16/08/10

tentang kematianku

Aku tahu orang-orang seperti kalian, yang merasa cukup dengan hidup, yang menanti-nanti kematian, yang bahkan datang menghampiri kematian. Dulu, aku mengalami hal yang sama, sebelum aku belajar menyukuri hidup, sebelum aku mengerti bahwa segala masalah yang kuhadapi bukanlah racun bagi hidupku, tetapi pupuk bagi jiwaku.

Namun, sekarang, aku ingin mati, lagi. Bukan karena masalah-masalah yang menghimpitku, meskipun demikian orang-orang akan menuduhku, setelah kematianku. Aku tidak peduli. Ketika aku membuka jendela apartemenku, lantai 24, aku berpikir kembali, berusaha memastikan bahwa keputusanku tepat. Aku bukan anak cengeng yang bunuh diri karena putus cinta, aku muak berbuat dosa, aku ingin berhenti berbuat dosa, dan inilah cara yang tepat.

Aku melompat.

Terjun.

Angin menerpa keras kulitku, membuat kulitku berkelepak.

Sebelum aku menyentuh aspal, aku teringat seorang teman baikku, yang memperkenalkanku kepada Tuhannya, yang mengampuni dosa manusia dan menebus manusia dari perbudakan dosa karena kasih-Nya terhadap manusia.

Lalu hitam.

29/06/10

tetang orang tua Inda

Inda:
Pagi tadi, aku punya sandwich di tangan kananku dan kopi di tangan kiriku. Mereka semua jatuh ke lantai. Terpaksa kubersihkan. Akibatnya, aku terlambat ke sekolah dan sekarang aku lapar. Dengan perut ribut, aku menghampiri kelasku. Kuketuk pintunya.

“Masuk,” kata Bu Guru.

Aku masuk.

“Kenapa kamu telat lagi?”

“Ummm... “ Aku berusaha menceritakan kisahku dengan singkat dan padat.

“Ya sudah, sana duduk,” ia memotong. Aku tidak jadi bercerita.

Begitu aku mencapai tempat dudukku, seorang siswa di belakangku menyeletuk, “huh, mentang-mentang kaya, telat terus ke sekolah!”

Aku acuh karena tidak mengerti relevansi antara kaya dan terlambat ke sekolah. Tak lama, sebuah benda keras menghantam kepalaku. Ternyata penggaris. Aku menoleh ke belakang. Kepalaku berdenyut sakit.

“Denger gak aku ngomong?” Teman sekelasku tidak senang kuacuhkan.

Aku segera menoleh ke depan, memproses air mata di mataku, lalu berteriak “Buuuuu! Adi mukul aku pake penggaris!”

“Eh, nggak kok! Nggak! Kamu bo’ong!” Adi mengelak. Aku terisak.

Bu Guru membentak, “kalian berdua ya! Kenapa selalu ribut?”

Tangisku kubuat semakin kuat “aaaaaaaaa! Adi duluan, Buuuuu!”

“Adi, kenapa kamu mukul Inda?”

“Dia kan telat, Bu...”

“Kalau Inda telat, Ibu yang hukum, bukan kamu!”

“Tapi Ibu gak hukum dia! Ibu suruh duduk!”

“Karena Ibu mau mengajar. Hukumannya nanti, waktu istirahat. Kamu juga gak boleh mukul temen kamu begitu! Minta maaf!”

“Gak mau!”

“Kamu mau Ibu hukum juga?”

“Gak mau!”

“Minta maaf!”

“Nggak!”

Jam istirahat, teman-teman berkejar-kejaran di lapangan, makan di kantin atau di kelas, aku dan Adi berdiri dengan satu kaki memijak lantai, satu kaki diangkat setinggi lutut, dan dua tangan di telinga, di depan ruang guru, ditertawakan anak-anak yang berlalu-lalang.

“Gara-gara kamu nih, aku jadi dihukum!” bentak Adi.

“Aku gak nyuruh kamu mukul aku pake penggaris.”

“Aku tadi ngomong sama kamu, tapi kamu cuekin!”

“Abis omongan kamu gak penting!”

“Sialan!”

Kami pun saling pukul sampai seorang guru datang melerai. Kami pun naik banding ke ruang kepala sekolah. Kedua orang tua kami dipanggil. Seperti biasa, orang tuaku tidak pernah menggubris panggilan sekolah. Tanteku, seperti biasa, memenuhi panggilan kepala sekolah.


Bahkan ketika aku diwisuda dari perguruan tinggi. Bahkan ketika anak mereka memperoleh nilai tertinggi di angkatannya. Seperti biasa, hanya Tante yang datang.

“Jeng Diah, Inda,” Ibu Adi datang menghampiri kami dengan senyumnya yang selalu tulus dan hangat, “ayo foto bareng kita.”

“Tante! Ayo!”

Aku dan tanteku bergabung dengan Adi sekeluarga.

Adi, seperti biasa, kuliah dengan beasiswa. Sejak SD, selalu beasiswa. Orang tuanya tidak sanggup membiayainya. Ia anak tunggal yang sangat berbakat dan pintar, dari keluarga yang tidak berada. Orang tuanya tentu menaruh harapan yang sangat besar padanya.

“Lu kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”

“Lagi mikir aja,” kataku, “gue punya orang tua yang bisa bayarin sekolah, tapi males.Elu...”

“Hahaha... Tapi 4 tahun ini lu rajin banget banget banget!”

“Iya, karena gue mau nunjukin ke bokap nyokap gue kalo gue bisa... Emmm... Gitu deh. Ternyata...”

“Jangan sedih, Da. Gue yakin, nyokap lu sebenernya bangga sama lu.”

