29/12/08

koma putih polos

Wah, sudah lama tidak meng-update blog! Jadi bau busuk blog basi ini!

Sebelum mengepos cerita-cerita baru, saya akan terlebih dahulu mengungkit-ungkit cerita basi yang belum sempat termuat di sini.

Salah satunya terjadi pasca ujian sekolah. Saat itu, saya sedang dikejar-kejar deadline majalah gereja. Majalah komisi remaja yang diberi julukan KOMA (singkatan dari Komisi Remaja) dengan subtitle Media Komunikasi Remaja AGAPE.

Saat itu, saya tengah dilanda kepanikan karena setelah tiga minggu merenungkan cover untuk tema “Buah Roh” dan “Keselamatan” (tema bulan November dan Desember), saya belum juga menemukan suatu gambaran atas dua tema abstrak tersebut.

Akhirnya, cover-nya hanya putih. Namun, putih itu mewakili dua tema di atas. Berikut penjelasan yang juga saya muat dalam KOMA sebagai cover story.

Dear KOMAners,

Gue tau, cover KOMA kali ini agak abnormal. Makanya, gue merasa perlu membela diri kalo dituduh “males bikin cover”.

Sebenarnya, ngerjain cover tuh penuh perjuangan, eh, pergumulan banget. Salah-salah, bisa dituduh sesat, trus dirajam massa.

Nah, untuk cover edisi ini, pergumulannya paling berat. Liat aja temanya: Buah Roh dan Keselamatan! Gak mungkin kan gambar buah-buahan? Trus, gambarnya keselamatan tuh kayak gimana? Ilustrasinya pun gak kepikiran kayak apa!

Akhirnya, setelah perjalanan putar-putar di labirin otak, gue memutuskan untuk bikin cover putih doank. Ingat, bukan karna males!

Putih tuh lambang dari kesucian. Untuk diselamatkan, Yesus telah berkorban menebus dosa kita biar kita putih bersih lagi. Dengan begitu, kita dilayakkan menghuni sorga.

Tapi, dari generasi ke generasi, edisi ke edisi, cover KOMA kan selalu pake maskot DOMBA?! Tenang saja... Cover yang ini juga pake domba. Cuman, di-zoom terlalu deket. Jadi keliatan bulunya doank: putih.

Jadi, begitu ceritanya, KOMAners...

Mohon maaf lahir dan batin yah kalo mengecewakan.

Dengan pembelaan konyol semacam itu, saya merasa cover putih polos telah sah dan baik adanya.

Kendala kembali terjadi saat proses percetakan. Waktu menunjukkan jam lima sore ketika saya telah sampai di tempat penyedia jasa fotokopi yang merangkap tempat percetakan. Saat itu hujan, sehingga saya harus naik mobil untuk sampai ke sana. Di dalam mobil, turut serta oma dan pembantu saya yang bertujuan lain.

Setelah menyerahkan tugas percetakan kepada salah satu staf di sana, saya pun berangkat menuju tempat tujuan oma dan pembantu saya. Sebuah mal di mana di dalamnya ada sebuah tempat yang menyediakan fasilitas dan jasa terapi listrik. Hal tersebut diperlukan oleh oma saya yang sakit rematik di kakinya.

Sambil belanja, saya menunggu oma saya. Setelah belanja, jam menunjukkan pukul enam petang hari. Saya teringat hasil percetakan yang harus saya ambil. Maka, saya tanyakan kepada pembantu saya yang saat itu saya kira lebih tahu, “pho-pho (bahasa Cina: oma dari pihak ibu) masih lama gak?”. “Bentar lagi,” jawabnya. Maka, saya memutuskan untuk menunggu sambil baca buku.

Tak terasa, satu bab sudah terbaca sambil menunggu. Saya melirik jam dan terkejut. Pukul tujuh malam! Sementara tempat fotokopi dan percetakan itu tutup enam tiga puluh!

Setelah segala kepanikan dan proses rumit, saya sampai di tempat fotokopian itu. Memang sudah tutup. Saya meminta sopir saya untuk mengantar pulang dahulu oma dan pembantu saya pulang, kemudian ia harus kembali lagi ke sana untuk menjemput saya.

Saya putus asa, duduk tercenung di teras tempat itu. Tak lama, beberapa perempuan Jawa (saya tahu karena mereka berdialog dalam bahasa Jawa) lewat membawa makanan dan masuk ke tempat itu melalui pintu lain. Sejenak, salah satu dari mereka melirik ke saya. Saya ingat wajahnya, tetapi tidak ingat kapan dan di mana ketemu (ia adalah staf yang saya serahi tugas mencetak KOMA). Maka, saya mengalihkan pandangan saya ke tempat lain. Pengalihan pandangan saya itu rupanya berarti sesuatu bagi perempuan itu. Ia langsung berguman, “kirain mau ngambil majalah.”

Gumamannya tentu membuat duduk saya tertegak dan saya menoleh cepat kepadanya dan berkata “emang”. Matanya membulat besar dan mulutnya menganga. Tak lama, ia merespon, “tak kira gak dateng! ‘Kan tadi adek bilang mau diambil jam setengah tujuh!”. Saya tersenyum lebar, menemukan harapan.

Dengan cepat, ia menjelaskan bahwa toko (maksudnya tempat fotokopi dan mencetak itu) telah dikunci, sehingga kami tidak dapat mengakses ke dalam. Dengan repot-repot, ia dan seorang temannya mengantarkan saya ke rumah pemilik toko yang tidak jauh dari toko tersebut.

Sayangnya, sang pemilik toko telah beranjak untuk berakhir pekan. Meskipun demikian, staf toko memberikan kepada saya nomor telepon genggam pemilik toko tersebut untuk saya hubungi. Setelah saya hubungi, kami sepakat bahwa esok paginya, ia akan mengambilkan majalah-majalah KOMA untuk saya ambil. Dengan demikian, selesai sudah masalah ini.

Masalah lain datang ketika KOMA terbit. Para pembaca memprotes keadaan cover yang putih polos. Namun, mereka bisa menerima setelah membaca cover story.

Namun, malam harinya, saya mendapat pesan singkat dari pemimpin redaksi bahwa redaktur pendahulu menyatakan bahwa cover KOMA tidak diperbolehkan tanpa gambar. Diikuti dengan saran bahwa apabila saya tidak mendapat ide, saya boleh mendiskusikannya dengan para redaktur lain. Dengan perasaan tersinggung karena merasa diremehkan begitu, saya meminta nomor telepon genggam si pendahulu.

Setelah saya hubungi, rupanya ia tidak menyatakan pelecehan semacam yang di atas itu. Ia menyatakan bahwa cover kontroversial tersebut menimbulkan masalah karena tidak semua redaktur tahu maksud dari cover tersebut, sehingga ketika jemaat lain menanyakannya, mereka hanya bisa bertidak tahu dan hal tersebut dari berbagai sudut dipandang tidak baik adanya.

Lihatlah betapa jauh informasi bisa berubah jika telah melewati terlalu banyak perantara.

Ah, demikian saja.

tinggal dalam IX

Epilog

Dari Malioboro, kami kembali ke Jakarta. Kembali ke Kelapa Gading. Kembali ke sekolah. Dari sekolah, pulang ke rumah masing-masing.

Sebentar saja saya menunggu di sekolah sebelum Ayah kandung saya menjemput saya. Setelah itu, kami mendatangi sebuah rumah makan untuk memesan lontong sayur dan lauk-pauk sebagai sarapan kami. Kami minta makanan itu dibungkus untuk dimakan di rumah.

