28/01/18

Dua Garis.

Lyndie berduduk cantik di Oliver Brown, Haymarket, menyicipi iced soy chai latte di hari 40 derajat Celcius musim panas Sydney. Kaos batiknya yang agak longgar tampak dinamis dengan tiupan angin sepoi-sepoi yang menyeledupi pintu masuk café itu. Lyndie menatapi layar telepon genggamnya; gulir, klik, gulir, klik, hela napas, gulir, klik, gulir, hela napas.
Di umurnya sekarang, 28, Lydie sudah menikah selama 5 tahun. Ia kadang terheran-heran melihat pasangan bule yang sudah menikah seabad lebih, tapi sama sekali tidak tertarik untuk mempunyai anak. Bagi mereka, seekor anjing itu sebagaimana seorang anak. Mereka lebih tertarik untuk memegang erat kebebebasan dan masa muda mereka. Tidak demikian bagi Lyndie. Lyndie dan Sadi telah berangan-angan untuk punya banyak anak, bahkan sejak mereka masih pacaran dulu. Satu per satu, teman-teman mereka juga menikah, dan satu per satu, mereka hamil, melahirkan anak, hamil lagi, melahirkan lagi. Sementara Lyndie dan Sadi menghadapi kekecewaan demi kekecewaan setiap bulan, ketika Lyndie melihat tetes darah pertama menstruasinya. Awalnya, mereka masih bersemangat. Namun, setelah sekian bulan dikecewakan, tiap tetesan darah menjadi perwakilan darah luka hatinya juga.
Lyndie masih menatap telepon genggamnya. Layarnya menunjukkan media sosial yang menampakkan foto-foto teman-teman Lyndie. Ada yang sedang berliburan, ada yang sedang bermesraan, ada yang sedang menggendong bayi. Bayi. Hela napas. Setiap kebahagiaan yang ia rasakan untuk temannya yang diberkahi momongan, ada setitik nila kepedihan di hatinya. Ia menghela napas lagi, menahan air mata, tidak mau menangis di tempat umum. Sebentar lagi, orang yang ia tunggu akan datang dan Lyndie harus memasang muka yang kuat dan penuh kepercayaan diri.
Seorang wanita Korea memasuki café tersebut. Cara ia berjalan langkah-langkah yang tenang dan kedewasaan yang ia pancarkan membuat Lyndie menebak-nebak bahwa mungkin usianya sekitar paruh baya. Namun, pakaiannya sangat trendi, kulitnya mulus halus, rambutnya bervolume, berombak dan berkilap, dan tubuhnya langsing, membuat Lyndie sedikit iri. Ia membawa sebuah dompet berwana merah jambu dengan seleting emas, sekotak rokok, dan sebuah telepon genggam. Ia melihat sekelilingnya, mencari seseorang. Ketika matanya sampai kepada Lyndie: wanita, orang Asia, muda, duduk sendirian, ia tersenyum dan menghampiri Lyndie.

“Lyndie?”

“Yuna?”

Lyndie setengah berdiri untuk menyapa Yuna. Mereka bersalaman.

I’m so sorry to keep you waiting.”

No, that’s okay. I haven’t been here long.”

Mereka pun berbincang, memulai proses wawancara untuk pekerjaan yang Lyndie lamar minggu lalu. Untuk sementara, pikiran Lyndie terlepas bebas dari beban keinginannya sendiri. Ia hanya fokus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Yuna dan juga menanyakan beberapa pertanyaan tentang pekerjaan ini. Saat semua pertanyaan dari kedua belah pihak telah terjawab, Yuna pun beranjak berdiri dan menyimpulkan pertemuan tersebut.

I have another candidate to interview tomorrow and I will have a meeting with the girls on Monday. I’ll let you know as soon as we’ve made the decision. Sorry, I have to go to another meeting now.”

Mereka bersalaman lagi. “Thank you for meeting me,” ujar Lyndie.

Sesudah pertemuan tersebut, Lyndie langsung menelepon Sadi.

“Gimana interviewnya? Lancar?” tanya sang suami.

Lyndie memekik sebelum menjawab, “kayaknya ya. Orangnya baik sih. Duh, moga-moga dapet yah.” Dan Lyndie pun menceritakan setiap detil wawancara tersebut, yang bagi semua orang lain mungkin adalah sebuah cerita yang paling membosankan di dunia, tapi bagi Sadi, apapun yang diceritakan Lyndie adalah cerita paling menarik sedunia. Mereka pun berbincang lama di telepon.

Lyndie mengisap tetes-tetes terakhir minumannya sebelum ia beranjak berdiri, memasang earphonenya, membuka Spotify dan memainkan album 180 Astetta dari Mokoma, band heavy metal dari Finlandia yang beberapa bulan terakhir menjadi band favorit Lyndie and Sadi.

Dalam perjalanan Lyndie ke stasiun kereta api terdekat, ia melihat orang tua dengan anak-anaknya. Ia pun merasakan rasa syukur yang hangat di hatinya. Syukur atas karunia kehidupan dan kebahagiaan. Lyndie tahu bahwa ia tidak pantas menerima semua karunia kehidupan yang ia miliki dan tidak berhak menuntut sesuatu yang tidak diberikan padanya. Ia tersenyum, dalam hatinya ia berdoa, meminta ampun pada Sang Pencipta atas kekurangan rasa syukur di hatinya. Dalam doanya, juga ia selipkan permintaan untuk mendapatkan pekerjaan yang ia lamar, dan mungkin juga, mungkin, jika Sang Pencipta berkehendak, seorang momongan.

Kaki Lyndie terasa ringan ketika langkah-langkahnya diiringi suka cita dan syukur. Ia pun mengangkat wajahnya, menikmati sinar matahari, menikmati tiupan angin dan keteduhan pepohonan rindang.

Sebulan kemudian, Lyndie sadar akan sesuatu. Rasanya sudah lama tidak datang bulan. Sebelumnya ia pernah telat dua minggu yang ternyata hanya dikarenakan stress, tapi kali ini, rasanya bulan lalu tidak datang bulan dan bulan ini tidak datang bulan lagi.

Cepat-cepat, Lyndie lari ke kamarnya, membuka laci perhisannya, di mana ia juga menyimpan selusin tes kehamilan. Ia ambil satu dan ia pun berlari ke kamar mandi. Meskipun gugup, Lyndie pun tidak berharap banyak, setelah bulan-bulan di mana ia diberi kekecewaan dan diajari kesabaran.

Lyndie menunggu.

Satu garis.


-->
Dua garis.