“Hah... Dateng aja nggak.”

Ia terdiam. Merenung.

“Udah lah! Starbucks! Ngidam green tea!” seruku.

Kenakalan dan nilai rendah tidak sanggup menarik perhatian mereka. Nilai tinggi dan prestasi pun tidak.

“Da,” panggil Adi ketika aku sedang menyeruput teh hijau dinginku, “kayaknya gue bakal langsung ngelanjutin S2 deh.”

Aku hampir tersendak.

“Gak salah? Gak mau cari kerja dulu? Istirahat dulu?”

“Hehehe. Nggak, Da. Gue udah dapet beasiswa, tapi di Jogja. Bulan depan gue udah harus berangkat.”

Aku benar-benar tersendak. Aku terbatuk-batuk dan ia menepuk-nepuk pundakku.

“Trus lo bakal ninggalin gue sendirian di sini?”

“Yah lo gak bakal sendirian lah, Da. Temen lo yang lain kan masih banyak.”

“Beda. Mereka tuh cuma deket-deket gue karena gue sering traktir mereka belanja, nonton, makan...”

“You’ll be fine, Da.”

Aku menghela napas.

“Sebelum lo pergi, lo harus nginep dulu di rumah gue yah!”

“Oke.”



Adi:
Ini bukan pertama kalinya aku menginap di rumah dia. Sejak kami mulai akrab saat kami menginjak jenjang SMP, aku telah berkali-kali menginap di rumah Inda. Rumah mewah, besar, dengan kamar tamu seluas seluruh rumahku.

Tantenya adalah wanita yang sangat baik. Sangat ramah. Bertahun-tahun, aku bersekongkol dengannya, menutupi kenyataan dan berbohong kepada Inda, tentang kedua orang tuanya. Bertahun-tahun lalu, kedua orang tuanya sedang dalam perjalanan pulang dari pesta pernikahan salah satu sepupu Inda. Ketika mereka melewati sebuah jalan yang sepi dan gelap, mereka dirampok, dan dibunuh. Hal itu terjadi saat aku dan Inda masih duduk di bangku SD, seminggu sebelum Inda pindah ke sekolahku.

Tante Inda menangis di depanku. “Kalo kamu pergi, siapa yang bakal jagain Inda? Gimana kalo ada temennya yang jahat, ngomong macem-macem sama dia?”

“She’ll be fine, Tante.”

Aku tidak akan membiarkannya hidup dalam kebohongan selamanya. Sebelum aku pergi, ia harus tahu kebenaran ini dan ia harus menerimanya.

25/06/10

laut malam

Langit gelap, seperti malam-malam yang telah lalu. Setitik dua titik bintang berkelip, lainnya sekedar bertabur. Awan hitam menutupi bulan bulat. Angin musim dingin menikam-nikam kulit. Kakiku terbenam dalam pasir yang hanyut ditarik ulur ombak. Kutarik kedua kakiku, lalu aku berlari, ke laut. Aku berenang, menyelam, di laut.

Aku berlari sampai air mencapai dadaku, kutarik napas dalam-dalam, dan aku pun menyelam. Terus mengayuh dan menendang ke arah yang lebih dalam. Kubuka mataku, perih. Di depanku, adikku. Juga berenang, menyelam, melambai dan tersenyum kepadaku. Aku berenang mendekat ke arahnya. Rambut hitam pekatnya melambai-lambai, mata hitamnya, hitam benar-benar hitam, berkedip-kedip, kulit putihnya sungguh putih, gaun hitamnya berjuntai dan melambai-lambai. Ia seolah menyatu dengan arus dan ombak. Ia tersenyum. Kami berpelukan. Ia sedingin batu karang.

Aku terbangun. Seluruh tubuhku basah. Matahari terik, menyinari pasir putih. Pasir-pasir putih menempeli tubuhku yang basah. Aku mencari kamar mandi. Membasuh diriku, lalu pulang.

Aku berjalan menuju halte bus terdekat, lalu melambaikan tangan, sebuah bus berhenti. Sang sopir menatap aku yang basah kuyup.

“A ticket to City, please.”

“Three dollars.”

“Thank you.”

Aku duduk. Bangku yang kududuki menjadi basah. Beberapa penumpang lain menatapku sejenak. Lalu kembali ke lamunan, buku, dan ponsel masing-masing.

Aku menatap ke luar jendela. Melamun. Tawa adikku bergema dalam telingaku. Musim panas tahun lalu, Ayah, Ibu, dan Adik datang menjengukku dari Indonesia ke Australia. Adikku sedang liburan panjang pergantian semester. Saat itu, ia kelas 2 SMA. Satu setengah tahun kemudian, seharusnya ia datang melanjutkan kuliahnya di sini. Setengah tahun lagi, seharusnya ia datang, mempersiapkan kuliahnya tahun depan.

Musim panas tahun lalu, di bandara, aku menyambut Ayah dan Ibu dengan pelukan hangat, dan adikku dengan tatapan dan “halo”. Ia tersenyum dan membalas sapa “halo, Kak”. Sejak kecil, kami tidak pernah akur. Aku benci padanya. Ia selalu berusaha meniruku dan aku tidak suka ia meniruku. Ayah dan Ibu suka membanding-bandingkanku dengannya, dan mereka tidak pernah adil.

Lamunanku bertambah jauh. Bertahun-tahun lalu, di rumah kita di Jakarta, di Indonesia. Aku berumur 7 tahun, adikku 4 tahun. Kami berdua bermain-main di dapur, sambil memperhatikan Ibu membuat kue. Aku melihat tepung-tepung bertaburan di atas meja. Aku ingat iklan kosmetik di televisi. Kuluruskan telapak tanganku, kuraih tepung yang bertebaran di atas meja, lalu kuoleskan di wajahku. Sebelah wajahku menjadi putih. Aku kaget karena tiba-tiba Ibu memukul tanganku.