Sampai di rumah, rasanya rindu sekali. Yang saya rindukan dari rumah adalah baunya, kehangatannya, dan toiletnya yang berada di dalam.

Setelah menghayati segala keberadaan rumah saya, saya membuka kardus besar berisi oleh-oleh dari orang tua di Ngaduman. Rupanya, isinya banyak sekali. Kentang, wortel, kembang kol, ubi jalar enak-manis-apalagi-kalau-digoreng.

Beberapa hari kemudian, kentang dan wortel menjelma sup, kembang kol menjelma sayur tumis, dan ubi jalar menjelma kolak.

-Harus TAMAT di sini-

tinggal dalam VIII

IV. Pulang atau Pergi?

Sampai di tempat di mana kami menemukan angkutan umum, Ayah dan Ibu memasukkan barang-barang kami ke dalam angkutan yang kami tempati. Kami menyalami Ayah dan berpelukan dengan Ibu. Saya masih sempat melihat Ibu menangis ketika berpisah dengan kami. Saya pun dengan susah payah menahan tangis.

*Karena saya terus-menerus menahan tangis, maka perlu saya sampaikan bahwa saya bukan menahan tangis karena sok kuat dan sebagainya, melainkan karena tidak mau concealer mata yang menutupi kantong mata saya, yang hitam-tebal-besar, luntur.

Sepanjang perjalanan di dalam angkutan umum yang senantiasa berguncang, saya banyak merenung. Saat itu, saya sama sekali tidak merasa seperti seorang kota hendak yang pulang ke kota asalnya. Saya justru merasa sebagai warga desa Ngaduman yang hendak merantau mengadu nasib di Jakarta. Sementara kebanyakan teman tampak senang akan bertemu kembali dengan keluarga mereka di kota (kebanyakan mereka menderita home-sick), saya justru sedih karena meninggalkan keluarga saya di desa.

Dengan angkutan umum tersebut, kami kembali ke pasar Kopeng. Di sana, kami berjumpa kembali dengan teman-teman yang terpisah ke desa Cuntel.

Dari pasar Kopeng, kami naik ke bis-bis kami, yang menyerupai kulkas berjalan, lagi. Dari sana, kami menuju sebuah hotel di Yogyakarta. Hotel Ruba Graha. Di hotel tersebut, terpelihara berbagai jenis hewan langka. Kebanyakan adalah reptil dan amfibi. Di hotel itu juga, kami siswa-siswi kelas IPS bertemu dengan siswa-siswi kelas IPA.

Malam harinya, kami semua bersama-sama menghadiri sendratari (mungkin ini adalah singkatan dari “seni drama tari”) Ramayana. Cerita tradisional asal India yang cukup populer di Indonesia. Rupanya, sendratari Ramayana di sekitar Candi Prambanan tersebut adalah penampilan pertama dalam rangka menjadikan Yogyakarta kota pariwisata. Sendratari tersebut dilakonkan oleh mahasiswa-mahasiswi Universitas Gajah Mada.

Selain siswa-siswi SMAK 5 BPK Penabur, beberapa menteri dari negara-negara tetangga dan beberapa menteri dari Indonesia juga menjadi penonton perdana pertunjukan tersebut. Yang sangat disayangkan adalah sikap sebagian besar menteri Indonesia yang datang terlambat, mengobrol selama pertunjukan, dan bermain telepon genggam selama pertunjukkan. Sangat tidak berkelas. Teladan buruk.

*

Setelah semalam menginap di sana Ruba Graha, siswa-siswi kelas IPA harus menempuh perjalanan ke desa. Sementara, siswa-siswi IPS berbelanja ria di Bakpia Pathok XX (bukan sensor, tapi lupa) dan Malioboro.

Di Malioboro, rombongan saya yang anggota intinya terdiri dari Pak Chris, saya, Melisa, dan Anastasia berbelanja banyak dengan Pak Chris sebagai juru tawar. Alhasil, bawaan kami bertambah dan dompet kami menipis.

Yang sangat disayangkan adalah keramaian yang terlalu padat di Malioboro memberikan kesempatan bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan pelecehan seksual terhadap beberapa siswi SMAK 5 BPK Penabur.

***

tinggal dalam VII

Ngaduman, 14 November 2008.

Talent show? Pertunjukan talenta? Pertunjukan bakat? Yah, pokoknya hari ini ada acara semacam itu. Keluarga-keluarga membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa keluarga. Tiap kelompoknya harus menyajikan drama yang merupakan persilangan cerita dongeng zaman dahulu dengan cerita modern. Hasilnya luar biasa menghibur. Apalagi, penduduk desa sangat antusias.

Kelompok saya sendiri mengadaptasikan cerita Maling Kundang dan Popeye si Pelaut ke dalam sebuah drama komedi.

Diceritakan di desa Ngaduman ada seorang bapak yang stres karena anaknya mempunyai gejala untuk menjadi sampah masyarakat. Sang bapak marah-marah kepada anaknya. Menyuruh anaknya menuntut ilmu ke kota dan menjadi orang yang berguna di kemudian hari. Dituntut demikian, si anak, Malin Kundang, menjadi stres.

Di tengah kegalauan hatinya, datang dua temannya merekomendasikan jasa dukun kepadanya. Dua temannya itu merekomendasikan dua dukun yang berbeda.

Dukun pertama ia datangi. Dukun itu memberikan resep rumit dan membacakan mantra. Ternyata, resep dan mantra dukun itu tidak cocok dengannya, sehingga ia malah menderita gatal-gatal dan iritasi ringan.

Dukun kedua ia datangi. Dukun ini direkomendasikan salah satu temannya sebagai “Sarjana Dukun”. Dukun kedua ini merekomendasikan sebuah tempat di kota, di mana Malin Kundang dapat menemukan bayam ajaib. Bayam ajaib itulah yang akan menolongnya.

Sampai di kota, ia benar-benar menemukan penjual yang memiliki bayam ajaib. Ia membeli bayam ajaib tersebut.

Baru sebentar di kota, Malin telah menambatkan hatinya kepada seorang wanita cantik, Olive Oil. Minyak Zaitun? Yah, pokoknya, Olive Oil. Ternyata, perjalanan cintanya mengahadapi kesulitan ketika datang orang ketiga di antara mereka, Brutus. Brutus yang tergila-gila kepada Olive ini tidak rela Olive bersama dengan Malin. Maka, Brutus menculik Olive.

Dengan kekuatan bayam, Malin menyelamatkan Olive. Kemudian, mereka menikah. Setelah menikah, mertua Malin dan Olive ingin bertemu dengan keluarga Malin di desa.

Rupanya, sesampai di desa, Olive tidak lagi menyukai Malin karena mengetahui ia hanya anak orang miskin. Olive pergi meninggalkannya. Sementara, Malin mati-matian menyangkal orang tuanya. Karena itu, Malin dikutuk menjadi kambing.

Tamat.

Demikianlah cerita drama kelompok saya.

Setelah pengumuman pemenang lomba pertunjukan bakat, acara dilanjutkan dengan sharing. Berbagi. Berbagi isi hati.

Tiap keluarga membentuk kelompok kecil yang duduk membentuk lingkaran kecil di atas tikar yang digelar di tengah-tengah aula gereja. Dengan lilin kecil pendramatisir suasana di tengah lingkaran kecil, kami memulai sesi berbagi ini.

