11/12/09

Jika Aku menjadi Filsuf yang Mati Bunuh Diri

Inilah kenyataan. Masa lalu dan masa kini. Kau tidak berkuasa mengubahnya. Lebih baku dari bahasa. Kau hanya bisa mengubah sikapmu dan pandanganmu terhadapnya, dan kau bisa mengusahakan masa depanmu. Sebatas itu.
Kau bisa membantah, menyangkal, lalu hidup dalam kebohongan. Kau dapat menerima dan berduka. Kau dapat menerima dengan sukacita.


Sungguh kenyataan bahwa Tuhan ada. Ada satu Tuhan yang kita sebut Maha Kuasa. Ratusan manusia menyembahnya dengan berbagai cara, melalui berbagai agama. Namun, ada manusia yang membenci-Nya, yang tidak mengakui keberadaan-Nya, yang tidak peduli tentang-Nya, yang tidak mengetahui apa-apa tentang-Nya, bahkan yang memilih caranya sendiri untuk menyembah-Nya. Sungguh kenyataan bahwa mereka yang tidak menyembah-Nya pun memunyai tuhan untuk disembah. Esensi kehidupan manusia adalah menyembah dan menikmati tuhannya. Tanyakan pada John Calvin.

Apakah Tuhan, apakah uang, apakah kelamin, apakah diri sendiri yang disembah, pasti ada yang disembah. Setiap manusia memiliki inti dan tujuan hidup. Bahkan mereka yang tidak (pernah) memikirkannya. Yang mereka sembah adalah ketidakpastian dan yang mereka nikmati adalah kesia-siaan.

Manusia-manusia ini hidup bersama dalam kemasyarakatannya, keberagamannya, dan kesombongannya. Ketakutannya terhadap perbedaan, egoismenya, kebanggaannya yang berlebihan terhadap dirinya, egosentrismenya. Manusia.

Mereka bercampur aduk dalam kumpulan spesiesnya. Berusaha memenangkan apa yang di mata mereka patut dimenangkan. Mengejar apa yang mereka lihat pantas dikejar. Membunuh apa dan siapa yang menurut mereka harus mati.


Waktu terus berjalan dan akal terus merantau.


Angin sejuk cenderung dingin melewatiku. Aku memejam mata dan menarik napas panjang.
Aku bersandar kepada pagar pendek yang mengamankan manusia agar tidak jatuh ke laut. Aku menatap kepada keramaian, kepada lalu-lalang manusia, kepada organisme-organisme unik dan kompleks, karya tangan Sang Pencipta, Sang Penguasa, Yang Maha Kreatif.

Aku tertawa dalam hati, tersenyum kepada ironi, bertanya kepada Tuhan, mengapakah dengan ciptaanmu, manusia. Apakah sejak awal Engkau menciptakan kami sebagai pemberontak? Aku tidak mendengar jawaban. Manusia tidak lagi mendengar suara nyata dari Tuhan sejak zaman Perjanjian Baru.

Aku berbalik kepada laut, kepada gelombang air dengan sejuta kehidupan di dalamnya. Sydney Opera House di depanku dan Harbour Bridge di sebelahnya. Berdiri berdampingan dalam kemegahan. Saling tersenyum, meskipun tidak saling menyentuh atau berbincang.
Aku tertawa kepada laut, HAHAHAHAHAHA!

Tuhan, kupanggil nama-Nya, seonggok otak, segelintir pengetahuan, dan secuil akal, Engkau berikan kepada manusia, dan jadilah kami angkuh! Kami bahkan merasa melebihi-MU!! HAHAHAHAHA!

Kusadari beberapa orang mulai memerhatikanku tertawa terpingkal-pingkal, tertawa kepada laut. Kepada perairan lepas, aku berbagi lelucon kehidupan.

Kami bahkan terbatas di daratan, kami akan mati jika ditenggelamkan bulat-bulat di daratan, dan kami merasa berkuasa! HAHAHAHAHA!

Aku menunjuk kepada udara, tertawa kepada langit. Kami terbatas di daratan! Di tanah! Udara pun bukan tempat kami! Kami tidak terbang bebas seperti burung-burung di atas sana, dan kami merasa berkuasa! HAHAHAHAHA!

Ya, ya, aku menemukannya di Kitab Kejadian. Engkau memberikan kuasa kepada manusia, mandat. Salah satu keserupaan manusia terhadap-Mu. Kuasa. Kuasa kecil mungil yang Engkau berikan dan kami banggakan secara berlebihan. HAHAHAHAHA!


Betapa lucu hidup ini.


Aku bertumpu kepada lututku karena kakiku telah lemas berurusan dengan tawaku yang tak terhentikan. Satu tanganku menahan perutku yang keram dan mataku bercucuran air mata. Tanganku yang lain bertumpu kepada pagar pembatas.

HAHAHAHAHAHA!!

Aku beribadah, aku berdoa, aku melakukan apa yang Kau katakan baik, dan aku mengerti, dalam setiap kesulitan yang kualami, Engkau merencanakan kebaikan bagiku. Aku mengerti, aku menunggu waktu-Mu, aku tidak mengeluh, aku tidak menuntut, aku hanya berdoa untuk kekuatan, pimpinan, dan kebijaksanaan dari-Mu.

Aku pun berusaha mengerti bahwa Engkau Maha Adil. Keadilan-Mu tergenapi, di dunia dan di akhirat. Orang-orang membenci-Mu, menuntut-Mu, menunding-Mu, karena Engkau tidak mengehentikan perang, genosida, pembunhan, pemerkosaan, penganiayaan, multilasi, kanibalisme, dan semuanya itu. Engkau membuat peraturan bahwa homoseksualitas adalah penyimpangan, tetapi Engkau membiarkan orang-orang lahir dengan penyimpangan itu. Aku berusaha mengerti, bahwa dalam setiap kenyataan, Engkau bekerja dengan cara-Mu.

Apakah kita, manusia ? Debu yang Engkau angkat. Apakah kita, manusia, untuk menuntut ini-itu kepada-Mu. Mengapakah kita, manusia, tidak mampu menyadari betapa banyak yang telah Engkau beri kepada kami.

Aku belajar tentang-Mu. Aku berusaha menyelami-Mu. Aku meminta hikmat, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengertian dari-Mu. Aku tak pernah mampu. Kau tak pernah bersedia memampukanku dan aku tidak pernah mampu mengerti mengapa.


Aku lelah. Aku lelah. Manusia merasa akalnya tak terbatas. Manusia salah. Aku salah. Aku lelah.


Laut, terimalah aku.

Tuhan, ambillah aku.

10/10/09

hilang**

Lihatlah betapa bahagia perempuan itu. Berdiri di sisi pintu kereta yang membawanya pulang ke suburb tempatnya bermukim saat ini. Sydney, nama tempat ini. Terletak di bagian New South Wales, Australia. Satu-satunya negara yang merangkap benua. Terletak di sebelah tenggara Indonesia. Aku memerhatikannya tersenyum-senyum sendiri dengan pipi agak bersemu kemerahan. Ia menggigiti bibirnya, khawatir ketahuan sedang tersenyum sambil melamun.

Aku menahan tawa melihat kelakuan perempuan yang berdiri tepat di depanku itu. Ia menyadari hal itu, sehingga ia menjadi salah tingkah. Ia menggoyang-goyang pundaknya sedikit dan menggerak-gerakkan kakinya. Akibatnya, aku harus menambah tenaga untuk menahan tawa.

Aku sering kebetulan berada dalam satu kereta dan satu gerbong dengannya. Kami tinggal di suburb yang sama, Chatswood. Kami kuliah di daerah yang berbeda, tetapi searah. Sebenarnya, aku sangat ingin mengenal perempuan itu, tetapi saat itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya. Aku jadi agak menyesal karena berkali-kali aku bertemu dengannya, belum pernah sekalipun aku mengajaknya berbicara, apalagi berkenalan dengannya.

Sesegera itu, aku melupakannya.



Aku kembali kepada keseharianku yang memabukkan, di mana Aku menginginkan Pascal dengan segenap perasaan, pikiran, dan nafsuku. Iya, namanya Pascal. Terdengar sangat ilmiah karena ayahnya adalah seorang ilmuan. Ia mempunyai seorang adik perempuan yang dinamai Sonata karena ibunya adalah seorang musisi, komposer, dan pianis handal. Sayangnya, mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan minat dalam bidang sains dan musik. Pascal penggemar olahraga dan Sonata penggemar komputer.

Aku sendiri penggemar sastra. Kurang berhubungan, tetapi Pascal memang sangat memabukkan dan sangat adiktif, paling tidak bagiku. Sekali aku mengenalnya, ia seperti tidak bisa sedetik pun absen dari pikiranku. Beberapa kali, aku mengacaukan tugasku karenanya. Akhirnya aku harus mengakali diriku sendiri dengan berpikir bahwa dengan mengerjakan tugas dengan baik, aku dapat membanggakan sesuatu di depannya. Cukup berhasil.


