayah tidak menjawab, tetapi bertanya-tanya tentang keadaan.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya keadaan memutuskan bahwa aku harus pulang berjalan kaki karena aku tidak membawa uang. Setelah lama berjalan kaki, Ayah menelepon. Ia mengabarkan bahwa ia akan menjemputku. Karena aku telah berjalan agak jauh, aku memutuskan untuk tetap berjalan sambil menunggu Ayah yang membawa mobil untuk berpapasan denganku. Untungnya, seorang pemulung bergerobak menemaniku dalam perjalanan, sehingga perjalanan itu tidak terlalu membosankan.
Usai masalah itu, aku dan Kila tidak saling bicara lagi. Kila menuduhku pembohong, penghasut, kurang ajar, durhaka, dan lain-lain. Nenek sangat sedih karena keributan itu. Nenek pun mengadakan pembicaraan empat mata denganku, lalu empat mata dengan Kila. Ia banyak menasihati kami. Setelahnya, ia memintaku untuk mengalah (lagi dan lagi dan lagi dan lagi) dan meminta maaf kepada Kila (sungguh terlalu klise!).
Tentu apa yang diminta Nenek adalah sesuatu yang sangat adil. Bukan aku yang mengandung dan melahirkan Kila. Kila yang mengandung dan melahirkanku dengan segala kesakitannya. Itu adalah sebuah hutang besar bagiku. Hutang yang seumur hidup tak akan terbayar. Bukan aku pula yang menyusui, membesarkan, dan menyekolahkan Kila, tetapi sebaliknya. Ini hutang lain yang kuharap dapat kulunasi, tetapi tak mungkin. Kenyataan bahwa ia adalah ibuku dan aku adalah anaknya adalah sebuah kenyataan yang paling memiriskan hari, tapi begitu nyata dan benar. Tak terbantah, tak terpungkiri. Jika aku hidup di zaman dulu, aku telah menjadi budak yang mengabdi kepada Kila karena hutangku yang tak terbayar kepadanya. Namun, Kila ternyata baik. Aku dipelihara dengan baik dan (menurut Nenek) penuh kasih sayang. Aku tidak dijadikan budak. Aku masih seorang merdeka dan bebas (yang terlilit hutang!).
Sebuah permintaan maaf dariku tidak akan meringankan sedikit pun hutangku kepadanya, tetapi tidak meminta maaf menjadi sebuah dosa besar yang harus kutanggung. Percayalah, ini adil!
wawww..
BalasHapuskeyeenn
hehe..
iya yaa.. klu diliat-liat bgini,
entah cpa yg sala..
smua merasa bener..
fiuh..
aku xi sos 1..
hehe..
makanya ci.. bikin chatbox dnx..
biar gampang
hehe..