Ketika sesi dimulai, saya hendak mengambil inisiatif untuk berbicara duluan. Namun, saya diserobot oleh isak tangis Ibu. Sangking tersedu-sedan ia menangis, ia sampai tidak sanggup berkata-kata. Sebagai orang yang duduk tepat di sebelahnya, saya mengelus-elus tangan dan pundaknya untuk menenangkannya. Saya melihat di sebelahnya, Yoga ikut menangis karena melihat ibunya sedih.

Setelah lebih tenang, Ibu berusaha berbicara meskipun putus-putus oleh isakannya. Dari kalimatnya yang putus-putus, saya menyadari bahwa ia sedih karena saya. Ia sedih karena kasihan melihat saya puasa tiga ronde. Puasa makan malam kemarin, puasa makan pagi dan siang hari ini. Ia takut saya sakit. Padahal saya takut bertambah buncit (saya selalu merasa mirip kucing bunting jika buncit. Kurus dan perutnya besar).

Ternyata, meskipun tidak turut menangis, Ayah pun sedih. Terdengar dari nada bicaranya. Ia sedih juga karena saya. Juga karena kasihan kepada saya. Ia kasihan ketika melihat saya bersusah payah naik-turun gunung saat berladang.

Saya jadi turut menangis karenanya. Pertama, karena saya merasa bersalah telah membuat mereka bersedih. Kedua, karena terharu akan kepedulian mereka. Sungguh, luar biasa. Anehnya, dalam tangis saya, saya masih memasang wajah tersenyum lebar. Tersenyum lebar sambil berurai air mata. Andaikata saat itu saya membaca cermin.

Bagai tidak cukup segala isak tangis itu, kami harus membicarakan perpisahan. Esok hari, kami memang akan berpisah. Namun, rasanya tidak perlu dibahas. Membuat makin sedih saja.

Pesan moral: Budayakan kepedulian terhadap sesama.

***

tinggal dalam VI

Ngaduman, 13 November 2008.

Akhirnya, kesempatan meladang tersedia untuk saya. Pagi-pagi, saya, Melisa, dan Ayah pergi meladang bersama. Mendaki gunung samapi kaki gemetaran. Terpeleset berkali-kali, untung tidak sampai jatuh. Ayah sampai memberikan saya sebilah kayu panjang berdiameter segenggaman tangan untuk dijadikan tongkat.

Kami bertiga berjalan beriringan sampai di kebun wortel milik Ayah nun jauh di atas desa. Di sana, saya dan Melisa membantu Ayah mencabuti wortel-wortel yang sudah matang. Ciri-cirinya adalah batangnya besar dan daunnya merunduk. Sayanganya, berkali-kali kami mencabut wortel yang belum cukup besar karena kami kurang pandai menganalisa daun dan batang wortel.

Setelah dari kebun wortel, kami turun agak jauh, lalu bertemu kebun kentang yang telah menunggu dipanen. Kami menggali-gali kentang yang pohonnya telah layu. Rupanya, di bawah pohon-pohon itu, tempat kentang-kentang bersemayam, ada semacam ulat kentang yang mengganggu. Namanya uret. Si hama uret ini memakani kentang. Uret ini sangat lemah. Sangat mudah mati. Ia mati jika kepanasan dan jika dibanting ke tanah. Bentuknya bulat panjang, setebal telunjuk pria dewasa pada umumnya sepanjang ibu jari pria dewasa pada umumnya, dan lembek.

Dengan hasil sekeranjang wortel dan sekarung kentang, kami pun pulang. Jalan turun pun ternyata melelahkan. Sangat mudah terpeleset. Apalagi, dengan kondisi kaki saya yang gemetaran.

Sampai di rumah, beberapa buah kentang langsung menjelma sepiring keripik kentang asin.

*

Di tengah hari, karena masalah rutin kewanitaan, saya membutuhkan tisu demi menjaga kebersihan diri. Sayangnya, tisu yang saya bawa telah habis. Maka, saya memutuskan untuk berjalan ke sebuah warung di ujung jalan. Hanya berselang beberapa rumah dari rumah saya.

Pemilik warung tersebut adalah Ibu Ningsih. Rupanya, di rumah Ibu Ningsih tidak tersedia tisu. Namun, masih ada harapan karena beberapa saat kemudian suaminya akan berangkat ke kota untuk mengambil persediaan barang. Karenanya, setelah membeli beberapa jenis barang saya kembali lagi di sore hari.

Sore hari, saya kembali ke warung Bu Ningsih.

Tok tok tok. Tok tok tok. Tok tok tok.

Beberapa ronde, saya lancarkan ketukan kepada pintu. Terdengar suara Bu Ningsih menyahut dari dalam. Tak lama, ia telah membukakan pintu dan mempersilahkan saya masuk. Namun, sayang sekali, tisu yang saya butuhkan itu belum juga ada. Suaminya lupa mengambil stok tisu di kota. Saya panik.

“Duh, gimana dong? Aku butuh nih!”

Beberapa kali saya mengeluh, membuatnya turut bingung.

Dua kali ia masuk kembali ke dalam rumah, mencari tisu, lalu keluar dengan hasil kosong.

Di kali berikutnya, ia kembali dengan separuh bungkus tisu di tangannya. Ia memberikan tisu itu kepada saya secara cuma-cuma. Ia menolak bayaran dari saya. Dengan rasa sungkan dan rasa bersalah, saya menerima tisu tersebut.

Saya berterima kasih sejadi-jadinya, lalu pamit seramah-ramahnya.

Di tengah jalan pulang, saya mendengar suara Bu Ningsih memanggil-manggil saya dari belakang. Saya berhenti, berbalik badan, dan menemukan Bu Ningsih sedang berlari ke arah saya. Di tangannya, segulung tisu. Segulung tisu yang tidak baru itu pun ia paksakan menjadi milik saya secara cuma-cuma. Rupanya, saya tak kuasa menolaknya.

Pesan moral: Berikanlah kepada mereka yang lebih membutuhkan.

***

tinggal dalam V

Ngaduman, 12 November 2008.

Hari ini, saya mendapatkan giliran mengajar di SDN 01 Kamel bersama teman-teman sukarelawan lain. Saya dan seorang teman saya, Kevin, kebagian mengajar kelas 4 SD. Kami semua mengajar bahasa Inggris. Karena mengajar, saya kehilangan kesempatan satu kali meladang bersama Ayah dan Ibu. Namun, mengajar juga merupakan sebuah kesempatan yang tidak mungkin saya lewatkan.

Bagaimana tidak? Anak-anak sungguh antusias. Rupanya, banyak juga kosakata yang telah mereka kuasai sebelum kami mengajarkannya, Semangat belajar mereka luar biasa. Dua jam penuh untuk satu mata pelajaran dan mereka antusias secara statis sampai akhir. Mereka pun tidak nakal, tidak menyeletuk tidak pantas, dan mereka mendengarkan kami dengan sungguh-sungguh.

Sayangnya, jumlah mereka sangat minim. Hanya 6-10 anak dalam satu kelas. Di kelas 4 SD, dari 10 anak hanya ada 1 perempuan. Padahal, sekolah tersebut dibuka bagi tiga desa.

Selain itu, saya juga menyesali diri saya yang belum cukup menguasai bahasa Inggris. Rupanya, Kevin pun sama-sama minim kosakata. Maka, ketika anak-anak menanyakan bahasa Inggris dari ubi jalar, kami belum bisa menjawab “sweet potato”. Juga banyak kosakata lain yang sampai sekarang masih belum saya ketahui.

Pesan moral: Pelajarilah materi baik-baik sebelum mengajarkannya kepada orang lain.