Hari ini, aku membantunya mencari data untuk penelitiannya dari internet. Aku memasukkan kata kunci yang ia berikan, lalu mulai mencari dan melaporkan kepadanya jika aku menemukan sesuatu. Kesenangan yang tak terkatakan.
Kami banyak mengobrol. Simpang siur dan akhirnya sampai kepada topik keagamaan. Ia seorang relijius. Ia banyak berdoa, ia beribadah secara rutin, dan sering beramal. Tanpa mengetahui semua itu pun, semua orang dapat melihat bahwa ia adalah orang yang baik karena ia begitu ramah dan suka menolong.

Kami pulang bersama hari ini. Sebenarnya, ia tinggal di daerah lain. Hanya saja, ia besi keras ingin mengantarkanku pulang sampai ke rumahku. Tentu, aku tidak menolak. Dalam perjalanan pulang, ia bercerita tentang seorang perempuan.

“Ia mungil, berambut pendek, berkulit putih, bermata besar. Senyumnya manis dan tanpa tersenyum pun, ia manis.”

Aku agak cemburu mendengar deskripsinya tentang perempuan itu. Namun, ia mengingatkanku akan perempuan yang sering sekereta denganku itu.

Ia bercerita bahwa dulu ia berhubungan dengan wanita itu. Bahwa ia sering juga mengantar wanita itu pulang, ke Chatswood. Hanya saja, sekarang perempuan itu menghilang.

Sejenak aku tersentak. Lalu, aku menceritakan tentang perempuan yang sering kulihat sekereta denganku itu. Kami yakin, kami membicarakan orang yang sama.

“Kira-kira, kenapa yah dia hilang?” iseng-iseng, aku bertanya.

“Mungkin karena dia tidak bisa menerima kenyataan.”

Aku menoleh kepadanya dengan dahi berkerut dan mata penuh kebingungan. Ia hanya tertawa.

Aku tidak puas. Maka aku menekankan kebingunganku dengan pertanyaan “maksud kamu apa?”

Ia tersenyum misterius. Ia memberi tanda kepadaku agar aku mendekatkan telinga kepadanya. Ia membisikkan sesuatu padaku. Mataku melebar, mulutku ternganga. Aku menoleh kepadanya lagi dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Sebuah pukulan ringan kudaratkan di lengan kanannya sebagai tanda peringatan agar ia tidak bercanda secara berlebihan.

“Kok kamu tau?”

“Tau aja.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Masih tidak percaya dan berusaha menganggap itu sebagai kabar burung belaka, tetapi aku merasa harus memercayai hal itu, entah mengapa. “Ck ck ck … Siapa yang tega melakukan hal kayak gitu sama perempuan secantik dan semanis dia. Gak mungkin.” Aku meyakinkan diriku sendiri.

“Aku,” jawabnya, tanpa kuduga.

“Jangan main-main kamu! Ini serius!”

“Aku serius.” Dan ia tertawa.

Meskipun ia tertawa, aku melihat keseriusan dalam nada suara dan wajahnya. Ini tidak mungkin nyata.
Aku menamparnya. Tepat di wajah. Aku tidak peduli meskipun orang-orang menatap kami penuh ketegangan. Ia kembali tertawa. “Kamu juga tidak bisa menerima kenyataan,” katanya sebelum tertawa lagi.


Kereta berhenti. Belum sampai tujuanku, tetapi aku turun. Aku tidak tahan berada di sana lebih lama lagi.
Sebelum pintu kereta tertutup lagi, ia meneriakkan sesuatu kepadaku.




“Jika kamu sudah melakukan begitu banyak hal untuk Tuhan, bukankah Ia akan mengerti jika sesekali kamu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?”

06/10/09

hilang*

Aku hanya seorang lain. Tiada arti dan tiada hadir. Hanya sesosok bayangan, terpojok di sudut ruangan. Aku meraung sedih. Mencabik-cabik wajahku yang berkerut-kerut bagai pare busuk. Aku benci kehadiranku. Aku benci dinamika dunia. Aku membenci segala sesuatu.
Namun, aku tidak membenci dia. Justru, dialah yang membuatku membenci segala sesuatu.
Ia tidak salah. Satu-satunya kesalahannya hanyalah kesempurnaannya. Kesempurnaan yang tidak ia percayai.
Ia realistis. Ia mengerti betapa dunia dan isinya tidak mungkin sempurna. Ia mengerti bahwa tidak ada insan yang sempurna di dunia ini. Ia hanya tidak mengerti bahwa setiap titik ketidaksempurnaannya pun adalah kesempurnaan bagiku.
Aku tenggelam dalam silau kilau kehadirannya.
Aku merongrong mengemis kehadirannya dan ketika ia hadir, aku menciut dan bersembunyi dalam kenistaan.
Aku gila mutlak.
Aku mengharapkan eksistensi ujung dunia, aku berharap mencapai ujung dunia, untuk kemudian menghilang di sana.
Atau tengah dunia sudi menelanku?

Ini semua ilmiah. Jatuh cinta, ketidakpercayadirian, gangguan jiwa dan kepribadian, gejolak hormon, dan penolakan. Hanya saja, jika semuanya kau alami secara bersamaan, kau jadi tidak mampu berpikir secara ilmiah, atau paling tidak secara realistis.
Kau akan memandang dunia seperti ini.
Seperti bola besar berputar-putar, membuatmu mabuk, tenggelam dalam hiruk pikuk, tertawa lepas di tengah keramaian, menari-nari di antara gelimangan percik-percik bintang, dan kemudian kau sadar, semua itu tidak nyata. Kau terjatuh ke dalam kegelapan, mencari-cari apapun yang konkrit. Apapun yang dapat kau raih, kau raba, kau pegang, kau lihat, kau dengar. Namun, semua hanya kekosongan dan kau berharap, kamu pun tak pernah ada. Kau berharap, kamu pun hanya kosong.

Aku menatap diriku dalam pantulan cermin di depanku. Aku berbisik memanggil namaku. Aku menatap nanar kepada mataku yang sembab dan bengkak, juga agak merah. Aku memaafkan diriku karena telah menangis begitu parah. Aku mengerti perasaanku. Aku tidak menuntut diriku untuk menjadi wajar atau menjadi kuat. Aku menerima diriku yang lemah, cengeng, pecundang, dan putus asa.
Aku menatap sebilah belati di tangan kananku.
Akankah kupakai untuk membelah leherku sendiri atau lebih baik kupakai untuk membelah lehernya saja?
Ini terlalu kekanak-kanakan dan tidak berpendidikan, tetapi ketika otakmu telah kehilangan rasio, kau menjadi barbar seperti kera. Aku tidak memaafkan diriku untuk itu, tetapi aku juga tidak berusaha mengendalikan diriku. Aku perusak kesejahteraan umat manusia.

Aku akan pergi ke ujung dunia. Aku tidak akan membuat orang-orang takut (atau sedih, jika ada yang sedih jika aku mati). Aku yakin mereka tidak akan meributkanku. Aku yakin aku bukan sesuatu yang cukup eksis untuk diributkan jika tiba-tiba aku menghilang.
Maka aku menghilang. Aku ingin menghilang di ujung dunia, lalu aku akan menghilang dari dunia ini.
Aku berjalan dituntun kakiku. Melewati jalan-jalan besar, menelusuri jalan-jalan kecil, mendaki jalan-jalan menanjak, menuruni jalan-jalan curam, menyeberangi sungai yang deras dan dingin, membiarkan diriku terbawa di sana. Lalu, aku tersadar, aku terkapar dan terdampar di tepi perairan. Tempat di mana tidak tampak tanda-tanda keberadaan manusia, tetapi penuh dengan tumbuhan dan hewan-hewan berbunyi merdu.
Jika aku hidup di sini, betapa aku akan bahagia. Betapa alam ini memanjakan manusia, andai manusia menyadarinya.
Namun, bayangannya menyergap pikiranku. Aku tidak mau hidup di dunia yang sama dengannya. Aku mau pergi. Aku memeriksa tangan kananku. Belatiku tidak lagi ada di sana. Aku mencari cepat ke kiri, ke kanan, ke sekelilingku. Aku tidak menemukannya. Aku menutup wajah dan menangis.
Aku berjalan ke tengah hutan. Berdoa kepada alam agar mengutus beruang, serigala, singa, harimau, atau apapun, untuk memakanku. Nihil. Aku berjalan dengan langkah terseret-seret dengan segala hewan yang kulewati melirik kepadaku, tetapi hanya itu. Hanya lirikan. Tiada respon lebih lanjut. Aku memohon dalam hati kepada mereka agar mereka menyerangku. Mereka hanya menatap.