“Jangan mainan tepung!” teriaknya.

Wajahku memerah. Aku menahan tangis. Adikku tampak sedih. Ia ingin menemaniku. Ia mencolek sedikit tepung dari meja dengan telunjuknya, lalu ia mengoleskannya di wajahnya. Satu garis putih terbentuk di sebelah pipinya. Ibu tersenyum melihat hal itu. Ia ikut mencolek sedikit tepung, lalu mengoleskannya ke hidung adikku. Lalu Ibu tertawa. Adikku menoleh kepadaku dan menatapku. Wajahku merah, marah. Adikku tampak sedih.

Kurasa, aku tidak pernah mengerti bahwa adikku selalu mengidolakanku. Aku selalu melihatnya sebagai anak yang diidam-idamkan Ayah dan Ibu. Bodohnya aku karena aku selalu menyalahkan adikku, yang juga selalu bersedih atas perlakuan Ayah dan Ibu terhadapku. Ia selalu membangkang, menolak perhatian dan perlakuan manis Ayah dan Ibu, dan selalu direspon dengan kata-kata dan perlakuan manis mereka. Aku berusaha menjadi anak baik, melakukan semua yang mereka ingin kulakukan, tetapi aku tidak pernah cukup baik.

Aku turun di sebuah halte dekat apartemenku. Aku pulang, mandi, makan siang, lalu tidur.

Aku memimpikan adikku. Musim panas tahun lalu. Ayah, Ibu, aku, dan Adik, menginap di sebuah hotel. Kami menyewa dua kamar yang tersambung dengan sebuah pintu. Ayah dan Ibu di satu kamar, aku dan Adik di kamar lainnya. Malam yang panas, kami semua terlelap, dibuai pendingin ruangan.

Adik terbangun. Ia membangunkanku.

“Apaan sih kamu? Udah malem! Jangan ganggu! Sana tidur!” bentakku.

“Ke pantai yuk, Kak?”

“Kamu gila?! Malem-malem gini?!”

“Aku mau berenang, Kak!”

“Sinting kamu! Besok pagi aja!”

“Ayo, Kak, aku gak bisa tidur!”

“Pergi aja sendiri! Aku ngantuk!”

Malam itu, bulan bulat mengintip dari balik awan hitam, malu-malu menyapa satu dua bintang yang berkelip, menghiraukan ribuan bintang lain yang hanya bertabur.

Malam itu, ia berenang di laut, terseret ombak besar, menabrak karang, dan ditemukan keesokan paginya. Di atas pasir, dengan kakinya terbenam dalam pasir yang terseret ombak lalu-lalang, dan ia pun diterpa-terpa ombak yang datang dan pergi, membuat kepalanya bergeleng-geleng mengikuti sapuan ombak. Rambut hitamnya yang panjang turut melambai, menyatu dengan irama ombak.

Malam ini, aku kembali ke laut. Menyelam. Ke arah yang lebih dalam dan tidak pernah kembali.

07/04/10

botol kaca

Tuyul dalam botol itu mengetuk-ngetuk dan berteriak-teriak. Ia tidak tahu apa salahnya. Menurut pacarnya, membiarkan jiwanya tertangkap dukun adalah kesalahan terbesar mereka. Mereka tidak lahir. Mereka dikandung, lalu dibuang sebelum lahir. Lalu, ketika jiwa mereka tengah dalam perjalanan ke tempat yang lebih baik dari dunia ini, mereka tertangkap. Kini mereka menjadi sesuatu yang dipergunakan manusia-manusia bejat, diburu manusia-manusia munafik, dan dicaci-maki manusia-manusia beragama. Kali ini, si tuyul sedang sial, bertemu dengan manusia munafik.

Kepalanya dibalut sorban, janggutnya menjuntai-juntai, jubahnya putih panjang, bahasanya bukan Indonesia. Entah apa yang ia komat-kamitkan, si tuyul yakin, manusia itu pun tak mengerti. Manusia itu bersama manusia-manusia lain, yang tampak lebih normal, tetapi membawa peralatan-peralatan yang asing bagi si tuyul. Manusia-manusia itu berdiri di sekitar manusia berjanggut panjang yang sedang berusaha mengurung si tuyul ke dalam botol.

“Cut!” kata salah seorang manusia di antara mereka, “raut wajah kamu kurang dramatisir!”

Si tuyul yang belajar bahasa Indonesia di sekolah bertanya-tanya, bukankah “dramatisir” tidak baku?

“Aduh, mau gimana lagi? Ini saya udah ngeden-ngeden!” kata si janggut.

“Ngeden lebih kuat lagi!” bentak manusia tadi. “Ulang!” teriaknya.

Si tuyul pun dilepas lagi. Belum jauh ia lari, ia ditarik lagi oleh si janggut. Kembali ia meronta-ronta, menjerit-jerit, berusaha lari, percuma. Ia tertangkap, dijejalkan lagi ke dalam botol kaca, dikurung lagi. Pacarnya sedih melihatnya disiksa begitu, tetapi tidak berani keluar dari persembunyiannya.

Lama-kelamaan, pacarnya tidak tahan juga. Ia keluar sedikit, mengintip, tetapi langsung masuk lagi karena terlalu takut.

