29/12/08

tinggal dalam III

II. Keberangkatan

Seangkatan XII IPS SMAK 5 BPK Penabur berkumpul di lobi SMAK 5 BPK Penabur. Briefing. Sebagai panitia seksi (publikasi)/dokumentasi yang baik, adegan semembosankan ini pun harus saya rekam dengan penuh kesabaran.

Tak lama, siswa-siswi telah beranjak dari lobi dan memenuhi 3 bis yang disediakan sebagai alat transportasi kami. 3 bis untuk 3 kelas. Bis 1 untuk XII S-1 (panitia), bis 2 untuk XII S-2, dan bis 3 untuk XII S-3.

Setelah segala basa-basi (absen, briefing tambahan), bus pun mengeluarkan nafas berat-berat, lalu mulai melaju.

Berjam-jam di dalam bus, kaki pegal ditekuk, bahu dan leher pun pegal. Tidak lupa, kami kedinginan karena bis full AC yang benar-benar full of AC, sehingga mirip kulkas berjalan. Berkali-kali berhenti di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) demi toiletnya. Dua kali berhenti untuk makan. Kemudian, sampai di sebuah wisma bernama Sabda Mulia. Beristirahat, membersihkan diri, makan, mendengarkan kata sambutan dari seorang pria paruh baya, kemudian berangkat lagi.

Dari sana, kami berangkat ke pasar Kopeng untuk transit. Dari Kopeng, dengan angkutan umum setempat, kami berangkat ke desa masing-masing. Di sini, kami yang berdesa di Cuntel berpisah dengan yang berdesa di Ngaduman. Saya sendiri akan menjadi calon penghuni desa Ngaduman.

Rupanya, di Ngaduman sedang terjadi pembangunan jalan yang menyebabkan angkutan umum kami tidak dapat masuk lebih jauh ke tempat di mana kami harusnya diturunkan. Maka, di tengah jalan, kami turun, berjalan beberapa langkah, bertemu mobil pick-up yang akhirnya turut andil menjadi alat transportasi bagi kami. Naik mobil pick-up beramai-ramai di jalan yang terus-menerus menanjak sungguh menyenangkan. Seru.

Di sepanjang jalan, kami ditatapi oleh penduduk setempat. Awalnya, kami merasa aneh karenanya. Namun, kemudian saya berinisiatif untuk melambai-lambaikan tangan kepada penduduk. Rupanya, penduduk menyambut lambaian tangan tersebut dengan baik. Mereka melambai balik dengan senyum ramah. Karenanya, seisi mobil menjadi turut melambai-lambai setiap berpapasan dengan penduduk setempat.

Kami diantarkan sampai pusat kota Ngaduman; sebuah gereja. Di sana, kami turun, mengungsikan barang-barang bawaan kami ke dalam gereja, lalu minum teh dan makan cemilan di rumah penduduk yang berada tepat di sebelah gereja. Rupanya, rumah tersebut adalah milik arsitek gereja tersebut. Kami menunggu mobil-mobil pick-up berikutnya yang mengangkut teman-teman kami. Seluruhnya ada empat mobil.

Setelah benar-benar menginjakkan kaki di sana, saya baru merasakan apa yang telah disampaikan kakak-kakak pembimbing sebelumnya: suhu rata-rata 14 derajat Celcius, tidak ada sinyal untuk ponsel saya, dan kabut di mana-mana. Yah, desa tersebut terletak di ketinggian 1600-1800 meter di atas permukaan laut. Secara vertikal dan horizontal sangat jauh dari Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.