Malam menenggelamkan matahari, tetapi aku melihat terang selain terang bulan. Aku berjalan ke arah terang itu. Segerombolan anak muda. Mereka sedang berkemah. Mereka membuat tenda di tanah lapang terbuka. Aku terduduk dan tersandar di salah satu pohon di tepi lapangan itu. Aku memerhatikan mereka. Membakar daging dan bersenda gurau. Seseorang muncul dari balik salah satu tenda. Dia.
Itu dia.
Aku menghela nafas, meskipun aku tidak merasakan nafas melewati rongga dadaku.
Sejauh ini pun, ia masih harus hadir di depanku. Aku memejam mata. Aku ingin memejamkan mata untuk selamanya.

Aku membuka mata. Matahari telah kembali merajai langit. Seorang di antara mereka berteriak-teriak dengan ribut. Membangunkan semua orang dan membuatku spontan membuka mata.
Mayat, mayat, katanya.
Semua temannya, termasuk dia, berlari mengikutinya ke tempat di mana ia mengaku melihat mayat. Aku ingin tahu. Aku turut ke sana.
Di sana, aku melihat seorang wanita terbujur kaku dan membiru, dibalut gaun tanpa lengan, selutut, putih, dan koyak-koyak. Rambutnya pendek. Di tangan kanannya, sebuah belati.
Kurasa, aku kenal dia.

26/08/09

hilang IV

Kuli itu diungsikan ke sebuah kamar di bagian belakang ruko oleh sang kakek. Di sana, beberapa kuli membantu mengobati tangan kakinya yang lecet dan memar, juga dahinya yang berdarah tertimpa tangga. Sebentar saja, sang kakek muncul membawa segulung perban, lalu membantu membalut luka di dahi si kuli. Kuli tersebut sangat berterima kasih. Kakek itu memberikan dua botol obat Cina, sebotol arak dan sebotol tie da yao jin untuk si kuli. Saat pulang nanti pun, kakek itu akan memberi bayaran lebih bagi kuli yang tertimpa bencana itu.

Ketika kuli itu telah ditinggal sendirian di kamar belakang itu agar bisa istirahat, cucu perempuan sang kakek penasaran ingin menengoknya. Sang cucu meminta izin ke toilet –yang kebetulan juga terletak di bagian belakang ruko- kepada sang kakek.

Di kamar belakang, Arien menemukan Gani.

“Aku tau kamu masih hidup,” bisik Arien dengan senyum lebar di wajahnya. Arien beranjak duduk di sisi ranjang yang ditiduri Gani.

Gani terlonjak kaget. Ia terbangun dari tidurnya yang baru beberapa menit. Dahinya terasa berdenyut. Ia tidak mampu berkata-kata. Arien pun terkejut karena reaksi Gani yang begitu rupa.

Untuk beberapa lama, mereka saling diam. Tidak bicara dan salah tingkah. Terkadang ada yang mencoba memulai, sudah membuka mulut, tetapi tak muncul satu patah kata pun. Lalu, mereka menyerah. Mereka membiarkan jam dinding mendominasi ruangan dengan detak detiknya. Mereka saling diam dan masing-masing tersedot kepada masa lalu. Butuh waktu lama agar mereka masing-masing merasa dekat lagi seperti dulu kala.

Ketika perasaan akrab itu sudah cukup membauri mereka, mereka pun saling tatap.

“Ngapain kamu ke sini?” Gani memulai.

“Ini toko kakekku.”

“Oh.”

Hening lagi.

“Kamu lihat aku?”

“Kamu luka-luka gara-gara aku. Maaf ya...”

“Bukan itu maksudku. Kamu lihat, aku ini miskin. Aku cuman bisa kerja serabutan. Hidup pontang-panting. Kamu lihat diri kamu. Kamu anak orang kaya. Pengusaha sukses. Gak pantes kita deket-deket begini.”

Dengan dahi terkerut sempuran, Arien mencurigai, “omongan kamu persis Mama.”

“Memang mama kamu yang bilang begitu sama aku.”

Mata Arien terbelalak.

“Gak usah heran,” Gani hendak bercerita, “sebelum kamu pulang dari Singapur, mama kamu nyamperin aku.” Kedekatan yang terasa di antara mereka berdua membuatnya menjadi berani untuk terbuka. “Orang tua kamu kasih aku rumah dan uang. Mereka mau aku pergi dan jauh-jauh dari kamu. Aku gak boleh berhubungan dengan kamu lagi. Kalo sampai aku nolak, aku masuk penjara. Lagian, apa kata mama kamu toh bener! Aku memang gak pantes buat kamu.”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gani. Dahinya makin berdenyut.

“Kamu rela ninggalin aku untuk rumah dan uang? Kamu takut masuk penjara?” Arien menuntut dalam isaknya.

“Kamu mengharapkan sesuatu yang berlebihan, Rien!” bentak Gani. “Kamu tau ayahku udah meninggal. Siapa yang urus ibuku kalo aku dipenjara?” Urat-uratnya menegang dan tampak di lehernya. Dahinya makin berdenyut. “Kamu enak! Orang tua kamu tajir! Kamu gak usah mikirin duit, duitnya dateng sendiri! Kamu liat aku! Aku ini orang susah! Kalo gak kerja keras, gak dapet duit! Gimana mau makan? Kamu juga tau ibuku sakit-sakitan! Aku gak tega liat dia kelaperan! Kamu tau, aku bisa bawa dia berobat karena duit yang orang tua kamu kasih!” Napasnya tersengal-sengal.

Arien menangis sesungukan. Arien sungguh-sungguh menyesali ucapan dan tuntutannya. Ia begitu saja menghambur memeluk Gani. Gani mendekapnya erat. Di pelukan Gani, Arien makin deras menangis.

“Rien, aku gak pantes deket-deket kamu. Apalagi meluk kamu kayak gini. Aku gak tau diri,” ucap Gani lirih sekali.

Gani hendak melepas Arien dari pelukannya, tetapi Arien bertambah erat memeluk, sehingga tubuh Gani yang tadi terjatuh dari tangga terasa ngilu. Ia kembali memeluk Arien dan membelai rambutnya.

Muncul sebuah gagasan di kepala Gani. Gagasan itu ia rumuskan menjadi sebuah janji yang ia ingin Arien percayai dan pegang teguh. “Aku janji, aku akan kerja keras. Aku akan jadi orang sukses. Lalu-“

“Sssst...” Arien memotong.

Mereka berdua lama sekali tetap berpelukan seperti itu. Menikmati detak jantung lawannya.

Sementara, kakek Arien yang tetap setia menunggui toko tahu persis apa yang terjadi di belakang sana. Ia sempat menguping sebentar. Ia tersenyum-senyum. Mengingat bagaimana hal serupa terjadi atas dirinya dan istrinya. Ia tersipu-sipu. Dalam hati, ia berjanji akan membantu kuli itu.

*****


-harus berakhir di sini-

14/08/09

hilang III

Tok tok tok.

“Arien? Arien sayang?”

“Iya, Ma! Masuk aja!”

Terdengar bunyi gagang pintu ditekan dan decit pintu. Pintu ditutup kembali.

Ibu dan anak berpandang-pandangan di kamar si anak.

Ada apa, Ma?”

“Justru Mama yang mau tanya kamu, ada apa?”

“Lho? Memang Arien kenapa, Ma?”

“Harusnya Mama yang tanya.”

Arien terdiam. Menatap wajah ibunya yang teduh.

“Rien, sejak pulang dari Singapur, kamu murung terus. Jarang makan. Sekarang udah tambah kurus. Kamu juga gak jalan-jalan kalo gak diajak Cindy. Di kamar terus. Apa apa, Rien?”

Arien memutar otak mencari alasan.

Ibunya melanjutkan, “papa dan mama khawatir sama kamu.”

Arien berusaha tersenyum meskipun tentu tampak terpaksa. Ia berkilah, “Arien kangen sama opa dan oma.”

Ibunya langsung ceria, “ya ampuuun! Kenapa gak bilang?”. Menyusul tawa wanita elit dari ibunya yang sama sekali tidak berlebihan apalagi kampungan.

“Sekarang ‘kan udah sore banget,” lanjut sang ibu, “gimana kalo besok pagi, kita ke rumah opa-oma?” tak lupa ibunya membubuhkan senyum lebar dan hangat di akhir kalimatnya.

Arien mengangguk pelan.

Dengan lega, sang ibu berjalan anggun keluar kamar.

Arien kembali merenung seorang diri.

Tiba-tiba saja ia terkejut. “Rumah opa-oma kan di Tangerang!” pekiknya lirih.

Tak menunggu lama, ia berlari keluar kamar, mendapati ibunya sedang menyiapkan makan malam bersama pembantu-pembantunya.

“Ma?”

“Iya, sayang?”

“Boleh gak, Arien nginep di rumah opa-oma? Emmm... Seminggu aja!”

“Boleh dong, sayang!”

Wajah Arien langsung cerah. Benar-benar lega dan senang hati ibunya karena hal itu.

Arien kembali masuk ke kamar. Di sana, ia memutuskan untuk tidak mengabari teman-temannya lagi karena menganggap mereka tidak bisa dipercaya dan diandalkan.