*

Di sore hari, ketika bosan menganggur di kamar yang kurang penerangan untuk membaca buku, saya beranjak ke dapur bersama Melisa. Di sana, kami dapati Ibu sedang mengupas bawang. Tanpa basa-basi, saya langsung meraih sebutir bawang merah dan mengupasnya. Tak lama, Ibu memberikan sebilah pisau bagi saya untuk menjadi alat bantu.

Setelahnya, kami bersama-sama merenungi kompor batu berkayu bakar yang tengah menyala garang. Di atasnya, kuali ceper kecil memuat sup ayam yang kuning karena berbumbu kunyit.

Tak lama, Melisa bangkit dan berjalan ke arah pintu belakang yang memang berada di dapur. Pintu tersebut terdiri dari dua bagian, atas dan bawah, masing-masing separuh. Saat itu, bagian ataslah yang terbuka.

Rupanya, di antara kami bertiga, hanya Melisa yang menyadari rerintik hujan halus di luar. Mungkin karena saya dan Ibu lebih terfokus pada gemerutuk kayu bakar. Kami berdua bangkit menyusul Melisa. Kami melihat pemandangan tertutup kabut, tetapi masih samar-samar terlihat.

“Itu di sana rumah kentang,” kata Ibu sambil menunjuk sebuah bangunan kayu-anyaman kecil. Ia bercerita bahwa akhir tahun lalu, saat musim hujan, pernah ada bagai yang merobohkan rumah itu, sehingga rumah itu harus dibangun lagi dari awal. Ia membalut cerita susah itu dalam tawa. Saya bahkan tak sanggup untuk sekedar tertawa palsu untuk membalas tawanya. Saya hanya sanggup bergelengan kepala sambil berdecak-decak sambil menahan miris dalam hati.

*

Malam hari, ketika sedang tidur-tiduran di kamar, saya meraba-raba perut saya. Saya terkejut. Perut saya membesar. Perkiraan saya, lingkar perut saya bertambah 3-4 cm. Setelah merenung-renung, saya menyadari betapa saya makan terlalu banyak dan menganggur terlalu sering. Pasti karena Ibu pandai memasak dan rajin bekerja. Tidak ada pekerjaan yang tersisa bagi saya. Yang ada hanya makanan enak berlimpah. Saya kemudian mengingat-ingat apa saja yang telah saya makan hari ini.

Pagi: nasi goreng, telor ceplok, tempe goreng, kerupuk. Pagi menjelang siang: perkedel, ubi manis super enak digoreng nikmat. Siang: sekotak besar nasi, sayur, perkedel, ayam goreng, sambal tomat, kerupuk (piknik). Sore menjelang malam: semangkuk besar kolak labu besar (yang membuat saya dan Melisa tidak sanggup memuat makan malam). Sampai menjelang tidur pun, pencernaan saya belum selesai memproses makanan-makanan tersebut. Akibatnya, pencernaan saya harus kerja lembur.

*

Pesan moral: Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang (kutipan). (Tambahan) Akan tetapi, jangan tolak makanan dari orang desa.

***

tinggal dalam IV

III. Tinggal

Ngaduman, 11 November 2008.

Setelah seluruh siswa calon penghuni baru Ngaduman tiba dan berkumpul di gereja dan penduduk setempat pun berkumpul di sana, acara pertama pun dimulai. Sambutan, pembukaan, dan pembagian rumah.

Saya serumah dengan teman saya yang bernama Melisa Lestari. Selama empat hari tiga malam, kami akan tinggal bersama keluarga angkat kami yang terdiri dari Bapak Sutrisno, Ibu Lasmini, dan anak mereka, Yoga, yang baru menginjak kelas 2 SD.

Rumah kami sangat sedehana. Berdinding kayu dan berlantai tanah. Sangat alami. Tanpa bau kimia. Perabotan sederhana seadanya, tetapi bernilai guna tinggi karena segala yang ada di sana dimanfaatkan secara maksimal. Mereka tidak membeli barang-barang yang tidak akan dipakai seperti orang-orang kota yang berbelanja karena kegatalan mata.

Sampai di rumah, kami disambut dengan sangat ramah. Empat toples makanan ringan berjejer di atas meja tamu, diperuntukkan untuk kami berdua. Dua gelas teh manis hangat langsung tersedia bagi kami.

Selanjutnya, Ayah dan Ibu angkat kami memberitahu di mana kamar kami, di mana kamar mandi (yang ternyata ada di luar rumah), di mana dapur, di mana mengambil makanan dan minuman, dan bahwa kami boleh menyedu teh sendiri.

*

Di jalanan, ayam-ayam berkeliaran, mematuki apapun yang bisa dimakan dan muat dalam paruh mereka. Di kandang dalam rumah, dua sapi berumur dua bulan dengan ukuran yang mengejutkan (bayangkan ukurannya ketika dewasa nanti) mengunyahi bubur rumput lezat buatan Ibu Lasmini. Menurut Ibu Lasmini, ketika sapi-sapi tersebut sudah dewasa, berat daging nettonya mencapai tiga kwintal per ekor. Seekor kambing tak mau kalah, melompat-lompat meminta perhatian dalam kandangnya. Ia baru berhenti ketika sejumput besar rumput kering tersaji di depannya. Dari berbagai jenis tumbuhan yang disebut-sebut Ibu Lasmini sebagai makanan ternak, hanya alang-alang yang bisa saya ingat.

Usai dari kandang, kami menuju ke dapur bersama-sama. Di sana, kami bercengkrama dengan orang tua baru kami. Di tengah kami, sebuah tungku batu yang mulutnya berisi kayu bakar yang menyala-nyala oleh api. Api menjilati pantat kuali besar yang berisi makanan ternak. Sambil mengakrabkan diri, kami menghangatkan diri.

*

Malam hari, kami tidur dengan nyenyak meskipun kedinginan. Resep anti dingin saya adalah: segelas sari jahe (saya dapatkan dari K-Mart di kilometer 57 tempat bis kami pertama kali berhenti untuk kepentingan perut keroncongan-dangdutan kami), baju lengan panjang, celana panjang, kaos kaki tebal, sarung tangan tebal, sarung, selimut tebal (disediakan oleh tuan rumah yang baik). Yah, semua itu masih kurang manjur.

Pesan moral: tengoklah keluar sangkarmu, lihatlah bentuk kehidupan lain, terkagum dan bersyukurlah.

***

tinggal dalam III

II. Keberangkatan

Seangkatan XII IPS SMAK 5 BPK Penabur berkumpul di lobi SMAK 5 BPK Penabur. Briefing. Sebagai panitia seksi (publikasi)/dokumentasi yang baik, adegan semembosankan ini pun harus saya rekam dengan penuh kesabaran.

Tak lama, siswa-siswi telah beranjak dari lobi dan memenuhi 3 bis yang disediakan sebagai alat transportasi kami. 3 bis untuk 3 kelas. Bis 1 untuk XII S-1 (panitia), bis 2 untuk XII S-2, dan bis 3 untuk XII S-3.

Setelah segala basa-basi (absen, briefing tambahan), bus pun mengeluarkan nafas berat-berat, lalu mulai melaju.

Berjam-jam di dalam bus, kaki pegal ditekuk, bahu dan leher pun pegal. Tidak lupa, kami kedinginan karena bis full AC yang benar-benar full of AC, sehingga mirip kulkas berjalan. Berkali-kali berhenti di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) demi toiletnya. Dua kali berhenti untuk makan. Kemudian, sampai di sebuah wisma bernama Sabda Mulia. Beristirahat, membersihkan diri, makan, mendengarkan kata sambutan dari seorang pria paruh baya, kemudian berangkat lagi.