Terlambat. “Itu! Di sana! Ada satu lagi!” teriak salah satu manusia yang sempat melihat penampakan pacarnya. Pacarnya pun turut ditarik-tarik, ditangkap, dijejalkan, dan dikurung di dalam botol yang sama dengannya.

Mereka berdua dibawa ke kediaman sang pria berjanggut.



Keesokan harinya, ketika pagi menyapa dan sinar matahari menerangi seisi ruangan tempat mereka berada, sadarlah mereka bahwa mereka berada di ruangan berisi rak-rak besar. Dalam rak-rak besar itu, tertata rapi botol-botol kaca. Dari minuman soda, teh, maupun sirup. Botol-botol yang tampak kosong oleh mata awam, di mana tuyul-tuyul terkurung.

Siang hari, pintu berdecit pelan, terbuka perlahan. Pak Janggut masuk bersama seorang manusia lain. Pria, kulit hitam, tulang-tulangnya tampak kokoh, otot-otot liatnya tampak keras berurat tebal menempeli tulang-tulangnya, wajahnya sungguh bukan ningrat. Tentu saja, anggota masyarat jelata yang bosan melarat, tetapi tidak mempunyai kualitas untuk meningkatkan taraf hidup (atau tidak tahu caranya).

Mereka tampak berbisik-bisik. Tak lama kemudian, si manusia pekerja itu menyelipkan beberapa lembaran ke tangan si janggut. Tuyul manapun pasti tahu, lembaran-lembaran itu adalah uang, duit, fulus, apapun namanya. Manusia pekerja itu berjalan mengelilingi ruangan. Mengamati botol-botol kaca, satu per satu. Lalu, ia berhenti saat matanya tertuju kepada botol yang ditempati si tuyul dan pacarnya. Ia meraih botol mereka pelan-pelan dengan satu tangannya, lalu membelai permukaan botol itu dengan tangannya yang lain. Kemudian ia dekatkan dan tempelkan botol itu ke dadanya, lalu ke wajahnya.




Si laki-laki pekerja meletakkan botol yang baru saja ia dapat dari rumah si janggut. Setelah usahanya berpuasa untuk menabung, akhirnya ia mengumpulkan cukup uang untuk membeli tuyul. Botol tersebut tampak kosong. Ia mengeluarkan sebungkus ramuan pemberian si janggut. Ia buka bungkusan tersebut, isinya adalah jumputan daun yang telah ditumbuk. Ia telan dan ia ucap mantra yang telah diajarkan si janggut. Seketika, sepasang tuyul pun menjadi kasat mata baginya. Ia tersenyum puas.

Istrinya tiba-tiba membuka pintu kamarnya dengan kasar. Begitu masuk, ia langsung berteriak-teriak “ngapain kamu di sini? Gak narik? Udah miskin, males kerja! Kapan kita bisa kaya?”

Melihat reaksi suaminya yang tidak biasa, ia pun kembali berteriak-teriak “kenapa kamu senyum-senyum? Bego kamu?”

“Mulai besok, kita ndak akan miskin lagi,” ucapnya pelan.

“Apa kamu bilang?” istrinya tetap berteriak.

“Mulai besok, kita akan kaya.”

“Gimana bisa kita kaya kalo kamu cuman duduk-duduk begitu kerjaannya??”

Manusia pekerja itu hanya tersenyum.

“Ngapain kamu pegang-pegang botol sirup begitu?” bentak istrinya.

“Kamu ingat pertama kali kita ketemu?”

“Hah? Ngomong apa sih kamu?”

Si manusia pekerja ini pun bercerita panjang lebar, mengingatkan istrinya akan kisah cinta mereka. Bertahun-tahun lalu, jalanan tanah menjadi becek dan berlumpur karena hujan deras. Istrinya berlari-lari ke warung terdekat dari rumahnya, membeli sebotol sirup untuk tamu yang sedang dijamu keluarganya. Keluarga Pak Lurah yang datang melamarnya. Dalam perjalanannya pulang, ia tertabrak sepeda. Sebotol sirup di tangannya terbanting ke tanah dan pecah. Segera ia memarahi laki-laki yang menabraknya. Namun, begitu mereka berada di jarak yang cukup dekat untuk saling memandang, mereka pun diam, saling menatap, reda pula amarah perempuan itu. Hari itu juga, ia menolak anak Pak Lurah, yang gendut dan manja, untuk menjadi suaminya.

Awalnya, si istri tersenyum-senyum mengingat kenangan manis mereka, tetapi seketika kemudian, ia pun menjadi ketus “Sialan! Kalo waktu itu aku ndak ketemu kamu, aku udah jadi istri Si Gendut itu! Lihat istrinya sekarang! Gendut, jelek, tapi baju dan perhiasannya bagus-bagus! Ndak pantas tho kalo dia yang pake! Lebih cocok buat aku!”

Si pekerja tersenyum. Besok-besok, kamu udah bisa beli baju dan perhiasan yang cantik-cantik, batinnya.




Malam itu, sepasangan tuyul ditugaskan untuk mencuri uang dari rumah Pak Lurah. Mereka berlari dan berlompatan menuju rumah Pak Lurah, merasakan kebebasan kehidupan di luar botol kaca. Sampai di rumah Pak Lurah, mereka bahkan tak perlu memanjat dinding. Mereka menembus.

“Hei, ini rumah si gendut!”

“Iya! Ssst! Jangan berisik!”

Tanpa mereka sadari, si gendut yang mereka bicarakan telah berdiri di belakang mereka, bersama dengan istrinya.

“Heh! Ngapain kalian di sini? Ke mana aja kalian?” bentaknya. Tanpa menunggu jawaban, ia pun melanjutkan, “saya udah punya tuyul baru! Saya gak butuh kalian lagi!”

