29/12/08

tinggal dalam VII

Ngaduman, 14 November 2008.

Talent show? Pertunjukan talenta? Pertunjukan bakat? Yah, pokoknya hari ini ada acara semacam itu. Keluarga-keluarga membentuk kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa keluarga. Tiap kelompoknya harus menyajikan drama yang merupakan persilangan cerita dongeng zaman dahulu dengan cerita modern. Hasilnya luar biasa menghibur. Apalagi, penduduk desa sangat antusias.

Kelompok saya sendiri mengadaptasikan cerita Maling Kundang dan Popeye si Pelaut ke dalam sebuah drama komedi.

Diceritakan di desa Ngaduman ada seorang bapak yang stres karena anaknya mempunyai gejala untuk menjadi sampah masyarakat. Sang bapak marah-marah kepada anaknya. Menyuruh anaknya menuntut ilmu ke kota dan menjadi orang yang berguna di kemudian hari. Dituntut demikian, si anak, Malin Kundang, menjadi stres.

Di tengah kegalauan hatinya, datang dua temannya merekomendasikan jasa dukun kepadanya. Dua temannya itu merekomendasikan dua dukun yang berbeda.

Dukun pertama ia datangi. Dukun itu memberikan resep rumit dan membacakan mantra. Ternyata, resep dan mantra dukun itu tidak cocok dengannya, sehingga ia malah menderita gatal-gatal dan iritasi ringan.

Dukun kedua ia datangi. Dukun ini direkomendasikan salah satu temannya sebagai “Sarjana Dukun”. Dukun kedua ini merekomendasikan sebuah tempat di kota, di mana Malin Kundang dapat menemukan bayam ajaib. Bayam ajaib itulah yang akan menolongnya.

Sampai di kota, ia benar-benar menemukan penjual yang memiliki bayam ajaib. Ia membeli bayam ajaib tersebut.

Baru sebentar di kota, Malin telah menambatkan hatinya kepada seorang wanita cantik, Olive Oil. Minyak Zaitun? Yah, pokoknya, Olive Oil. Ternyata, perjalanan cintanya mengahadapi kesulitan ketika datang orang ketiga di antara mereka, Brutus. Brutus yang tergila-gila kepada Olive ini tidak rela Olive bersama dengan Malin. Maka, Brutus menculik Olive.

Dengan kekuatan bayam, Malin menyelamatkan Olive. Kemudian, mereka menikah. Setelah menikah, mertua Malin dan Olive ingin bertemu dengan keluarga Malin di desa.

Rupanya, sesampai di desa, Olive tidak lagi menyukai Malin karena mengetahui ia hanya anak orang miskin. Olive pergi meninggalkannya. Sementara, Malin mati-matian menyangkal orang tuanya. Karena itu, Malin dikutuk menjadi kambing.

Tamat.

Demikianlah cerita drama kelompok saya.

Setelah pengumuman pemenang lomba pertunjukan bakat, acara dilanjutkan dengan sharing. Berbagi. Berbagi isi hati.

Tiap keluarga membentuk kelompok kecil yang duduk membentuk lingkaran kecil di atas tikar yang digelar di tengah-tengah aula gereja. Dengan lilin kecil pendramatisir suasana di tengah lingkaran kecil, kami memulai sesi berbagi ini.

Ketika sesi dimulai, saya hendak mengambil inisiatif untuk berbicara duluan. Namun, saya diserobot oleh isak tangis Ibu. Sangking tersedu-sedan ia menangis, ia sampai tidak sanggup berkata-kata. Sebagai orang yang duduk tepat di sebelahnya, saya mengelus-elus tangan dan pundaknya untuk menenangkannya. Saya melihat di sebelahnya, Yoga ikut menangis karena melihat ibunya sedih.

Setelah lebih tenang, Ibu berusaha berbicara meskipun putus-putus oleh isakannya. Dari kalimatnya yang putus-putus, saya menyadari bahwa ia sedih karena saya. Ia sedih karena kasihan melihat saya puasa tiga ronde. Puasa makan malam kemarin, puasa makan pagi dan siang hari ini. Ia takut saya sakit. Padahal saya takut bertambah buncit (saya selalu merasa mirip kucing bunting jika buncit. Kurus dan perutnya besar).

Ternyata, meskipun tidak turut menangis, Ayah pun sedih. Terdengar dari nada bicaranya. Ia sedih juga karena saya. Juga karena kasihan kepada saya. Ia kasihan ketika melihat saya bersusah payah naik-turun gunung saat berladang.

Saya jadi turut menangis karenanya. Pertama, karena saya merasa bersalah telah membuat mereka bersedih. Kedua, karena terharu akan kepedulian mereka. Sungguh, luar biasa. Anehnya, dalam tangis saya, saya masih memasang wajah tersenyum lebar. Tersenyum lebar sambil berurai air mata. Andaikata saat itu saya membaca cermin.

Bagai tidak cukup segala isak tangis itu, kami harus membicarakan perpisahan. Esok hari, kami memang akan berpisah. Namun, rasanya tidak perlu dibahas. Membuat makin sedih saja.

Pesan moral: Budayakan kepedulian terhadap sesama.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.