Dari sana, kami berangkat ke pasar Kopeng untuk transit. Dari Kopeng, dengan angkutan umum setempat, kami berangkat ke desa masing-masing. Di sini, kami yang berdesa di Cuntel berpisah dengan yang berdesa di Ngaduman. Saya sendiri akan menjadi calon penghuni desa Ngaduman.

Rupanya, di Ngaduman sedang terjadi pembangunan jalan yang menyebabkan angkutan umum kami tidak dapat masuk lebih jauh ke tempat di mana kami harusnya diturunkan. Maka, di tengah jalan, kami turun, berjalan beberapa langkah, bertemu mobil pick-up yang akhirnya turut andil menjadi alat transportasi bagi kami. Naik mobil pick-up beramai-ramai di jalan yang terus-menerus menanjak sungguh menyenangkan. Seru.

Di sepanjang jalan, kami ditatapi oleh penduduk setempat. Awalnya, kami merasa aneh karenanya. Namun, kemudian saya berinisiatif untuk melambai-lambaikan tangan kepada penduduk. Rupanya, penduduk menyambut lambaian tangan tersebut dengan baik. Mereka melambai balik dengan senyum ramah. Karenanya, seisi mobil menjadi turut melambai-lambai setiap berpapasan dengan penduduk setempat.

Kami diantarkan sampai pusat kota Ngaduman; sebuah gereja. Di sana, kami turun, mengungsikan barang-barang bawaan kami ke dalam gereja, lalu minum teh dan makan cemilan di rumah penduduk yang berada tepat di sebelah gereja. Rupanya, rumah tersebut adalah milik arsitek gereja tersebut. Kami menunggu mobil-mobil pick-up berikutnya yang mengangkut teman-teman kami. Seluruhnya ada empat mobil.

Setelah benar-benar menginjakkan kaki di sana, saya baru merasakan apa yang telah disampaikan kakak-kakak pembimbing sebelumnya: suhu rata-rata 14 derajat Celcius, tidak ada sinyal untuk ponsel saya, dan kabut di mana-mana. Yah, desa tersebut terletak di ketinggian 1600-1800 meter di atas permukaan laut. Secara vertikal dan horizontal sangat jauh dari Jakarta.

tinggal dalam II

I. Persiapan

Beberapa bulan sebelum Live In dilaksanakan, warga kelas XII S-1 dan XII A-3, yang terpilih sebagai panitia Live In, telah terlebih dahulu kalang-kabut mempersiapkan kegiatan ini. Berbagai rapat panitia inti dan panitia-panitia kecil dilaksanakan. Berbagai hal yang harus dibicarakan, diungkapkan, dan dipersiapkan, telah diaspirasikan dalam rapat-rapat tersebut. Beberapa guru bahkan menjadi tidak senang karena di jam pelajarannya kelas menjadi begitu sepi sebagian besar warganya sedang mengikuti rapat.

Tahap persiapan ini menyenangkan dan tidak menyenangkan secara tidak merata. Maksudnya, dalam tahap ini, tidak semua anak dapat terlibat dan tidak semua anak tertampung aspirasinya. Juga, tidak semua anak mendapatkan pekerjaan yang cukup, sementara beberapa anak mendominasi segala pekerjaan, bahkan sampai pekerjaan-pekerjaan terkecil. Namun, kelak semua akan ikut hanyut dalam kenikmatan bekerja ketika hari Live In itu tiba.

Semakin dekat tanggal main, seluruh panitia semakin sibuk. Kelas-kelas non-panitia pun turut sibuk. Dari sibuk mempersiapkan diri sampai sibuk menggerecoki panitia. Di tengah hingar-bingar kesibukan tersebut, datang beberapa kabar sulit. Semuanya berhubungan dengan bentroknya kegiatan Live In dengan hal-hal lain yang penting dan harus diselenggarakan. Pertama, tes saringan masuk beberapa universitas. Kedua, ujian try-out pemerintah.

Yang pertama, tes saringan masuk beberapa universitas, berhasil diselesaikan dengan diskusi dan kompromi dengan universitas-universitas yang bersangkutan. Universitas-universitas tersebut bersedia memberikan berbagai kompensasi bagi murid-murid SMAK 5 BPK Penabur yang harus mengikuti kegiatan Live In. Namun, ada pula universitas yang tidak demikian. Untuk itu, sekolah berinisiatif memberikan kompensasi tersebut dengan mengizinkan siswa-siswi yang berkepentingan untuk pulang lebih awal.

Yang kedua, ujian try-out pemerintah. Sebelum menjabarkan solusinya, perlu diketahui bahwa kelas-kelas IPA dan IPS tidak berangkat bersamaan untuk Live In. Kelas-kelas IPS menjadi prionir sejak tanggal 10 -16 November 2008. Sementara, kelas-kelas IPA menyusul tanggal 16-23 November 2008. Maka, try-out bagi kelas-kelas IPS dan IPA dilaksanakan di waktu yang berbeda. Kelas-kelas IPS mengikuti try-out tanggal 18-20 November 2008, sedangkan kelas-kelas IPA mengikutinya tanggal 24-26 November 2008 (kalau tidak salah).

Demikian, segalanya telah beres, kami mempersiapkan keberangkatan. Kami, para panitia, mempersiapkan dan mempelajari bersama yel-yel dan lagu-lagu yang akan digunakan selama Live In. Tidak lupa, kami juga mengatur warna baju yang akan kami kenakan setiap harinya selama mengikuti kegiatan Live In.

Antara tidak sabar dan gugup, kami menanti-nantikan hari dilaksanakannya Live In.

tinggal dalam I

Prolog

Live In secara harafiah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “tinggal di dalam”. Live In dalam konteks tulisan ini tidak lagi berperan sebagai semacam kata asing, sehingga bisa ditulis tanpa cetak miring menjadi Live In. Dalam tulisan ini, Live In adalah kegiatan rutin SMAK 5 BPK Penabur yang diadakan tiap tahun selama enam tahun terakhir.

Live In adalah kegiatan di mana siswa-siswi kelas XII SMAK 5 BPK Penabur bersama-sama tinggal selama beberapa hari di desa-desa terpilih untuk mempelajari semua yang bisa dipelajari dari dan dalam kegiatan tersebut. Desa-desa terpilih tersebut adalah desa Cuntel dan desa Ngaduman. Keduanya terletak di cela-cela kecil provinsi Jawa Tengah. Sementara, pelajaran yang dapat diambil dari kegiatan tersebut sungguh banyak tak terbatas. Kesederhanaan, persatuan, tenggang rasa, kebersamaan, dan banyak lagi.

Kegiatan Live In pada tahun pelajaran 2008-2009 diselenggarakan sejak tanggal 10-23 November 2008 dengan judul Live, Laugh, Love: Susah Senang Sama-sama.

Berikut adalah catatan harian saya selama mengikuti kegiatan Live In.

17/11/08

ganggu

Dia membuatku merasa tidak nyaman. Ya, dia, yang berdiri di depan kelas dengan wajah cerah, senyum mempesona, dan postur tubuh nyaris sempurna.

Dia makin mengganggu kenyamananku dengan berjalan ke arahku, menaruh barang bawaannya tepat di sebelah kakiku, lalu berdiri tepat di sebelahku. Dengan cepat, aku men-dial sebuah nomor di telepon genggamku, lalu beranjak pergi.

“Halo? Jemput aku sekarang di sekolah.”

----

Flashback.

Plak!

Amplop merah jambu berisi sepucuk surat berisi sebait puisi terbanting di meja.