Kedua tuyul itu hanya cekikian.

“Apa? Kenapa kalian ketawa?”

“Anu, kami disuruh orang lain.” aku salah satu dari mereka, sebelum mereka cekikian lagi.

Si gendut saling tatap dengan istrinya. “Siapa?!” si gendut murka.

“Anu, ...” salah satu dari mereka menunjuk ke luar jendela.

“Siapa??” si gendut semakin penasaran. Ia mendekatkan wajahnya ke arah jendela dan menatap jauh ke luar.

“Itu,” si tuyul menunjuk lagi, “yang atapnya seng.”

Si gendut semakin murka, “kan banyak yang atapnya seng! Ah!”

“Hihihihi... Itu, yang ada kucingnya.” Hanya ada satu atap rumah yang saat itu diduduki seekor kucing. Seekor kucing hitam kurus, kucing liar.

Si gendut mendengus jijik, juga puas.

“Ya sudah! Kalian sana! Ambil uang saya dan perhiasan istri saya!”

Si tuyul dan pacarnya bingung, tetapi tetap menjalankan tugasnya.

“Kita panggil polisi sekarang?” tanya istri si gendut yang juga gendut.

“Ah, besok pagi saja,” jawab si gendut.

12/03/10

sekolah

Sarah:

Sudah lama aku tidak mengunjungi Indonesia, negara kelahiranku, sang surga yang sedang menuju kehancuran. Musim dingin tahun ini, aku pulang. Pertama, karena aku benci musim dingin. Kedua, untuk memperkenalkan calon suamiku kepada keluargaku.

Hari ketiga di Indonesia, Minggu pagi, sebelum ke gereja, aku menyempatkan diri menengok SDN 13 Petang, tempatku mengajar dahulu, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk mengambil program sarjana untuk Fine Arts di Australia.

Minggu pagi, sejuk embun, kicau burung, mengatasi kesunyian. Sebuah bajaj berlalu, asapnya mengepul. Sambil mengibas-ngibas udara, aku berjalan memasuki gerbang sekolah. Seorang pria tua sedang menyapu lapangan.

“Aki,” sapaku. Ia menoleh. Terulas senyum di wajahnya.

“Bu Sarah,” ia ingat.




Minggu masih juga pagi. Aku memutuskan untuk mampir ke pasar dekat rumah, membeli sekilo belimbing dan sekilo mangga, buah-buahan yang sungguh mahal di Australia. Di Sydney, tempatku menetap, mangga berharga 2-3 dolar Australia per buah, sementara belimbing, terhakhir kutengok, 14.9 dolar Australia per buah. Kurs 1 dolar Australia = 8000-9000 rupiah. Maka, mumpung masih di Indonesia, aku harus puas membabat dua jenis buah itu.

Ponselku bergetar. Hanung, calon suamiku, menelepon. Ia sudah menunggu di depan pasar, menjemputku.

Ia berasal dari Medan. Kami memutuskan untuk ke Jakarta dahulu, bertemu keluargaku, sebelum ke Medan untuk bertemu keluarganya.

Setelah membayar belanjaan, aku berjalan cepat keluar dari pasar. Sejenak, aku berpapasan dengan seorang perempuan belia. Serasa aku mengenalnya. Ia pun menatapku sejenak. Namun, kami terus berlalu, dikejar waktu dan kesibukan masing-masing.

Sampai di mobil, aku menaruh buah-buahan di jok belakang, sebeluym akhirnya duduk di sebelah Hanung yang menyetir. Rem tangan ia lepas, tetapi tak jadi kita berangkat, sebab aku berteriak “Stop!”. Ia pun segera rem mendadak, membuat mobil di belakangn kami, yang hendak keluar dari parkiran menjadi terkejut. Klakson panjang dan makian pun mengotori udara.

“Ada apa, Sayang?” tanya Hanung.

“Ada yang kelupaan.”

Tanpa menunggu reaksinya, aku segera beranjak turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam pasar.

Aku mencari-cari wajah yang tadi kulihat. Aku ingat dia, Siti, namanya.

“Siti!” teriakku begitu pandanganku menangkap sosoknya.

Ia menoleh, tampak bingung. Ketika ia melihatku kemakin mendekat dan munkin ia mulai mengoingatku, ia berlari menjauh, lalu menghilang.

Aku membeli sekotak kue lupis, favoritku.

“Tadi lupa beli ini,” alasanku kepada Hanung ketika aku masuk kembali ke mobil. Ia hanya menggeleng dan tersenyum.




Senin pagi, aku ke pasar lagi. Pertama, untuk mencari Siti. Kedua, membeli gula jawa, favoritku. Tidak lupa, jagung manis, wortel, bihun, ayam, dan segala yang kuperlukan untuk memasak sekuali sup jagung, favoritku.

Setelah semua daftar belanjaan terpenuhi, aku pun mulai berkeliling pasar, berusaha mencari Siti. Dari kejauhan, mataku menangkap sosoknya. Ketika aku berjalan mendekat, ia tampak mulai waswas. Namun, kali ini, ia tidak dapat beranjak karena ia rupanya berjualan sayur dan saat itu, ia sedang melayani seorang pelanggan wanita paruh baya.

Aku telah berdiri tepat di sebelah pelanggannya. Aku turut memilah-milah sayur-mayur hijau di depanku. Aku benci sayur hijau, tetapi akan kubeli seikat kemangi untuk Hanung. Pelanggannya membayar, lalu pergi. Aku memasukan seikat kemangi ke keranjang belanjaku, lalu membayar sepuluh ribu rupiah. Ketika ia hendak memberi kembalian, aku menolak.