***

Dini hari, Arien telah menyiapkan segala keperluannya untuk menginap di rumah oma dan opanya. Ia begitu bersemangat.

Begitu sopir dan mobilnya siap, ia langsung memanggil-manggil ayah dan ibunya.

Ayo, Pa! Ayo, Ma! Cepetan!”

Ayah dan ibunya yang belum siap pun menjadi buru-buru. Ditambah lagi, mereka senang sekali melihat anak mereka menjadi begitu bersemangat, sehingga gerakan mereka pun bertambah cepat.

Sejenak kemudian, semua telah siap. Dalam mobil Kijang hitam mengkilap, seorang sopir duduk di tempat setir, sang tuan pemilik mobil di sebelahnya, sementara sang nyonya dan anaknya di bagian tengah. Bagian belakang berisi barang-barang Arien yang luar biasa banyak.

Jika tanpa macet, tentu mereka lebih cepat sampai. Namun, kemacetan dan waktu yang terbuang tidak sedikit pun memengaruhi suasana hati Arien. Diliriknya sopirnya yang tampak stres ketika turun dari mobil. Juga ayah dan ibunya yang tampak suntuk, tetapi lega karena sudah sampai tempat tujuan. Ia tetap tersenyum ceria.

Mereka semua disambut dengan hangat dan senang oleh tuan dan nyonya rumah, kakek dan nenek Arien. Sejenak, terjadi adegan peluk-pelukan dan salam-salaman. Lalu, semua menyerbu masuk ke ruang tamu.

Sampai sore, ayah-ibu dan kakek-nenek Arien tidak berhenti mengobrol sejak datang, mengemil di ruang tamu, makan siang, menonton televisi di ruang tengah, sampai akhirnya mereka harus pamit pulang.

Ayah dan ibu Arien pulang, sementara Arien tetap tinggal. Ia akan menginap satu minggu di sana. Ia masih mengobrol dengan kakek dan neneknya ketika makan malam dan menonton televisi lagi sebelum tidur.

Ketika telah saatnya tidur, ia masuk ke kamar tamu, lalu berbaring di ranjang yang telah disiapkan untuknya. Mendadak, sebuah pikiran jelek menyelusup ke kepalanya, Tangerang ‘kan luas! Mau cari dia di mana?

Sejenak ia mengutuk-ngutuki dirinya karena merasa bodoh. Tidak lama, karena ia cukup lelah untuk tertidur pulas dengan cepat.

Esok hari, Arien bangun masih dengan tanda tanya besar di kepalanya, BAGAIMANA? Namun, hal itu terobati sedikit setelah sebuah pemikiran muncul bahwa selama ia masih berada di Tangerang, ia akan mempunyai lebih banyak peluang untuk berjumpa dengan Gani.

Ia berlari keluar kamar, mendapati kakek dan neneknya yang masih sehat dan enerjik di umur 70-an. Kakeknya pemilik sebuah ruko di mana ia menjual segala jenis plastik. Dari plastik kemasan sampai perabotan plastik. Setiap hari, sang kakek ke sana untuk mengawasi pekerjaan karyawan-karyawannya dan menjaga tokonya. Sementara, sang nenek aktif di gereja. Menjadi panitia berbagai acara, bergabung dalam paduan suara usia indah, dan bermain piano di kebaktian sekolah minggu. Mereka pun masih begitu mesra dan romantis. Diam-diam, Arien menginginkan hal yang sama untuk dirinya di hari tua. Harapannya, hari tua bersama Gani.

“Ayo, sarapan, Rien!” seru neneknya.

“Iya, Oma.” kata Arien sambil meraih sepotong roti tawar dan memakannya.

“Gak pake selai?” sang kakek menawarkan.

Arien menggeleng, “begini juga enak.”

Semua tersenyum.

“Kakek mau ke toko. Kamu mau ikut?” kakek Arien menawarkan.

“Mauuu!!” pekik Arien.

Arien buru-buru menuntaskan sarapannya, lalu mandi, dan merias diri. Setelahnya, ia menghampiri kakeknya yang telah menunggu di teras sambil membaca koran.

“Ayo, Opa!”

Kakeknya tersenyum. “Pamit dulu sama Oma.”

Arien hendak berlari masuk, tetapi baru berancang-ancang, neneknya telah muncul dari pintu depan. Arien langsung memeluk neneknya dan mencium pipi neneknya. Sebuah ciuman kencang dan basah menyerang pipi si nenek. Nenek tertawa saja.

“Aku pergi yah, Oma!”

“Iya, sayang.”

Gantian sang kakek mencium dahi nenek dengan lembut dan hangat. Lalu mereka saling melambai. Setelah beberapa langkah, beranjak dari rumah, terdengar suara sang nenek, “hati-hati di jalan!”.

Arien dan kakeknya berjalan kaki ke sebuah perempatan dekat rumah kakek-neneknya untuk menumpang angkutan umum sampai ruko kakeknya.

*

Di ruko kakeknya yang sederhana dan sumpek dengan berbagai jenis plastik, juga bau plastik, Arien kepanasan karena di sana tidak ada pendingin ruangan. Ia mengipasi wajahnya dengan selembar karton bekas. Ia beruntung karena kelenjar keringatnya tidak hiperaktif, sehingga ia tidak harus berbasah-basah karena keringat meskipun dahinya sedikit berkilau karena keringat.

Arien sebenarnya telah membawa sebuah novel untuk ia baca sewaktu-waktu jika bosan. Namun, penerangan di sana rupanya kurang, sehingga ia tidak nyaman membaca di sana. Ia memberitahukan hal tersebut kepada kakeknya, sehingga kakeknya memanggil salah satu kuli pengangkat barang untuk memasangkan bola lampu baru. Awalnya, Arien acuh tak acuh dan tidak sabar, tetapi ketika melihat yang memasang lampu itu, dadanya jadi bergejolak. Ia mengenal kuli itu.

Saat Arien memerhatikannya, kuli itu belum menyadari kehadiran Arien. Ia telah beberapa hari bekerja di deretan ruko itu. Sebagai apa saja. Juga telah beberapa kali ia bekerja kepada kakek pemilik toko plastik itu, tetapi selama ini kakek itu selalu datang seorang diri, sehingga ia juga tidak memerhatikan ketika kakek itu membawa seorang cucunya yang masih gadis.

Selesai memasang bola lampu, ia hendak turun dari tangga lipat yang dinaikinya. Ia menoleh ke bawah, mencari pegangan, tetapi ia melihat sepasang mata zaitun indah sedang menatapnya. Ia begitu terkejut, sehingga ia terjatuh dan membuat kegaduhan.

10/08/09

hilang II

Si Nando ini rupanya begitu tekun dan cekatan. Entah karena masalah ini menyangkut teman baiknya atau karena ia ingin menunjukkan dirinya di depan Cindy yang ia sangat sukai itu. Hanya beberapa menit setelah berpisah dengan Cindy dan Arien, ia langsung menghubungi satu per satu temannya yang nomornya tersimpan dalam telepon genggamnya.

Alhasil, dua hari kemudian, ia telah dengan bangga bekumpul kembali dengan Cindy dan Arien di kafe yang sama dengan sebelumnya. Ia membawa kabar baik.

“Ternyata, dia pindah ke Tangerang!”

“Tangerang?” pekik Cindy, “tau dari mana?”

“Dari temen gua yang tinggal di sana dong! Ternyata temen gua itu satu tongkrongan ama dia! Hah! Besok gua seret dia ke sini!”

Arien, yang sejak tadi hanya mendung, tetap mendung. Ia menyembunyikan informasi jelek yang ia miliki dan menunggu saja sesuatu terjadi atas perbuatan kedua temannya itu.

*

Keesokan harinya, tiada kabar dari Nando.

Arien gelisah. Ia berulang kali menelepon Nando tanpa mendapat jawaban. Ia juga meminta Cindy melakukan hal yang sama dan Cindy pun mendapat perlakuan yang sama.

Keesokan harinya lgai, Nando menelepon Arien pagi-pagi sekali.

Arien terbangun dari tidurnya, berusaha meraih telepon genggamnya yang terletak tepat di sebelah kepalanya. Di meja berlampu jingga.

“Halo?” suaranya masih serak.

“Rien?”

“Do, ada apa? Kenapa kemaren lo-“

“Rien,” Nando memotong kalimat Arien, “kabar buruk.”

Arien bangun terduduk di ranjangnya. Wajahnya berubah tegang.

“Apa?”

“Gani...”

“Kenapa, Do?” Arien gemas dan cemas.

“Dia... udah meninggal.”

Arien diam. Lalu tertawa.

“Kamu becanda, Do! Gak lucu! Keterlaluan!”

“Ini beneran, Rien!”

“Gak mungkin!”

“Rien, kemaren gue baru pergi ke Tangerang. Gue ketemu temen gue itu. Ternyata, temen gue itu juga udah lama gak ketemu si Gani, tapi dia kasih tunjuk rumahnya. Di rumahnya, gue ketemu nyokapnya. Pas gue tanyain, nyokapnya malah nangis-nangis-“

Klik. Arien memutuskan pembicaraan secara sepihak. Ia tidak sanggup mendengar lebih. Ia membenamkan wajahnya kepada bantal besar empuknya dan menangis di sana.