“Lo gak usah ngasih-ngasih gue beginian lagi!”

“Kenapa? Kamu gak suka?”

“Bagus kalo lo tau! Gue gak suka lo kasih gue beginian! Gue gak suka lo! Gue paling gak suka lo ganggu cewek gue!”

Seisi kelas menatap kami dengan wajah penasaran.

----

Hmmm, ya, enam tahun lalu, ketika aku mulai menaruh hati padanya, ia telah bersama perempuan itu. Ia masih bersama perempuan itu sampai sekarang. Hal ini masih menyakiti hatiku sampai sekarang. Sebetapapun aku mencoba lari dan melupakan. Aku makin merasa terpuruk setiap aku menyadari bahwa aku hanya seorang perempuan yang sangat biasa, tidak menonjol, sementara perempuan itu nyaris sempurna. Sangat cantik, postur tubuh sempurna, pandai, tegar, luar biasa, mempesona, ia pusat perhatian. Mereka berdua adalah sepasang manusia sempurna.

----

Flashback.

“Kenapa sih kamu benci aku?”

“Pecun bego! Lo gak nyadar? Gila lo ya! Lo tuh cuman bikin rusak hidup gue!”

“Aku cuman cinta kamu. Apa itu salah?”

“Salah besar bego! Makhluk jelek kayak lo tuh gak pantes deket-deket gue! Cuman bikin bencana!”

----

Ya, ya. Makhluk buruk rupa macam aku sempat merusak nama baiknya. Saat itu, aku sedang berjalan-jalan di mal. Aku melihatnya, lalu mengejar-ngejarnya. Beberapa orang yang berival dengannya melihat adegan tersebut, menyebarkan gosip ke mana-mana bahwa ia berselingkuh dengan pembantu rumah tangga.

----

Flashback.

“Gue mau minta maaf sama lo.”

“Kenapa?”

“Selama ini, gue sering jahat sama lo. Gue sering ngerjain lo. Padahal, lo kan suka sama gue.”

Pipiku memerah. “Gakpapa kok.”

“Makasi yah.”

Ia mengangkat tangan kanannya untuk menyentuh pipi kiriku, memajukan tubuhnya hingga hampir menghimpitku kepada dinding, lalu berbisik halus di telingaku.

“Kamu mau jadi pacarku?”

Sekujur tubuhku panas seketika dan wajahku merah tak terkira. Mulutku terbuka tanpa suara. Aku tak sanggup berkata-kata, apalagi menjawab.

Seketika, sejumlah tawa besar meledak.

“Hebat! Hebat lo! Hahaha!”

“Ayo kita maen lagi!”

Ternyata dia kalah taruhan.

Perasaanku? Bayangkan saja sendiri.

----

Yang menjemputku tidak datang-datang. Aku mulai bosan. Aku menoleh sekeliling. Sekejap, aku memergoki matanya melirik ke arahku. Aku beranjak ke tempat yang lebih jauh.

----

Flashback.

“Wah, lo berubah banget yah sekarang? Udah ngerti tren dan make-up.”

Aku hanya tersenyum.

“Sayang, kalo tampang udah ugly, didempul setebel apapun yah tetep ugly!”

Tawa meledak. Aku diam. Aku mengeluyur pergi. Berlari ke toilet. Menangis sesungukan di sana.

----

Akhirnya, yang menjemputku pun datang. Aku beranjak dari lobi sekolah ke lapangan parkir. Di sana, yang kutunggu setengah duduk di atas motor. Tersenyum ke arahku, menyodorkan helm dan jaket kepadaku. Aku pun balas tersenyum dan menerima sodorannya, segera mengenakannya dengan sempurna di tubuhku.

Seketika, kulihat beberapa laki-laki, termasuk dia yang kehadirannya membuatku merasa tidak nyaman, menghampiri kami.

----

Flashback.

“Kamu mau gak nerima aku jadi pacar kamu?”

“Hm? Emangnya, kamu mau sama cewek jelek kayak aku?”

“Kamu gak usah denger omongan orang yang gak bagus begitu. Kamu jangan ikut-ikutan mereka menghina ciptaan Tuhan.”

“Hm... Apa kamu suka aku?”

“Iya.”

“Sejak aku jadi lebih cantik?”

“Sejak pertama aku lihat kamu, kamu udah cantik.”

Aku tersenyum bahagia.

Aku pun tersadar seketika, berjuta adegan melintas di kepalaku sebagai bukti, selama ini ia memang begitu baik dan memperhatikanku.

----

Beberapa dari mereka membawa balok kayu. Aku mulai ketakutan. Aku berteriak. Laki-laki yang tadi kutunggu-tunggu memelukku erat.

----

Flashback.

“Hebat yah, lo sekarang udah punya cowok!”

“Iya. Jadi, sekarang lo bisa tenang. Gue gak bakal ganggu cowok lo lagi.”

“Gak segampang itu.”

“Mau apa lagi? Selama ini, kalian berdua udah cukup banyak ngerjain gue. Apa gak cukup?”

“Gak. Gue mau lo putusin cowok lo itu.”

“Hah? Lo gila!”

“Gue gak suka lo deket-deket dia!”

“Eh, lo kan udah punya cowok!”

----

Ada apa, kak?”

“Brengsek lo!”

“Aku salah apa?”

“Gue kasih tau lo! Cewek gue selama bertahun-tahun nempel-nempelin gue cuman buat ngejar lo! Ternyata lo lebih milih pecun buluk ini!”

“Jangan kasar gitu dong, kak!”

“Najis lo masih manggil gue kakak! Gue gak sudi punya adek kayak lo!”

Hantam.

Ribut.

Hantam.

Darah.

Hantam.

Ribut.

Hantam.

Habis.

----

Flasback.

“Kalo aku mati nanti, aku mau kamu inget bahwa aku cinta kamu dan buat aku selamanya kamu yang paling cantik.”

“Ih, jangan ngomong gitu ah! Serem banget sih!”

“Kita bisa mati kapan aja.”

27/10/08

lihatlah

Mungkinkah orang tua membenci anak kandungnya sendiri? Tidak, kata guruku di sekolah. Ibu guru berkata, orang tua tidak mungkin membenci anak kandungnya sendiri. Jika mereka marah, semata-mata karena rasa sayang mereka. Lihatlah Bu Guru, di televisi. Setiap siang, sambil makan siang, tontonlah berita agar kau tau bahwa ada orang tua yang tega membunuh anaknya, memperkosa anaknya, menyiksa anaknya, membuang anaknya, dan lain-lain. Tengoklah itu di sela-sela jam makan siangmu, Bu Guru.

Apabila bisa, Bu Guru, aku juga akan mengundangmu ke rumahku. Akan tetapi, kau harus menjadi invisible woman dahulu. Wanita tak terlihat. Dengan begitu, kehadiranmu tidak akan disadari kedua orang tuaku. Maka, mereka akan bersikap seperti biasa, seperti jika tidak ada tamu. Mereka tidak membunuhku, tentu saja. Mereka juga tidak memperkosaku dan tidak membuangku. Namun, mereka menyiksaku, sadar ataupun tidak.

Bu Guru, aku bisa membedakan bagaimana kemarahan karena sayang dan bagaimana kemarahan karena benci. Aku melihatnya di film-film yang cukup bermutu, bagaimana ayah atau ibu yang marah kepada anaknya karena kekecewaan yang diakibatkan kepedulian dan rasa sayang kepada anak itu. Lihatlah raut wajah mereka yang menyimpan duka dan kecewa di balik amarah. Di mata mereka ada kasih dan luka ketika mereka memukuli anak mereka.

