Damih senang bersahabat dengan Midah. Dalam persahabatan itu, penampilan fisik tak dipertimbangkan sama sekali dan kepribadian adalah bahan pertimbangan terbesar. Namun, Damih tidak tahan dengan sikap orang-orang lain yang menganggap mereka aneh karena berbeda dari yang lain. Perbedaan yang seharusnya menjadi alat untuk saling melengkapi dan penyatu telah menjadi alat perpecahan dan penindasan, pikir Damih. Sayangnya, Damih menyerah. Ia merubah dirinya menjadi “sama” dengan orang-orang, seperti yang diinginkan orang-orang. Ia meninggalkan Midah yang teguh memegang prinsipnya.
Damih mendapat sambutan yang dikiranya baik dari orang-orang. Awalnya ia begitu tergiur dan hanyut dengan segala kehangatan buatan itu. Tidak ada lagi yang mencemooh dan mengganggunya, orang-orang menyapa ramah kepadanya saat berjumpa, mengajaknya berbincang-bincang, dan bersenda gurau dengannya.
Damih pun senang saat orang-orang mengajaknya berjalan-jalan dan menikmati hari bersama. Damih tidak lagi menekuni buku-buku tebal bersama Midah, tidak lagi menguras otak bersama Midah untuk pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru-guru sekolah, tidak lagi bergiat dengan kursus-kursus bersama Midah, dan tidak ada lagi Midah dalam hari-harinya. Hari-harinya adalah untuk berhedonisme-ria bersama teman-teman barunya yang sebagian belum ia kenal.
Hanya saja, ada hal yang mengganjal hatinya. Damih sadar tentang Midah. Midah yang kini selalu sendiri. Midah tidak pernah berusaha menghubungi Damih. Midah memang telah maklum bahwa Damih telah terseret arus deras dan melepas pegangannya dari prinsipnya. Damih pun tidak berusaha menghubungi Midah. Damih khawatir bila teman-temannya tahu bahwa ia masih berhubungan dengan Midah, teman-teman barunya itu akan menjauhinya.
Damih memang telah penuh di bawah kendali orang-orang yang telah menjadi teman-teman baginya. Teman-teman baru Damih telah mengatur tampilan Damih, tingkah laku Damih, segala yang dilakukan Damih, dan memaksa Damih untuk mengenakan tameng masal mereka. Damih akhirnya menyadari hal itu.
Damih pun akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi produktif. Waktunya tidak lagi digunakannya untuk belajar dan berkarya, tetapi terbuang sia-sia bersama teman-temannya yang juga sia-sia.
Damih sadar, teman-teman itu memang sia-sia. Mereka tidak pernah berbagi dengan Damih. Ia hanya satu diantara sekian untuk menambah jumlah mereka. Bukan untuk saling memberi selayaknya teman. Selayaknya sahabat. Seperti Midah.
Damih kembali kepada Midah. Ia menyesal dan meminta maaf. Dengan susah payah, Midah akhirnya memberi maaf untuk Damih. Mereka kembali bersahabat. Satu sahabat sejati jauh lebih baik dari seribu teman yang hanya kemunafikan belaka, pikir Damih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.