Tak lama, ia bangun terduduk lagi dengan sangat tiba-tiba. Ia teringat pembicaraannya di telepon dengan ibu Gani. Berjuta pertanyaan menyergap pikirannya, sehingga menjadi ngilu kepalanya. Benarkah itu ibu Gani? Mungkinkah Endah yang melakukan itu karena sesuatu? Mungkinkah Nando berbohong? Lalu, MENGAPA??

Ia bertekad untuk menyelesaikan semua teka-teki ini sebelum waktu liburannya habis dan ia harus kembali melanjutkan studinya.

Sementara itu, ayah dan ibunya mulai mengkhawatirkan keadaannya yang lesu tanpa semangat. Tentu ada masalah yang sedang ia sembunyikan dari mereka.

***

“Gani! Gila lo! Ngapain lo ngumpet di sini? Mantan lo yang tajir tuh kocar-kacir nyariin lo!”

Tampak kerut-kerut terbentuk di dahi Gani.

“Jadi, lo ke sini buat ngasih tau itu?” ketus Gani.

“Iya sih. Tapi gue pengen ketemu lo juga. Eh, jing! Kok lu pindah gak bilang-bilang gua sih? Lu gak anggep gue sohib lo lagi?”

“Gue sengaja. Sialan aja lu masih nyari-nyari gua.”

“Sengaja?” Nando kaget dan bingung. “Kenapa?”

Gani menghela napas panjang. “Kita harus ngomong serius. Ke dalem aja.”

Gani memberi isyarat dengan tangannya, lalu mereka berdua beranjak dari ruang tamu ke kamar tidur Gani.

Nando melihat rumah Gani yang baru ini keadaannya lebih baik dari yang sebelumnya. Juga sekarang Gani bisa tidur di kasur, bukan matras.

“Lo masih sekolah di sini?” Nando berbasa-basi penasaran.

“Ah! Duit dari mana?”

“Kerja?”

“Iya.”

“Kerja apa?”

“Apa aja. Gak pasti.”

“Gak jual diri ‘kan?”

Nando mendapat jawaban berupa timpukan bantal ke wajahnya. Lalu, mereka berdua tertawa lebar. Hanya sesaat sebelum berubah hening.

“Sebelum gua pindah ke sini, bo-nyok Arien nyamperin gue ke rumah lama gue,” Gani memulai.

“Gile! Mau apa mereka?”

“Ngusir gue, jelas!”

“Lo pindah ke sini karna mereka suruh?”

“Gua bukan cuman disuruh pindah! Gua dikasih ini rumah! Gua masih dikasih duit banyak! Pokoknya, gua harus pindah dan putus kontak sama si Arien. Kalo gak nurut, gua malah bakal difitnah biar masuk penjara! Gila!”

“Tapi Arien kan di luar negeri waktu itu? Kenapa...?”

“Justru itu! Mereka tau si Arien bakal nyari gua kalo udah pulang.”

Nando tidak dapat berkata-kata.

Tak lama, Nando terpikir sesuatu dan langsung menanyakannya, “nyokap lu mau dikasih rumah dan duit sama mereka?”

“Nyokap gua gak tau. Gua bilang aja gua menang undian. Kalo gak, bisa dikutuk jadi batu gua!”

Nando mengangguk-ngangguk mengerti.

Kemudian, Nando terkesiap lagi. “Terus gua mesti bilang apa sama si Arien? Gua udah janji mau bawa lu ke sana hari ini!”

“Ah, bego lo!”

“Yah, gue ‘kan gak tau!”

“Lo bilang aja…. Nggg… Apa kek…”

“Apa??”

“Ah! Bilang aja gua udah mati!”

“Iye, kecelakaan di jalan kek, ketabrak kereta kek, dimakan kucing kek…”

02/08/09

hilang

Seorang gadis remaja, begitu jelita, teronggok tak beradaya di ranjangnya. Raganya tidak sakit. Hanya jiwanya sedang bimbang. Merenung-renungi masa lalunya. Masa-masa indah bersama seorang remaja putra yang sangat membahagiakan dirinya. Kemudian, masa-masa sulit ketika mereka menghadapi orang tua masing-masing. Kedua orang tuanya yang merasa tidak sudi anaknya terlalu akrab dengan anggota masyarakat golongan ekonomi bawah karena dianggap memalukan atau membuat aib. Juga satu-satunya orang tua kekasihnya, yaitu ibunya, yang menganggap persahabatan dengan orang kaya hanya akan memberi kesempatan bagi mereka untuk menghina dan melecehkan dirinya. Kemudian, teringat masa-masa perpisahan mereka. Ketika ia diharuskan meneruskan studi ke luar negeri, sementara kekasihnya tidak punya cukup dana untuk turut serta.

Kini ia kembali ke tanah air di waktu liburannya. Segala benteng yang dibangunnya untuk menghalangi memori sentimentil itu agar tidak mengganggu studinya kini runtuh seketika. Tepat ketika ia menginjakkan kakinya di tanah air, menghirup udara setempat. Semua kenangan menyerbu masuk ke dalam dirinya. Membuatnya menjadi perhatian banyak orang karena menangis secara tidak wajar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tak lama, muncul kedua orang tuanya, yang mengira anaknya menangis karena terlampai merindukan mereka, memeluknya dan membuat orang-orang maklum.

Beberapa hari telah ia lewatkan di rumah, tidak banyak yang ia telah lakukan. Ia lebih banyak terkapar di kamar. Merenungi kenangan. Di mana ia sekarang? Masih ingatkah padaku? Masih sudikah denganku?

Telepon genggam ia raih untuk menghubungi seorang teman terdekat. Dari teman dekatnya itu, kemudian ia mendapatkan nomor-nomor teman-teman yang lain. Ia memulai sebuah penyelidikan kecil dengan dibantu teman baiknya itu.

***

“Gimana? Apa kata Endah?” tanya si gadis.

“Dia bilang, udah sekitar tiga bulan dia gak nongkrong-nongkrong bareng mereka,” jawab sahabatnya membuat dirinya kehilangan harapan karena kenyataan bahwa Endah adalah kekasih terakhir kekasihnya setelah ia tinggalkan tidaklah menolong.

Mereka berdua tampak berpikir lama. Masing-masing mengerutkan dahinya. Semua mendiamkan minuman lezat yang tersaji di depannya. Tiada juga yang memerhatikan mereka, tidak pengunjung-pengunjung kafe yang mereka tongkrongi, tidak juga pelayan-pelayan di sana, kecuali sepasang mata milik seorang laki-laki yang duduk sendirian di pojok. Tadinya ia tampak tenang-tenang saja. Menyeruput kopi sambil membaca buku dan menikmati kesendiriannya. Namun, kini dahinya pun turut dikerut-kerutkan. Tak lama, ia datang menghampiri dua gadis yang semenjak tadi ia perhatikan.

“Cindy? Arien?”

Yang mereasa namanya disebut pun menoleh.

“Nando?” terdengar pekik serempak dengan dua nada berbeda. Yang satu dengan tertarik dan senang, yang satu dengan penuh harapan.

“Kamu ngapain di sini?” Cindy, sahabat si gadis cantik yang juga tak kalah cantik, mendadak ceria berbasa-basi dengan penuh kecentilan.

Nando tersipu-sipu menjawab lirih, “minum kopi.”

Arien, si gadis yang benar-benar berkeperluan dengan penyelidikan kecilnya, berusaha menyusun pertanyaan di dalam kepalanya untuk kemudian disemburkan kepada Nando, yang ia tahu benar adalah teman baik kekasihnya. Ia masih sempat mengutuk-ngutuki dirinya sendiri yang tidak kepikiran untuk menanyakan Nando kepada teman-temannya yang lain atau kepada sahabatnya yang naksir berat Nando ini.

Tanpa menunggu pertanyaan untuk selesai tersusun di kepala Arien, Nando mendahului bertanya, “gue denger dari temen-temen lain, lo lagi nyari si Gani.”

“Iya.”

“Percuma lo tanya-tanya mereka.”

Pernyataan Nando membuat dua gadis di depannya terbelalak bingung.

“Sejak lo tinggal,” Nando meneruskan, “dia udah jarang banget maen sama anak-anak laen. Jadi petapa di rumah. Ketemu gue aja jarang!”

“Endah?” Cindy terpikir akan gadis lain yang belakangan dikabarkan berpacaran dengan Gani.

“Endah kan dari bahuela udah naksir berat sama Gani,” Nando menjelaskan,”sejak lo pergi,” ia menunjuk Arien, “dia nempel-nempel si Gani, trus ngaku-ngaku udah jadian. Padahal, kalo dateng ke rumah Gani aja, dia cuma diladenin sama emaknya Gani. Gani mah boro-boro mau keluar kamar cuman buat ketemu cewek centil macam gitu!”

