28/01/10

tentang alay

Ketika malam datang dan gelap kelam melapisi langit, tidakkah dingin juga merayapi tubuh dan cekam merengut nyaman dari jiwa? Namun, di saat-saat seperti itulah, Ananta tersenyum menatap langit di mana kerlap-kerlip bintang-bintang mengalahkan kengerian hitam malam. Rasa hangat dalam jiwanya pun telah mengalahkan hawa dingin yang disebabkan hujan deras tadi sore dari langit Sydney. Ketika kelak hujan datang lagi, ia justru beranjak dari persembunyiannya di balik selimut, membuka jendela, dan menjulurkan salah satu tangannya keluar, merasakan titik-titik air hujan.

Dalam ingatannya terekam jelas, peristiwa pagi dan siang ini, yang membuatnya tak berhenti tersenyum sampai saat ini. Jack yang hari ini menemaninya melewati waktu. Sungguh kebetulan bahwa hari ini mereka berdua sama-sama tidak bekerja. Jika bukan karena hujan deras yang mengguyur kota, mungkin mereka masih berbaring di rerumputan hijau North Sydney Park sambil bersenda gurau dan mengemil.

Beruntunglah ia sebab ia boleh tidur dengan hal-hal indah berputar-putar dalam kepalanya. Sementara, di rumah lain, teman baiknya bersungut-sungut, tepat sejak setelah ia membaca pesan singkat dari Ananta yang masuk ke ponselnya. Tentunya, tentang betapa senangnya Ananta hari ini karena kesempatannya bertemu dengan Jack. Tidakkah kami, perempuan, manusia yang tidak loyal terhadap jenisnya? Kami akan saling mencakar dan menjambak dengan sahabat terdekat kami demi memperebutkan laki-laki yang tidak akan saling tonjok dengan sahabat terjauhnya demi memperebutkan perempuan. Paling tidak, saat ini, mereka berdua masih berada di rumah mereka masing-masing, belum saling membunuh dan menggemparkan seisi kota.

Berkebalikan dengan Ananta, Sally merengut saat hujan datang. Segera ia mematikan lampu meja yang tepat terletak di sebelah kepalanya, ditariknya selimutnya sampai menutupi wajahnya, dan ia memaksakan dirinya untuk tidur hingga pagi menyapa.




Betapa rumit juga perang antar perempuan, di pagi hari yang cerah dan masih lembab sebab hujan semalam, dua sahabat baik ini, Ananta dan Sally, saling tersenyum dan menyapa, duduk bersama dan bercanda-tawa. Tentu, karena kami, perempuan, tidak berlaku seperti anjing beringas, yang begitu bertatap muka dengan lawannya, hasratnya untuk mengoyak dan merusak langsung memuncak.

“Eh, gimana kemaren? Cerita dong?” Sally berinisiatif memulai pembicaraan.

Anata pun berkisah dengan menggebu-gebu, sementara Sally menanggapi dengan senyum termanisnya, entah apa pun yang bergejolak di hatinya. Sungguh senyumnya adalah topeng tercantik. Bahkan Ananta pun tak pernah merasa ada yang salah dengannya. Ananta pun tak pernah mengerti mengapa teman-temannya yang lain menatapnya dengan pandangan aneh. Sally mengerti, itu karena Sally bergosip kepada teman-temannya yang lain bahwa “She’s boasting that they’re now a COUPLE! They only went out together ONCE and it wasn’t even a date!”

Namun, kelak, Ananta akan mengerti, mengapa ketika ia menitipkan tugas esainya kepada Sally untuk dikumpulkan ke dosennya, tugas itu tidak pernah sampai. Lebih buruk, hilang. Sally hanya akan memberinya penjelasan, “Aduh, sorry, lupa!”

Ia pun akan melihat dengan lebih jelas ketika ia berjalan-jalan bersama Sally dengan gulungan rambut di poninya yang lupa ia lepas. Ia telah berjalan ke sana dan ke mari selama tiga jam sebelum akhirnya seorang nenek tua bertanya kepadanya, “Darling, is that a new trend?” sambil menunjuk ke rambutnya. Ia pun segera mengambil cermin kecil dari tasnya dan melihat ada apa di kepalanya. Tentu ia terkejut, tentu ia malu, dan tentu ia bertanya penuh tuntut kepada Sally, “kenapa lu gak kasih tau gue??”. Inilah jawaban yang ia terima dari Sally: “Sorry, gw gak tega.”



Ketika Ananta telah mengerti, ia berinisiatif mengajak Jack dan Sally makan malam bersama, bertiga. Tentu saja, itu menjadi sebuah tantangan bagi Sally.

Mereka berdua tiba lebih awal dari jam yang ditetapkan, dengan dandanan tertebal, gaun tercantik, dan pose duduk termanis. Tentu, mereka berdua sama-sama mengerutkan dahi ketika melihat Jack datang tidak sendiri. Kelak mereka akan mengerti, betapa sia-sia pertarungan mereka.

“Kenalkan, this is my wife, Arisa. Dia baru datang lagi dari Indonesia, setelah nyelesain penelitiannya tentang gejolak sosial anak muda golongan menengah ke bawah yang belakangan ini disebut-sebut sebagai ‘alay’. Ananta pasti ngerti banget deh.”

“Yang mana yang namanya Ananta?” istrinya menimpali.

Ananta melambai kecil.

“Oh, halo! Aku udah baca beberapa tulisan kamu tentang alay. Kamu bener-bener berbakat!”

Semua pun tersenyum. Entah senang, entah bersemangat, entah berpura-pura, entah salah tingkah.

1 komentar:

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.