Hal itu juga kudapati pada Kakek dan Nenek. Mereka begitu baik padaku. Mereka begitu peduli dan sayang padaku, sehingga itu juga reaksi mereka ketika aku berbuat nakal. Setelah memarahi dan memukuliku, aku selalu mendapati Nenek menangis menyesal. Setelahnya pun, mereka baik kembali kepadaku.

Bandingkanlah dengan orang tuaku, Bu Guru. Lihatlah kilat amarah di mata mereka ketika mereka menghajarku. Lihatlah raut mereka yang sangar dan beringas. Tuduhan-tuduhan dan fitnah berbalut caci-maki dalam kata-kata mereka. Mereka menanyakan penjelasan kepadaku seperti polisi mengintrogasi maling. Mereka memarahiku seperti para senior yang membenci junior di sekolah. Mereka memukuliku seperti sedang membunuh hama. Setelah itu, tidak ada yang menangis selain aku. Mereka akan pergi meninggalkan rumah dengan penuh amarah. Di luar sana, mereka bersenang-senang berdua. Kesenangan mereka masih mereka bawa pulang, paling tidak sebelum mereka melihatku.

Setelah bertemu denganku, wajah mereka kembali kusut dan penuh kebencian lagi. Mereka akan mendiamkanku berminggu-minggu, bahkan sampai kami sama-sama lupa apa kesalahanku. Mereka tidak memberiku uang jajan. Membiarkanku kelaparan sampai sakit maag. Itulah mengapa aku sering meminta obat di UKS sekolah. Teman-teman baikku yang merasa kasihan akan mentraktirku makan secara bergantian setiap hari. Mereka begitu baik dan pengertian.

Di saat-saat tertentu, Bu Guru, aku merasa aku bukan anak mereka. Maksudku, bukan anak kandung mereka. Bukan hasil pembuahan Ayah dan tidak lahir dari rahim Ibu. Namun, jika demikian, bagaimana mungkin wajahku begitu mirip dengan mereka? Juga banyak kesamaan fisik antara aku dan mereka? Nenek pun sering meyakinkanku bahwa aku sungguh anak kandung mereka. Ia bersaksi bahwa ia menyaksikan proses kelahiranku. Ia yakin bahwa aku pun bukan anak yang tertukar di rumah sakit karena bentuk dan warnaku begitu khas, sehingga ia pasti mengenaliku. Iya, waktu baru lahir aku kecil, aneh, dan kuning. Aku melihat fotoku dan tidak percaya dulu aku memang begitu. Nenek menasihatiku agar aku tidak berpikir macam-macam.

Lalu, di saat aku benar-benar membutuhkan konfirmasi dari orang tuaku, mereka malah membantah. Mereka marah-marah (mereka SELALU punya alasan untuk marah) dan memaki-makiku, anak setan, anjing, sapi, tuyul, bangsat! Jika aku memang anak setan, anjing, sapi, tuyul, atau bangsat, tentu aku bukanlah anak mereka yang keduanya adalah manusia murni asli.

Maka, aku mengerti, mereka orang tua kandungku yang tidak mau mengakuiku sebagai anak mereka. Aku hanya pembeban hidup mereka. Aku berjanji, secepat mungkin aku akan menjadi produktif. Menghasilkan uang sendiri, lalu pergi dari mereka. Ketika aku sudah sukses nanti, aku akan membayar apa yang telah kuambil dari mereka. Aku katakan itu kepada mereka. Kau tahu apa reaksi mereka, Bu Guru?

Aku diteriaki ANAK DURHAKA! Anak haram jadah! Anak sialan! Lagi-lagi, itu berarti aku bukan anak mereka. Tidak tahu diuntung! Tentu saja mereka bukan sekedar berteriak-teriak. Mereka juga memukuliku dengan gagang sapu, bangku rotan, apapun yang keras dan bisa mereka angkat untuk mereka banting. Tak lupa, menghantamkan gelas beling ke wajahku. Aku yakin, kau tidak mau lihat hasilnya. Mengerikan dan menyakitkan.

Sudahkah kau mengerti, Bu Guru? Percayakah kau sekarang, bahwa orang tua bisa saja membenci anak kandung mereka sendiri?

19/10/08

terlambat

Kau tahu guru Bina Pribadi? Atau Bina Kepribadian? Guru BK atau guru BP? Di sekolah-sekolah berjenjang Menengah Pertama dan Menengah ke Atas (jadi mau ke tengah atau ke atas nih?), mereka bercokol sebagai wadah penampung masalah murid-murid, spons penyerap air mata siswi-siswi curhat, dan –diharapkan- menjadi pemberi solusi bagi siswa-siswi yang merasa tidak sanggup mencari solusi sendiri.

Belakangan ini, aku bermasalah dengan seorang guru BP (aku lebih senang menyebutnya BP daripada BK). Ini terjadi karena saya sering sekali tidak tepat waktu hadir di sekolah. Terlambat. Begitulah.

Ketika kebetulan kami bertemu di kantin sekolah pada saat jam istirahat, ia langsung menghampiriku (yang bahkan tidak tahu ia guru apa). Saat itu, aku sedang makan sendirian di salah satu meja-sepaket-bangku kantin (karena aku berkeras mau makan di kantin, sementara teman-temanku ingin makan di kelas). Ia begitu saja duduk di depanku dan memulai ritual makan siangnya.

Percakapan di bawah ini dilakukan sambil makan, sehingga kata-kata di bawah ini terucap dengan tidak jelas dan terkadang terjadi hal-hal menjijikan (seperti makanan yang melompat keluar dari mulut).

“Halo, Rei!”

“Ya.”

“Apa kabar?”

“Bae.”

“Emm... Tadi kamu telat lagi?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Pak...”

“Entar aja yah ceritanya.”

“Kenapa?”

“Lagi makan neh.”

“Oh, iya, iya. Maaf,” kata si guru BP sambil salah tingkah.

Selesai istirahat, aku masuk ke kelas dan menceritakan “insiden kadatangan guru BP” itu kepada teman-temanku, sehingga mereka semua cekikikan.

.

Sepulang sekolah, aku membaca buku di perpustakaan. Ketika aku sedang asik membaca, tiba-tiba saja si guru BP telah duduk di depanku dan menyapaku.

“Reini.”

“Ya?”

“Kalo sekarang, udah bisa cerita?”

“Cerita apa?”

“Yah, kenapa kamu telat?”

Sejenak, aku teringat masa SMP, ketika aku begitu sering dipanggil guru BP untuk konseling. Dari masalah keterlambatan (mereka menyebutkan “kedisiplinan”), sampai masalah keluarga. Ada saja masalah yang menurut mereka perlu dikonselingkan. Saat itu, ketika aku sedang tidak ingin berbicara dengan si guru BP, aku akan memperdengarkan kepadanya apa yang ingin ia dengarkan supaya aku bisa cepat-cepat terbebas darinya. Namun, jika aku sedang bosan belajar, aku akan mengarang-ngarang masalah dan membuatnya bingung. Hahaha!

Saat ini, aku sedang ingin membaca buku, tetapi ada sedikit kejahilan menggerogoti nafsuku.

“Ooh, tadi pagi, Pak?”

“Iya.”

“Jadi gini, saya tuh kemaren udah nyalain alarm. Eh, ternyata hape saya eror! Alarmnya gak nyala deh! Saya gak kebangun deh! Telat deh!”

“Emangnya gak ada pembantu yang bangunin kamu?”

“Belum pulang mudik.”

“Papa, Mama, ato sodara kamu?”