“Ibu Sarah,” ucapnya lirih.

“Siti, gimana kabarmu?”

“Baik, Bu.”

Kami sama-sama tersenyum. Agak kaku, tetapi tulus.

“Kamu tinggal di mana sekarang?” tanyaku.

“Masih sama, Bu, di belakang pasar.”

“Boleh kalau sekali-sekali saya mampir?”“Ah, jangan, Bu. Malu. Rumah saya kecil.”

“Jangan malu kalau tidak salah, Siti.”

Ia mengangguk dan tersenyum.




Ke rumah Siti, aku berkunjung. Tidak kecil seperti yang disebutnya tempo hari. Rumah yang tenang dan sederhana.

“Mari masuk, Bu.”

“Terima kasih, Siti.”

Hal pertama yang kulihat di sana adalah sebuah pigura di dinding ruang tamunya. Seorang pria, Siti, dan seorang anak perempuan.

Tak lama, pria dalam pigura itu muncul dalam bentuk nyata di depanku.
“Kenalkan, Bu, ini Joko, suami saya.”

Kami saling tersenyum dan bersalaman.

Suami? Berapa umur dia sekarang? 16 atau 17? Terlalu muda untuk berkeluarga.

Siti menunjuk kepada sesosok anak perempuan dalam pigura itu, “ini anak saya. Sekarang lagi di sekolah.” Anak itu lebih mirip Siti daripada Joko. Umurnya mungkin 5 atau 6 tahun. Pasti masih kelas 1 SD. Eh, kapan Siti menikah jika anaknya sudah sebesar itu?

“Di SDN 13?” iseng, kubertanya.

Namun, kemudian aku merasa bersalah karena kegembiraan di wajah Siti lenyap.

“Bukan, Bu. Di SDN 06 Pagi.”

“Maaf, Siti.”

“Ndakpapa, Bu.”

Mereka menjamuku makan siang. Sederhana dan nikmat. Nasi putih, tempe, dan kangkung. Betapa aku merindukan masakan semacam ini.




Sampai di rumah, aku masih dibayangi perasaan bersalah karena pertanyaan yang kulontarkan tadi. Aku teringat akan saat-saat terakhir aku mengajar musik dan bahasa Indonesia di SDN 13 Petang.

Siti adalah salah satu murid paling cermelang. Kesayangan semua guru. Menangkap pelajaran dengan cepat, cerdas, rajin, sopan, baik, taat beribadah, sempurna, idaman, lengkap. Masalahnya hanya satu, masalah klasik kebanyakan murid sekolah negeri yang miskin, kesulitan membayar uang sekolah. Ayahnya sudah meninggal , ibunya menghidupi dirinya, Siti, dan adik Siti dengan berjualan sayur di pasar dekat rumahnya.

Sebenarnya, SDN 13 menerima subsidi pemerintah (selayaknya sekolah negeri), sehingga uang bulanan yang harus dibayar siswa relatif murah. Namun, beberapa siswa berkemampuan ekonomi terlalu jauh di bawah garis kemiskinan sampai subsidi pemerintah pun tak mampu lagi menolong mereka. Tak sedikit dari mereka yang putus sekolah karenanya.

Selain itu, kami juga mengadakan program subsidi silang, di mana murid-murid dengan kemampuan finansial lebih baik membayar lebih untuk menutupi kekurangan murid-murid yang tidak mampu. Namun, karena proporsi murid yang tidak mampu terlalu besar dibandingkan dengan yang mampu, hal ini pun hanya sedikit membantu.

Program orang tua asuh, juga ada. Hanya membutuhkan promosi kepada orang tua-orang tua yang tidak dapat disanggupi sekolah yang terlampau miskin ini.

Paling tidak, dengan keberadaanku di sana, mereka boleh sedikit berhemat, karena mereka tidak perlu membayarku. Aku mengajar dengan sukarela.




Suatu hari, di semester pertama tingkat akhir Siti di SDN 13, kulihat Siti terduduk murung di tepi lapangan sekolah. Kulirik jam tanganku, jam 5 sore. Sekolah usai pukul 1 siang. Bahkan guru-guru pun sudah pulang semua. Hanya aku, yang tadinya sudah pulang, tetapi terpaksa kembali ke skolah karena kertas-kertas ulangan siswa yang seharusnya kukoreksi di rumah, tetapi lupa kubawa pulang.

Setelah mengambil kertas-kertas tersebut, aku menghampiri Siti dan duduk di sebelahnya. Rupanya, ia sedang menangis. Kusodorkan sebungkus tisu yang ia tolak dengan gelengan kepala.

“Ada apa, Siti?” tanyaku.

Ia menggeleng lagi.

“Kalo ada apa-apa, kamu boleh cerita sama Ibu.”

Gelengan lagi.

“Uang sekolah kamu?”

Ia mengangguk sejenak, tetapi kemudian menggeleng lagi. Tangisnya bertamabah gawat.

“Ibu bisa bantu kamu kalau itu masalahnya.” Aku merasa bodoh sekali karena gagasan ini baru sekarang muncul.

Ia kembali menggeleng. Lalu ia bangkit, berjalan pergi, tertatih-tatih. Aku terheran, terpaku di tempat, tidak berusaha menyusulnya.




Sejak hari itu, ia tidak pernah lagi muncul di sekolah. Setiap aku berkunjung ke rumahnya, mencarinya, ibunya akan beralasan bahwa ia sakit dan tidak bisa diganggu. Jika kutanya apakah ia sudah dibawa ke Puskesmas, jawabanya adalah “Ibu tidak perlu khawatir.” Terakhir kali aku berkunjung, ibunya menyatakan bahwa Siti sudah berhenti sekolah.