Sesuatu menyengat hati Arien. Ia ingat perlakuan ketus ibu Gani padanya. Ternyata ibu Gani lebih menyenangi Endah daripada dirinya. Cindy yang menyadari perubahan suasana hati sahabatnya langsung memotong pembicaraan Nando, “terus, sekarang Gani di mana?”.

“Nah, itu gua juga gak tau!” jawaban Nando mengecewakan sekaligus mengejutkan mereka berdua.

“Sekitar... Hmmm... Tiga bulan lalu, dia pindah rumah. Gak bilang-bilang ama gue! Monyet! Gue tau dari tetangganya! Trus gak ada kabar lagi ampe sekarang.”

Kini semua tertunduk lesu.

Paling tidak, sekarang Arien mendapat satu tenaga baru untuk masuk ke dalam tim penyelidiknya.

*

Semua pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, Arien langsung masuk ke kamar untuk berganti baju. Sebelum ia membuka bajunya, pembantunya telah memanggil-manggil.

“Noooon! Non Ariiiiin! Ada telpon! Katanya penting!”

Buru-buru Arien keluar dari kamarnya dan meraih gagang telepon tanpa kabel yang telah diantar oleh sang pembantu sampai ke depan pintu kamarnya.

“Makasi, Bi,” katanya sebelum masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu.

“Halo?”

“Iya, halo! Kamu Arien?” suara wanita paruh baya begitu ketus di seberang sana.

“I-iya, aku Arien. Ada apa ya?”

“Heh! Kamu! Jangan cari-cari Gani lagi! Cewek gak tau diri! Jangan cari-cari anak gua lagi!”

Arien susah payah menelan ludah dan berkeringat dingin.

“Denger gak kamu!”

Arien jatuh terduduk di ranjangnya yang tebal dan empuk.

“Kamu anak orang kaya, cari cowok orang kaya juga sana! Jangan genit-genit sama anak gua! Jangan kamu kira karna lo banyak duit, semua orang tunduk sama lo! Najis!”

“Ma-maaf, Bu?”

“Eh, gua najis sama bapak lo, tau! Bapak lo tuh pejabat korup! Gua najis kalo anak gua harus deket-deket sama anak tukang korup! Apalagi ampe megang duit hasil korup lo! Najiiiis!!”

Sekarang Arien mengerti mengapa segala hadiah di segala hari raya yang ia berikan kepada ibu Gani selalu ditolak dengan cara paling menyakitkan.

“Setan! Denger gak lo! Jauhin anak gua!”

Klik. Telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana.

Dengan tangan berkeringat dingin dan gemetaran, Arien bersusah payah menekan tombol redial.

“Halo?” ucapnya lirih, “Bu?”

“Maaf, Dek,” suara seorang pria, “ini telepon umum.”

Arien menghela napas.

“Sudah yah? Saya mau pake.”

“Iya, Pak. Maaf.”

Klik.


(bersambung)

14/07/09

kotak

Ia adalah yang pernah menjabati tempat tinggi di hatiku. Menjadi pujaanku. Sampai sekarang.

Saat itu, aku adalah seorang murid baru di sebuah SMU swasta. Sebelumnya, aku bersekolah di sebuah SMP negeri yang terpencil dan tak terdengar namanya. Yang terkadang juga menjadi olok-olok oleh SMP-SMP negeri lain. Bagi kebanyakan orang, mobilitas yang kulakukan sangatlah ekstrem. Berpindah dari sebuah SMP negeri antah berantah ke sebuah SMU favorit di ibukota. Padahal, tidak ada yang istimewa. Aku sama dengan murid-murid lainnya di sana. Aku sama-sama lulus tes masuk ke sana, melunasi uang pangkal dan iuran bulanan yang sama. Aku tidak istimewa, secara negatif maupun positif.

Meskipun aku berpikir dan merasa demikian, tidak dengan murid-murid di sana. Mereka begitu takjub ketika kusebutkan asal sekolahku. Apakah mungkin, sepanjang sejarah sekolah ini, belum ada murid dari sekolah negeri yang menjejakinya? Atau mereka menganggap produk, eh, murid sekolah negeri sangatlah bodoh, sehingga tidak mungkin masuk ke sekolah yang konon mempunyai mutu pengajar dan pelajaran yang sangat tinggi? Atau mereka menganggap murid sekolah negeri terlalu malas untuk dapat bertahan di sekolah ini? Entahlah.

Hari pertama masuk sekolah, aku datang ke sekolah sangat awal, sehingga aku tidak menemukan siapapun dalam kelasku. Tak berapa lama kemudian, seorang murid perempuan masuk. Aku tersenyum kepadanya. Ia membalas senyumku dan kami mulai berbasa-basi.

"Anak baru ya?" tanyanya.

"Ia. Namaku Peni. Namamu siapa?" sahutku.

"Aku Vita." jawabnya.

Kami berjabat tangan.

"Dari sekolah mana?" tanyanya lagi.

"Dari SMP XXX"

"Wah!" ia tampak takjub.

"Kenapa?" aku heran.

"Dari SMP negeri, kamu langsung masuk kelas tiga SMU di sini? Hebat!"

"Hah? Kelas tiga? Bukan. Aku masih kelas satu."

"Lho? Ini kelas tiga. Oh, kamu pasti salah masuk kelas!"

Aku malu sekali. Sekolah itu memang tampak terlalu besar bagiku. Aku selalu tersesat di dalamnya.

Setelah itu, ia mengantarku ke kelasku yang seharusnya. Aku sangat berterima kasih kepadanya.

Sampai di kelasku yang sebenarnya, aku telah melihat dua orang siswa lain yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Salah satu dari mereka sedang asik membaca novel, yang lain sedang menggali-gali lubang hidungnya dan mengumpulkan harta karun dari hidungnya ke atas meja. Aku masuk saja dan sembarang memilih tempat duduk. Tak lama kemudian, seorang siswi masuk dan langsung mengampiriku.

"Hai! Anak baru ya? Duduk sama aku aja yuk!"

Ia bahkan tidak memberiku kesempatan bicara untuk menyatakan setuju atau tidak. Ia langsung merengutku dari bangku yang kududuki. Akhirnya, aku duduk sebangku dengan anak itu. Anak itu sangat membosankan. Ia selalu membicarakan dirinya. Sebagai seorang murid baru, aku tidak mau membuat musuh. Maka, aku tidak mendengarkannya. Hanya memberi reaksi berupa anggukan yang dibumbui senyum, serta sesekali "oh ya?', "wah!", dan sebagainya.

Setelah murid-murid telah lengkap mengisi kelas dan bel masuk berbunyi, sang wali kelas pun datang. Seorang wanita paruh baya yang agak gemuk. Guru Bahasa Inggris. Ia meminta kami satu persatu memperkenalkan diri kami dalam Bahasa Inggris. Bahasa Inggrisku terlampau buruk. Murid-murid lain menertawakanku. Ketika mereka tahu bahwa aku berasal dari sekolah negeri, mereka menjadi maklum, takjub, dan meremehkan.

"Kamu gak ikut MOS yah?" tanya salah seorang siswa yang duduk tidak jauh dariku. MOS adalah Masa Orientasi Siswa. Sama halnya dengan OSPEK.

"Gak. Aku masih di luar kota." jawabku dengan jujur.

"Ih! Dari sekolah negeri di kampung, bisa masuk sekolah bagusan di Jakarta?" sinisnya.

Aku tersenyum saja. Nyatanya aku memang bisa.

Setelah seluruh murid memperkenalkan dirinya, wali kelas pun mulai merancang sebuah denah kelas, yaitu tata duduk siswa. Ternyata, siswi narsis yang tadi mengajakku duduk bersamanya mendapat tempat duduk tepat di belakangku. Tidak lebih baik dibanding sebangku denganku. Tetap saja bertetanggaan. Di sebelahnya duduk seorang siswa yang sangat mengagumkan.

Doremi, namanya. Doremi. Ia membuatku tidak dapat berkonsentrasi ketika belajar. Bagaimana mungkin aku dapat berkonsentrasi jika kepalaku selalu ingin memutar sedikit ke belakang agar bola mataku dapat mengintipnya sedikit dari sudut mataku? Si Hanoman cerewet itu sering mencongkel, eh, mencolek punggungku untuk memanggilku. Ia selalu ingin bercerewet menceritakan dirinya. Saat itu, aku malah bersyukur karena itu dapat menjadi kesempatan bagiku untuk melihat Doremi. Sesekali, aku mengajak Doremi berbincang singkat. Basa-basi yang menyenangkan.

Ketika kami telah lebih akrab, ia berkeluh kesah bahwa seseorang telah mengganggunya. Ia bercerita dengan sangat kesal bahwa barang-barang pribadinya sering menghilang. Pengganggu itu juga sering mengirimkan pesan pendek ke ponsel Doremi berisi kata-kata cinta. Kebanyakan puisi. Bodoh dan gombalnya aku. Untung dia tidak tahu.