“Biasanya mereka baru bangun setelah saya berangkat.”

Ia tampak berpikir sejenak. Selayaknya kebanyakan guru BP, berusaha memberi solusi (meskipun aku tidak butuh solusi darinya). Tak lama, ia menyerah.

“Terus, kemarin? Kamu telat kenapa?”

“Pagi-pagi, saya sembelit, Pak. Jadi saya kelamaan di kamar mandi. Habis itu, cari obat, gak ketemu. Harus ke warung dulu. Eh, warungnya pagi-pagi belum buka. Ke apotek. Apotek juga belum buka. Balik lagi ke warung, gedor-gedor pintu. Baru si Mbok keluar.”

Si guru BP geleng-geleng kepala.

“Kemarennya lagi, kenapa?”

“Itu karena hape saya mati, Pak. Saya gak tau dia lowbat. Tau-tau dia mati. Jadi, paginya dia gak bunyi deh!”

“Duh, susah juga yah.”

“Kemarennya lagi, kenapa dong?”

Wah, guru ini tidak mudah menyerah. Saya memutar otak.

“Hmm, saya lupa.”

Belum ada ide muncul.

“Kenapa yah, waktu itu? Hmm...”

Berpikir lagi.

Ah, ya!

“Oh, saya inget, Pak! Waktu itu, saya udah mau berangkat pagi-pagi. Eh, sopir saya telat! Yasudah, saya cari tukang ojek. Ternyata, pagi-pagi belum ada. Jadi saya balik lagi ke rumah. Mau minta dianter Papa. Banguninnya aja susah banget! Terus, harus nunggu dia buang air besar dulu, Pak! Parah deh!”

“Ck ck ck... Kemarennya lagi, kenapa dong?”

Haduh, guru yang satu ini keterlaluan!

“Waktu itu, saya udah bangun pagi. Terus, pas saya mau mandi, ternyata adek saya lagi boker! Harus nunggu dulu deh!”

“Kemarennya lagi? Kenapa tuh?”

“Itu... Kan pembantu saya lagi mudik. Jadi, Mama yang harusnya nyiapin sarapan. Eh, dia lupa! Saya jadi harus nyiapin sendiri. Telat deh, Pak!”

“Duh, banyak sekali alesannya!”

“Bukan alesan, Pak! Itu bener. Mana mungkin sih saya sengaja telat.”

“Iya, sih. Bapak juga gak bilang kamu sengaja. Cuman, kok halangannya banyak sekali ya?”

“Yah, mau gimana lagi, Pak...”

“Masalahnya, Rei...”

“Iya, Pak?”

“Apakah kamu jujur?”

Deg!

“Ah, mosok saya bohong sih, Pak?”

“Saya tidak menuduh kamu bohong, Rei.”

“Jadi, apa maksud Bapak?”

“Gini, Rei. Tadi pagi, saya telpon Mama kamu.”

Oh, no!!

“Kata Mama kamu, kamu selalu telat karena selalu bangun kesiangan. Padahal sudah dia bangunkan, tapi kamunya gak mau bangun-bangun.”

24/09/08

comblangkan saja

“Ehm, Ta...”

“Iya?”

“Aku pengen ngomong nih sama kamu.”

”Ngomong aja.”

”Aku udah lama suka sama kamu.”

”...”

”Kamu mau gak jadi pacarku?”

”Kita ’kan kakak-adek?”

”Tapi ’kan gak beneran.”

”Hmm...”

”Gimana? Kamu butuh waktu untuk mikir-mikir dulu.”

”Nggak deh. Aku gak mau jadi pacar kamu. Kayak gini udah cukup kok.”

***

”Ta, gimana acara nge-date lo kemaren?”

”Sukses berat! Dia nembak gue!”

”Waaah... Kalian udah jadian dong sekarang!”

”Nggak tuh!”

”Lho? Kok bisa?”

”Yah gue tolak lah!”

(Kaget) ”Kenapa ditolak?”

”Jual mahal dikit dong! Pasti dia bakal ngejar-ngejar gue terus!”

”Sumpah, lo pinter banget!”

“Hahaha! Ya iyalah!”

***

Hari biasa. Bangun pagi, mandi, mempersiapkan diri, sarapan pagi, pergi ke sekolah. Datang lebih awal 30 menit dari biasanya sebagai hukuman karena terlambat masuk sekolah di hari sebelumnya. Hari biasa yang tidak biasa bagi Udin disebabkan rencana yang telah disusun rapi oleh dirinya sendiri.

Menganggur 30 menit, belajar 3 x 45 menit, istirahat 15 menit, belajar lagi 3 x 45 menit, istirahat 30 menit, belajar lagi 3 x 45 menit, lalu pulang. Jam pulang sekolah, jam biasa yang sangat tidak biasa bagi Udin saat ini. Saatnya untuk melaksanakan rencananya. Jantungnya maraton, hatinya konser musik metal, darahnya balapan liar, otaknya tawuran, sementara tangan, kaki, dan ketiaknya banjir.

Setelah melantunkan doa ratusan kali, ia beranjak dari kelasnya ke kelas target yang telah ditentukannya.

”Ehm, Na?”

”Iya?”

”Bisa ngomong bentar?”

”Iya. Apa?”

“Ehm... Gini lho... Ehm...”

”Iya?”

”Gue tuh... Gue... Ehm...”

“Napa?”

“Gue... Suka... Ehm...”

”Apa?”

”Ehm... Sama... Elo...”

(Malu-malu)

”Ehm... Gimana kalo kita pacaran?”

”Ehm... Gimana yah... Bukannya lo lagi deket sama si Tata?”

”Iya sih...”

”Kenapa gak pacaran sama dia aja?”

”Udah gue tanya...”

”Terus?”

”Dia gak mau.”

“Oooh... Jadi lo nembak gue karena abis ditolak dia?”

“Hah? Eh... Nggak gitu sih...”

“Nggak banget deh!”

“Eh, gak gitu ceritanya...”

“Udah yah, gue pulang dulu.”

“Bentar...”

“Udah dijemput!”

***

“Ta, lo udah denger gosip terbaru belum?”

“Apaan?”

“Si Udin nembak Nana!”

“Hah?? Gak usah bohongin gue deh!”

“Suwer, Ta!”

“Sial banget tuh anak!”

“Hmmm... Udin ato Nana?”

“Semuanya!! Harus gue labrak tuh anak!”

“Hmmm... Udin ato Nana?”

“Yah Nana lah, tolol! Gak mungkin ‘kan gue labrak Udin!”

***

“Din, kalo emang udah jadian sama Tata, harusnya lo gak nembak gue waktu itu.”

“Hah? ‘Kan gue udah bilang, gue ditolak dia!”

“Jangan bo’ong, Din. Kemaren dia marah-marah sama gue.”

What the... Gila!”

***

“Din, napa dangdut gitu muka lo?”

“Seteres.”

“Cerita donk!”

“Si Tata.”

Napa dia?”

“Gue nembak dia, ditolak. Gue nembak cewek lain, dia marah.”

“Oh... Dia emang udah kayak gitu dari dulu!”

“Hah? Kok lo tau?”

“Dulu gue juga digituin sama dia!”

“Sial! Kok gue gak tau!”

“Hahaha! Lo emang gak usah jadi biang gosip, tapi tetep harus tau gosip!”

“Hhhh... Trus lo gimana dulu?”

“Gue comblangin aja dia ama cowok laen. Udah deh, lepas dari gue!”

“Oooh... Gitu toh! Terus, dulu lo comblangin dia ama sapa?”

“Elu. Hehehe...”