“Saya tidak sanggup membiayainya lagi,” kata ibunya.

“Tidak apa-apa, Bu,” kataku, “Siti anak yang sangat pintar dan rajin. Saya bisa membiayai sekolahnya,” aku menawarkan lagi.

“Tidak, Bu. Dia tidak mau sekolah lagi.”




Sampai saat ini, hal itu masih misteri bagiku. Bagaimana mungkin siswa teladan yang cinta pendidikan seperti Siti tidak mau sekolah lagi? Angan-anganku akan masa depan cerah yang sudah tersedia baginya, yang sedang menunggunya untuk meraih, seketika buyar, hancur.

Segala rasa bersalah menghantuiku, karena aku tidak sejak dulu-dulu membiayai sekolahnya dan karena di petang hari itu aku tidak menyusulnya. Maka aku mengerti ketika Kepala Sekolah menegurku karena kinerjaku semakin lama semakin tidak memenuhi standar. Konsentrasiku berlibur entah ke mana, membuat caraku mengajar jadi lucu dan tidak kondusif.

Akhirnya kuputuskan untuk pergi jauh. “Aku mau kuliah lagi,” alasanku kepada semua orang.
Kupilih sebuah negara yang ada di benua seberang, negara yang tenang dan damai, Australia.

Siti selalu suka belajar. Cinta pengetahuan dan pendidikan. Anak kesayangan semua guru, anak yang diharapkan semua orang tua.

Bel tanda sekolah usai berdering. Anak-anak berhamburan keluar dari kelas-kelas. Siti masih di kelas. Mencatat segala tulisan kapur yang terukir di papan tulis hitam di depannya. Ibu Asih, guru matematika, tersenyum melihatnya. Ditemaninya anak itu sampai selesai, sambil mengoreksi pekerjaan rumah yang baru dikumpulkan murid-muridnya.

Setengah jam berlalu, sekolah telah sepi. Tersisa beberapa guru yang tampak masih banyak tugas, beberapa lagi hanya mengobrol di ruang guru. Siti selesai mencatat. Ia berpamitan dengan Bu Asih, lalu segera berlari pulang. Lapar, membayangkan makan siang masakan ibunya.

Selangkah sebelum menjangkau gerbang sekolah, Pak Kepala Sekolah menghadangnya.

“Siti.”

“Iya, Pak?”

“Kamu tolong ke ruangan saya.”

“Ada apa, Pak?”

“Masalah uang sekolah kamu.”

Keceriaan di wajah Siti jatuh murung. Takut tidak mampu menghadapi masalah dan mengutuki keadaan yang menempatkannya di posisi sulit.

“Iya, Pak.” Jawabnya tanpa semangat.

Di ruang Kepala Sekolah, ia dibiarkan menunggu, lama sekali. Didengarnya suara-suara di ruangan sebelah, ruang guru, satu per satu guru beranjak meninggalkan sekolah. Ada yang naik motor, ada yang naik sepeda, ada yang berjalan kaki. Ada yang bercerita ria tentang anaknya yang berprestasi di sekolah, ada juga yang mengeluh tentang muridnya yang nakal. Akhirnya, sepi total. Hanya gemerisik dedaunan dimainkan angin. Siti tetap menunggu, sementara Pak Kepala Sekolah berada di warung terdekat, menghirup kopi panas dan merokok bersama tukang ojek setempat.

Ketika Pak Kepala Sekolah kembali ke sekolah dan memasuki ruangannya, ia melihat Siti masih menunggu di sana, tampak gelisah. Mungkin ia pikir, ibunya akan khawatir menunggunya pulang. Sebenarnya, jika ibunya khawatir, ia akan datang ke sekolah dan menjemput Siti. Namun, Pak Kepala Sekolah sudah memastikan bahwa ibunya saat ini masih berada di Puskesmas, mengikuti acara penyuluhan kesehatan bersama ibu-ibu lain.

Ketika Siti menyadari Pak Kepala Sekolah telah datang, perasaannya mulai tidak enak, dan ia pun tampak semakin gelisah. Apalagi ketika Pak Kepala Sekolah mengunci pintu dan menurunkan semua tirai agar menutupi semua jendela di ruangan itu. Ruangan itu kini benar-benar tertutup.

“Kenapa, Pak?” tanya Siti dengan suara bergetar takut, tanpa sepatah kata pun jawaban dari Pak Kepala Sekolah.

Pak Kepala Sekolah segera menghambur ke arahnya, menutup mulutnya, meraih sembarang kertas-kertas di mejanya untuk menyumpal mulut Siti. Mulut Siti terasa sakit karena terlalu banyak kertas dijejalkan ke dalamnya. Siti berusaha memberontak, memukul-mukul, menggeliat, menendang-nendang, tetapi Pak Kepala sekolah begitu kuat, mencengkeram tangannya, mengangkat tubuhnya, dan membantingnya ke lantai. Siti kesakitan, tapi teriaknya tertahan sumpalan kertas-kertas.

Siti terbaring terlentang di ubin putih yang dingin menusuki punggungnya. Tubuhnya tetap meronta-ronta, meskipun sia-sia. Pak Kepala Sekolah melepas dasi dan memakai dasinya untuk mengikatkan tangan Siti ke kaki meja. Siti tetap memberontak, tetap sia-sia.
Pakaiannya, perawannya, harga dirinya, pendidikannya, dan masa depannya, dilucuti habis sekaligus oleh Pak Kepala Sekolah, yang sejak ibu Siti menjanda, gigih mengejar dan menggodanya, tetapi selalu gagal dan ditolak.