***

Suatu hari, ketika usai berbelanja makanan pada jam istirahat, aku kembali ke kelas. Di kelas aku mendapati segerombolan murid mengerubungi mejaku. Aku pun bergabung dengan mereka. Doremi berada di tengah-tengah mereka sedang memegang dan membaca dengan serius salah satu buku catatanku. Padahal, buku catatan itu tidak berisi apa-apa. Masih perawan. Belum pernah kubuka dan kucatatkan satu pun ilmu di sana.

"Heh! Lagi pada ngapain sih?" teriakku sambil menyelip ke tengah-tengah mereka.

Sertamerta, Doremi menyerahkan buku catatan yang masih terbuka itu kepadaku. Aku menatap isinya, lalu kututup sebentar untuk memastikan milik siapa buku itu. Sampul buku itu persis dengan sampul bukuku dan di sana tertera namaku. Pastilah ini adalah milikku, tapi mengapa ia berisi? Kukira ia masih perawan! Kubuka lagi buku itu untuk kulihat isinya. Aku pucat seketika. Di sana terpampang nama Doremi dalam bentuk grafiti warna-warni dengan segala hiasannya seluas satu halaman penuh! Full colour!

Mereka semua menatapku, meminta jawaban. Aku tak dapat memberikan jawaban. Aku pun butuh jawaban!

"Siapa yang bikin ginian di buku gue?"

Tidak ada yang menanggapi. Malah tiba-tiba terdengar teriakan pengumuman.

"Peni naksir Doremi!"

Wajahku memerah. Aku hendak menyangkal, tapi kata sangkalan itu tidak keluar.

"Jadi, kamu," sebuah suara yang tenang, tapi menusuk. Doremi pun pergi dari gerombolan itu. Aku buru-buru menyusulnya. Aku tidak peduli lagi dengan keramaian di belakangku. Namun, Doremi tidak mau berbicara denganku.

Sore harinya, aku bertamu ke rumahnya. Aku diterima dengan baik oleh nyonya rumah, tetapi tidak oleh Doremi. Wajahnya sangat ketus. Jadi, sebuah kotak besar yang kubawakan untuknya harus kutitipkan kepada ibunya.

Belakangan, aku tahu bahwa Hanomanlah yang telah membuat kaligrafi di buku catatanku. Katanya, ia telah sangat lama memendam hasrat untuk membuat tulisan indah itu karena ia jatuh cinta kepada Doremi tanpa pernah mengungkapkannya. Namun, ia belum menemukan tempat yang tepat. Jika ia membuat dan menyimpannya di rumah, ia takut ibunya akan menemukannya. Jika ia buat di buku sekolahnya, ia takut salah satu murid akan menemukannya. Sementara, jika ia membuatnya di tempat umum, ia takut seseorang memergokinya. Jadilah ia membawa bukuku ke WC untuk memerawaninya. Bakatnya membuatku susah.

Apa? Kotak besar itu? Apakah aku belum memberitahumu? Baiklah. Kotak itu berisi semua benda yang telah kuambil darinya, setumpuk surat cinta, berlembar-lembar puisi dan syair cinta, dan lukisan-lukisan dirinya yang kubuat di atas kanvas mini dengan cat air dan jari-jariku.

Di kemudian hari, ia menghampiriku. Hatiku telah melonjak karena kukira ia telah memaafkanku.

"Mana barang gue yang lain?" begitu bentaknya. Ternyata aku belum dimaafkan.

"Yang mana lagi? Semua udah gue balikin!"

"Masih kurang!"

"Elu kali yang ilangin sendiri!"

"Enak aja! Barang-barang gue tuh baru pernah ilang sejak ada elu!"

Aku melotot kesal mendengarnya.

"Apa? Sewot? Dasar klepto! Tukang nyolong!"

"Heh, enak aja! Barang lu udah gue balikin semua!"

Di tengah perdebatan kami, muncul Hanoman yang membuat kami hening seketika. Ia datang membawa sebuah kotak besar. Kotak besar itu ia serahkan kepada Doremi. Hanoman pun langsung pergi meninggalkan kami berdua. Doremi pun membuka kotak itu.

Kami sama-sama menengok isi kotak itu.

06/05/09

salah

Semua orang pernah melakukan kesalahan. Kesalahan adalah salah satu unsur pokok seorang manusia. Yang membuat kesalahan itu benar-benar salah adalah ketika manusia tidak berusaha untuk memperbaikinya dan menjadikannya dalih untuk tidak menjadi cukup baik. Yang menentukan seberapa besar kesalahan itu adalah seberapa besar dampak dan kesulitan untuk memperbaikinya. Kesalahanku, kuperjuangkan setengah mati perbaikannya, tetapi ini adalah kesalahan yang benar-benar besar!

Aku menangis menekuri layar kaca, sendirian di kamar tidurku. Ayahku sedang dalam perjalanan bisnis ke luar kota. Ibuku sedang berlibur dan berbelanja bersama teman-temannya di luar negeri (sesuatu yang dilakukannya sepanjang tahun). Pembantu-pembantuku sibuk di dapur, kebun, garasi, gudang, di mana-mana, tetapi tidak di kamarku. Di kamarku, hanya ada aku, menatap nanar terhadap layar kaca di depanku, duduk memeluk lutut di atas ranjang mewah yang nyaman, dengan segenggam tisu di teanganku –tisu yang telah kusut dan basah oleh air mata dan ingusku.

Percayalah, aku tidak sedang menonton sinetron. Bukan juga “reality” show. Bukan juga serial drama Asia. Bukan juga DVD film romantis. Aku yakin aku tida cengeng. Aku tidak menangis untuk hal-hal sepele. Tentu saja, hal ini tidak sepeleh. Ingat, KESALAHAN BESAR!

Nget nget nget... Nget nget nget... Nget nget nget... 

Ponselku bergetar. Karena diletakkan di atas perabot kayu, getarannya terdramatisasi. Menyentakkan jantungku, membuatku terlonjak kaget, pucat seketika. Pelan-pelan, dengan tangan gemetar, kuraih ponselku.

Calling...

Papa

Oh, tidak!

1 missed call

Terlambat diangkat.

Aku berusaha menenangkan diri, menghapus air mata.

Lagi-lagi... Nget nget nget... Nget nget nget... Nget nget nget... 

Ragu-ragu, kutekan tombol hijau.

“Halo? Papa?” suaraku serak.

Tak terdengar sepatah kata pun dari seberang sana. Hanya tarikan napas panjang, buangan napas berat.

Aku menunggu.

“Da...” suara Ayah serak.

“Iya?” sahutku lirih.

“Papa lihat...” ia tidak meneruskan. Kemudian, “hhh...” buangan napas panjang dan berat.

Kuraih remote TV-ku, kumatikan TV itu. Terdengarlah bahwa di seberang sana, Ayah sedang menyaksikan acara yang sama denganku sebelumnya. Jantungku langsung berpacu kencang. Aku semakin pucat, tenggorokkanku tercekat.

“Apa pendapat Bapak-bapak tentang kejadian ini?” suara seorang pembawa acara talk show, seorang wanita cantik yang tampak mandiri dan cerdas.

“Ini adalah tanda-tanda demoralisasi bangsa! Apa jadinya negara kita kelak jika pelajar dan pemipinnya sanggup melakukan zinah di depan kamera??” seorang pria paruh baya yang emosional.

“Ini perbuatan makhsiat! Neraka bagi orang-orang murtad it!! Api neraka!! Ingatlah, azab Allah mengintaimu!!” seorang pemuka agama.

“Sebenarnya, ada banyak faktor yang bisa menyebabkan hal seperti ini terjadi. Bisa jadi, mahasiswi ini kekurangan perhatian dan kasih sayang orang tua. Mungkin juga ada yang salah dengan lingkungan pergaulannya...” seorang wanita psikolog.

“ini adalah pencemaran terhadap dunia pendidikan Indonesia!” entah siapa.

Dan seterusnya...

Dan seterusnya...

“Hhhhh...” Ayah mendesah panjang.

Klik.

Tuuut... Tuuut.. Tuuut...

Aku kembali tenggelam dalam tangisan.

25/02/09

pulang

“Ma, aku pulang.”

“Hm.”

“Ini surat buat Mama.”

“Anak sialan lu! Bikin malu terus! Gara-gara apa lagi Mama dipanggil?”

“Terserah.”

Ninda berjalan gontai ke kamarnya. Membanting pintu, rebah ke ranjang, dan langsung pulas tertidur. Sementara, di ruang keluarga, ibunya dengan kekesalan merobek amplop surat dari sekolah Ninda. Ia bahkan tidak peduli ketika ia merobek terlalu kuat dan kasar, sehingga bagian pinggir kertas surat itu pun turut tersobek. Secarik kertas terlipat tiga bagian. Ia hentakkan ke udara agar terbuka. Terlalu kasar, sehingga menjadi kusut.

