29/12/08

tinggal dalam IV

III. Tinggal

Ngaduman, 11 November 2008.

Setelah seluruh siswa calon penghuni baru Ngaduman tiba dan berkumpul di gereja dan penduduk setempat pun berkumpul di sana, acara pertama pun dimulai. Sambutan, pembukaan, dan pembagian rumah.

Saya serumah dengan teman saya yang bernama Melisa Lestari. Selama empat hari tiga malam, kami akan tinggal bersama keluarga angkat kami yang terdiri dari Bapak Sutrisno, Ibu Lasmini, dan anak mereka, Yoga, yang baru menginjak kelas 2 SD.

Rumah kami sangat sedehana. Berdinding kayu dan berlantai tanah. Sangat alami. Tanpa bau kimia. Perabotan sederhana seadanya, tetapi bernilai guna tinggi karena segala yang ada di sana dimanfaatkan secara maksimal. Mereka tidak membeli barang-barang yang tidak akan dipakai seperti orang-orang kota yang berbelanja karena kegatalan mata.

Sampai di rumah, kami disambut dengan sangat ramah. Empat toples makanan ringan berjejer di atas meja tamu, diperuntukkan untuk kami berdua. Dua gelas teh manis hangat langsung tersedia bagi kami.

Selanjutnya, Ayah dan Ibu angkat kami memberitahu di mana kamar kami, di mana kamar mandi (yang ternyata ada di luar rumah), di mana dapur, di mana mengambil makanan dan minuman, dan bahwa kami boleh menyedu teh sendiri.

*

Di jalanan, ayam-ayam berkeliaran, mematuki apapun yang bisa dimakan dan muat dalam paruh mereka. Di kandang dalam rumah, dua sapi berumur dua bulan dengan ukuran yang mengejutkan (bayangkan ukurannya ketika dewasa nanti) mengunyahi bubur rumput lezat buatan Ibu Lasmini. Menurut Ibu Lasmini, ketika sapi-sapi tersebut sudah dewasa, berat daging nettonya mencapai tiga kwintal per ekor. Seekor kambing tak mau kalah, melompat-lompat meminta perhatian dalam kandangnya. Ia baru berhenti ketika sejumput besar rumput kering tersaji di depannya. Dari berbagai jenis tumbuhan yang disebut-sebut Ibu Lasmini sebagai makanan ternak, hanya alang-alang yang bisa saya ingat.

Usai dari kandang, kami menuju ke dapur bersama-sama. Di sana, kami bercengkrama dengan orang tua baru kami. Di tengah kami, sebuah tungku batu yang mulutnya berisi kayu bakar yang menyala-nyala oleh api. Api menjilati pantat kuali besar yang berisi makanan ternak. Sambil mengakrabkan diri, kami menghangatkan diri.

*

Malam hari, kami tidur dengan nyenyak meskipun kedinginan. Resep anti dingin saya adalah: segelas sari jahe (saya dapatkan dari K-Mart di kilometer 57 tempat bis kami pertama kali berhenti untuk kepentingan perut keroncongan-dangdutan kami), baju lengan panjang, celana panjang, kaos kaki tebal, sarung tangan tebal, sarung, selimut tebal (disediakan oleh tuan rumah yang baik). Yah, semua itu masih kurang manjur.

Pesan moral: tengoklah keluar sangkarmu, lihatlah bentuk kehidupan lain, terkagum dan bersyukurlah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.