28/01/10

tentang alay

Ketika malam datang dan gelap kelam melapisi langit, tidakkah dingin juga merayapi tubuh dan cekam merengut nyaman dari jiwa? Namun, di saat-saat seperti itulah, Ananta tersenyum menatap langit di mana kerlap-kerlip bintang-bintang mengalahkan kengerian hitam malam. Rasa hangat dalam jiwanya pun telah mengalahkan hawa dingin yang disebabkan hujan deras tadi sore dari langit Sydney. Ketika kelak hujan datang lagi, ia justru beranjak dari persembunyiannya di balik selimut, membuka jendela, dan menjulurkan salah satu tangannya keluar, merasakan titik-titik air hujan.

Dalam ingatannya terekam jelas, peristiwa pagi dan siang ini, yang membuatnya tak berhenti tersenyum sampai saat ini. Jack yang hari ini menemaninya melewati waktu. Sungguh kebetulan bahwa hari ini mereka berdua sama-sama tidak bekerja. Jika bukan karena hujan deras yang mengguyur kota, mungkin mereka masih berbaring di rerumputan hijau North Sydney Park sambil bersenda gurau dan mengemil.

Beruntunglah ia sebab ia boleh tidur dengan hal-hal indah berputar-putar dalam kepalanya. Sementara, di rumah lain, teman baiknya bersungut-sungut, tepat sejak setelah ia membaca pesan singkat dari Ananta yang masuk ke ponselnya. Tentunya, tentang betapa senangnya Ananta hari ini karena kesempatannya bertemu dengan Jack. Tidakkah kami, perempuan, manusia yang tidak loyal terhadap jenisnya? Kami akan saling mencakar dan menjambak dengan sahabat terdekat kami demi memperebutkan laki-laki yang tidak akan saling tonjok dengan sahabat terjauhnya demi memperebutkan perempuan. Paling tidak, saat ini, mereka berdua masih berada di rumah mereka masing-masing, belum saling membunuh dan menggemparkan seisi kota.

Berkebalikan dengan Ananta, Sally merengut saat hujan datang. Segera ia mematikan lampu meja yang tepat terletak di sebelah kepalanya, ditariknya selimutnya sampai menutupi wajahnya, dan ia memaksakan dirinya untuk tidur hingga pagi menyapa.




Betapa rumit juga perang antar perempuan, di pagi hari yang cerah dan masih lembab sebab hujan semalam, dua sahabat baik ini, Ananta dan Sally, saling tersenyum dan menyapa, duduk bersama dan bercanda-tawa. Tentu, karena kami, perempuan, tidak berlaku seperti anjing beringas, yang begitu bertatap muka dengan lawannya, hasratnya untuk mengoyak dan merusak langsung memuncak.

“Eh, gimana kemaren? Cerita dong?” Sally berinisiatif memulai pembicaraan.

Anata pun berkisah dengan menggebu-gebu, sementara Sally menanggapi dengan senyum termanisnya, entah apa pun yang bergejolak di hatinya. Sungguh senyumnya adalah topeng tercantik. Bahkan Ananta pun tak pernah merasa ada yang salah dengannya. Ananta pun tak pernah mengerti mengapa teman-temannya yang lain menatapnya dengan pandangan aneh. Sally mengerti, itu karena Sally bergosip kepada teman-temannya yang lain bahwa “She’s boasting that they’re now a COUPLE! They only went out together ONCE and it wasn’t even a date!”

Namun, kelak, Ananta akan mengerti, mengapa ketika ia menitipkan tugas esainya kepada Sally untuk dikumpulkan ke dosennya, tugas itu tidak pernah sampai. Lebih buruk, hilang. Sally hanya akan memberinya penjelasan, “Aduh, sorry, lupa!”

Ia pun akan melihat dengan lebih jelas ketika ia berjalan-jalan bersama Sally dengan gulungan rambut di poninya yang lupa ia lepas. Ia telah berjalan ke sana dan ke mari selama tiga jam sebelum akhirnya seorang nenek tua bertanya kepadanya, “Darling, is that a new trend?” sambil menunjuk ke rambutnya. Ia pun segera mengambil cermin kecil dari tasnya dan melihat ada apa di kepalanya. Tentu ia terkejut, tentu ia malu, dan tentu ia bertanya penuh tuntut kepada Sally, “kenapa lu gak kasih tau gue??”. Inilah jawaban yang ia terima dari Sally: “Sorry, gw gak tega.”



Ketika Ananta telah mengerti, ia berinisiatif mengajak Jack dan Sally makan malam bersama, bertiga. Tentu saja, itu menjadi sebuah tantangan bagi Sally.

Mereka berdua tiba lebih awal dari jam yang ditetapkan, dengan dandanan tertebal, gaun tercantik, dan pose duduk termanis. Tentu, mereka berdua sama-sama mengerutkan dahi ketika melihat Jack datang tidak sendiri. Kelak mereka akan mengerti, betapa sia-sia pertarungan mereka.

“Kenalkan, this is my wife, Arisa. Dia baru datang lagi dari Indonesia, setelah nyelesain penelitiannya tentang gejolak sosial anak muda golongan menengah ke bawah yang belakangan ini disebut-sebut sebagai ‘alay’. Ananta pasti ngerti banget deh.”

“Yang mana yang namanya Ananta?” istrinya menimpali.

Ananta melambai kecil.

“Oh, halo! Aku udah baca beberapa tulisan kamu tentang alay. Kamu bener-bener berbakat!”

Semua pun tersenyum. Entah senang, entah bersemangat, entah berpura-pura, entah salah tingkah.