Surat tugas untuk mewakili sekolah mengikuti lomba menulis karya ilmiah.

Helaan napas.

Dua jam kemudian, Ninda terbangun dari tidurnya dengan sebuah mimpi buruk, sehingga setelah terbangun, ia merasakan kepalanya berdenyut ngilu dan jantungnya berdetak cepat. Ia mendapati dirinya masih dalam balutan seragam sekolah dan tubuhnya lengket dan bau keringat. Ia pun memutuskan untuk mandi. Ia mengambil beberapa potong sandang, lalu menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.

Ketika mulai membasahi tubuhnya, ia berusaha mengingat-ingat mengapa ia tertidur dalam keadaan seperti itu. Biasanya karena ada masalah. Masalah apakah kali ini? Karena pikirannya masih melayang-layang, seolah jiwanya masih berkelana di dunia mimpi, ia agak sulit mengingatnya. Namun, akhirnya ia ingat, sepulang sekolah ia bertengkar dengan ibunya. Lagi-lagi. Terlalu klise.

Sekarang, ia mencoba mengingat penyebab pertengkaran tersebut. Ah, surat dari sekolah. Tadi, di sekolah, ia sangat bangga ketika seorang guru mengajaknya mengikuti lomba menulis karya ilmiah meskipun ia bukan peserta ekskul karya ilmiah. Menurut guru tersebut, kemampuan analisisnya sangat baik, jika dilihat dari caranya menjawab soal-soal esai. Sangat membanggakan. Ia tidak menyangka bahwa hal semenyenangkan itu bisa rusak dalam sekejap karena ibunya.

Seusai mandi, ia langsung menyalakan komputer pribadi yang terletak di meja belajarnya. Ia memutar lagu.

Now I don’t know what to do

I don’t know what to do

When she makes me sad

(Vermillion part 2 karya Slipknot)

Ia sedih. Kini kesedihannya terdukung oleh lagu yang juga sedih meskipun isi lagu tersebut berbeda dengan isi hatinya. Ia menangis. Berandai-andai, berharap, harapan kosong.

Ia mematikan lagu pemutar lagu di komputernya. Berharap keheningan dapat mengangkatnya dari kesedihan. Namun, keheningan justru membawa lebih banyak pengetahuan baginya. Pengetahuan yang pahit.

Cukup jelas terdengar dari luar kamarnya.

“Kamu kapan mau pulang? … Sialan lu! Laki macam apa lu?! Maen cewek mulu! Istri anak lu ditelantarin kayak gini! … Gue keburu miskin kalo nungguin lu, najis! … Brengsek lu! Gak usah pulang sekalian! Gue juga bisa idup tanpa lu!”

Brak! Telepon dibanting.

Ninda mengacak-acak rambutnya, menjambak-jambak rambutnya, kemudian memukul-mukul kepalanya. Stres. Setelahnya, ia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Menahan suara tangis. Tak urung, ia jamah kembali komputernya, lalu ia nyalakan kembali lagu yang tadi ia dengarkan. Segala bunyi-bunyian dalam kamar itu menjadi sangat tragis.

Kini tangannya berusaha meraih kotak tisu di sebelah ranjangnya. Ia menghapus air mata dan membuang ingus. Ketika ia hendak menarik lembar tisu kedua, salah satu telepon genggamnya, yang ia letakkan di samping kotak tisu, bergetar. Ia tak jadi menarik tisu. Tangannya langsung berganti haluan, meraih telepon genggamnya.

Sebuah pesan singkat. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang sedikit lebih baik, beginilah jadinya:

Giza : Hai, Da. Lagi ngapain?

Ninda : Main komputer. Kenapa?

Giza : Gakpapa. Nanya aja. Pasti lu main komputer di kamar.

Ninda : Ia. Napa?

Giza : Gakpapa. Enak yah, punya komputer sendiri di kamar. Gue, kalo mau pake komputer, harus minjem ke rumah temen.

Ninda : Oh. Terus kenapa?

Giza : Gakpapa kok. Ah, dasar lu, orang kaya. Gak ngerti susahnya orang kayak gue.

Ninda : Orang kayak lu?

Giza : Orang susah, Da. Gak punya banyak uang.

Ninda : Lu susah karena lu merasa susah. Lu kekurangan karena lu merasa kurang.

Giza : Terserah lu deh. Lu ‘kan gak pernah susah. Jadi enak ngomongnya.

Ninda : Hahaha.

Giza : Napa ketawa?

Ninda tidak membalas lagi. Ia kesal. Ia benci orang-orang semacam Giza. Orang-orang yang menganggap orang kaya selalu bebas dari masalah. Siapa pula manusia di dunia ini yang bebas dari masalah? Juga, kebenciannya berganda karena Giza berpendapat bahwa ia tidak pernah hidup susah. Giza tidak tahu bagaimana kehidupan Ninda dulu, harus tinggal di gubuk kayu dan makan nasi dengan garam saja. Nasinya pun sisa dari pedagang beras yang baik hati. Giza tidak tahu perjuangan keras ayah dan ibu Ninda yang membawa kehidupan mereka ke taraf yang lebihbaik sekarang.

Jika ingat masa-masa itu, Ninda ingin kembali melarat seperti dulu kala. Di saat-saat itu, ayah dan ibunya tidak pernah bertengkar. Mereka sangat akur. Sangat kompak. Sangat manis dan lemah lebut perkataannya. Lihatlah sekarang. Ibunya bekerja sendiri. Ayahnya bekerja sendiri. Ibunya tidak mau menerima uang dari ayahnya dan menyuruh Ninda untuk menolak uang dari ayahnya. Ayahnya bulanan tidak pulang ke rumah karena benci pada omelan kasar dan tuduhan-tuduhan ibunya. Ia bosan dengan situasi ini.

Ninda mengeraskan suara komputernya. Segala bebunyian di sekitarnya sekarang tenggelam dalam alunan musik. Bahkan, tak terdengar lagi ketika ibunya marah-marah menyuruhnya mematikan musik tersebut. Ia berpuas-puas menangis, meraung-raung, tanpa terdengar karena suaranya tenggelam dalam hentakan musik. Dalam tangisnya, ia berdoa. Bedoa kepada Tuhan yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Yang telah lama ia tinggalkan.

Seketika, hatinya mendapat secuil pencerahan di tengah gelap badai. Ia memadamkan suara musik yang menghentaki keras-keras kamarnya. Meraih telepon genggamnya. Ia mencari nomor ayahnya dalam daftar kontaknya.

Dialing…

Tuuut… tuuut… tuuut…

“Halo?”

“Papa?”

“Ninda? Kamu ganti nomor?”

“Iya. Kata Mama, biar Papa gak bisa hubungin Ninda.”

“Hhhh… Pantes aja.”

Maaf, Pa.

“Gakpapa. Bukan salah kamu.”

“Pa…”

“Iya?”

“Papa kapan pulang?” tiba-tiba saja tangis Ninda meluap lagi.

“Maaf, Da. Jangan sedih. Papa nunggu Mama kalem dulu.”

“Sampe kapan, Pa? Kenapa Papa gak minta maaf aja sama Mama?”

“Gak semudah itu, Da.”

“Kalo Papa mau yang mudah doang, masalah ini gak akan berakhir, Pa.

“Da…”

Ninda menutup dan mematikan telepon genggamnya.

Subuh-subuh, ayah Ninda pulang. Ia masuk dengan mudah berkat duplikat kunci rumah yang sengaja dibuat untuk ia, istrinya, dan anaknya, seorang satu buah. Ia langsung menuju kamar utama, kamar ia dan istrinya. Namun, ia tidak menemukan orang yang dicarinya: istrinya. Ia meletakkan barang bawaannya di sana, lalu diam, menerka-nerka di mana kemungkinan istrinya berada.

Berbekal tebakan, ia berjalan ke kamar tamu. Benar saja, istrinya tergolek tidur di atas ranjang empuk yang dahulu mereka pilih bersama. Perlahan-lahan, ia duduk di sisi ranjang itu, di mana ia dapat dengan jelas melihat wajah lelah istrinya yang pulas sekali tidurnya. Perlahan-lahan, ia mengelusi dahi istrinya, sehingga rambut yang menutupi kening indah itupun tersingkir. Ia kecup kening itu.

Ia kembali ke kamarnya. Mandi, berganti baju tidur, lalu kembali ke kamar tamu. Di kamar tamu, ia membaringkan diri di samping istrinya, lalu tidur. Melampiaskan segala kelelahannya.

Kelak, ketika istrinya terbangun dan mendapati dirinya di sampingnya, istrinya akan tersenyum bahagia. Sangat bahagia, sehingga segala amarah, dendam, dan tuduhan terbuang jauh-jauh. Ia mengelusi kening suaminya, lalu mengecup lembut kening itu.

Andai Ninda mau bersabar dan tidak memutuskan untuk kabur dari rumahnya kemarin malam, tentu ia akan sangat senang sekarang.