10/10/09

hilang**

Lihatlah betapa bahagia perempuan itu. Berdiri di sisi pintu kereta yang membawanya pulang ke suburb tempatnya bermukim saat ini. Sydney, nama tempat ini. Terletak di bagian New South Wales, Australia. Satu-satunya negara yang merangkap benua. Terletak di sebelah tenggara Indonesia. Aku memerhatikannya tersenyum-senyum sendiri dengan pipi agak bersemu kemerahan. Ia menggigiti bibirnya, khawatir ketahuan sedang tersenyum sambil melamun.

Aku menahan tawa melihat kelakuan perempuan yang berdiri tepat di depanku itu. Ia menyadari hal itu, sehingga ia menjadi salah tingkah. Ia menggoyang-goyang pundaknya sedikit dan menggerak-gerakkan kakinya. Akibatnya, aku harus menambah tenaga untuk menahan tawa.

Aku sering kebetulan berada dalam satu kereta dan satu gerbong dengannya. Kami tinggal di suburb yang sama, Chatswood. Kami kuliah di daerah yang berbeda, tetapi searah. Sebenarnya, aku sangat ingin mengenal perempuan itu, tetapi saat itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya. Aku jadi agak menyesal karena berkali-kali aku bertemu dengannya, belum pernah sekalipun aku mengajaknya berbicara, apalagi berkenalan dengannya.

Sesegera itu, aku melupakannya.



Aku kembali kepada keseharianku yang memabukkan, di mana Aku menginginkan Pascal dengan segenap perasaan, pikiran, dan nafsuku. Iya, namanya Pascal. Terdengar sangat ilmiah karena ayahnya adalah seorang ilmuan. Ia mempunyai seorang adik perempuan yang dinamai Sonata karena ibunya adalah seorang musisi, komposer, dan pianis handal. Sayangnya, mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan minat dalam bidang sains dan musik. Pascal penggemar olahraga dan Sonata penggemar komputer.

Aku sendiri penggemar sastra. Kurang berhubungan, tetapi Pascal memang sangat memabukkan dan sangat adiktif, paling tidak bagiku. Sekali aku mengenalnya, ia seperti tidak bisa sedetik pun absen dari pikiranku. Beberapa kali, aku mengacaukan tugasku karenanya. Akhirnya aku harus mengakali diriku sendiri dengan berpikir bahwa dengan mengerjakan tugas dengan baik, aku dapat membanggakan sesuatu di depannya. Cukup berhasil.


Hari ini, aku membantunya mencari data untuk penelitiannya dari internet. Aku memasukkan kata kunci yang ia berikan, lalu mulai mencari dan melaporkan kepadanya jika aku menemukan sesuatu. Kesenangan yang tak terkatakan.
Kami banyak mengobrol. Simpang siur dan akhirnya sampai kepada topik keagamaan. Ia seorang relijius. Ia banyak berdoa, ia beribadah secara rutin, dan sering beramal. Tanpa mengetahui semua itu pun, semua orang dapat melihat bahwa ia adalah orang yang baik karena ia begitu ramah dan suka menolong.

Kami pulang bersama hari ini. Sebenarnya, ia tinggal di daerah lain. Hanya saja, ia besi keras ingin mengantarkanku pulang sampai ke rumahku. Tentu, aku tidak menolak. Dalam perjalanan pulang, ia bercerita tentang seorang perempuan.

“Ia mungil, berambut pendek, berkulit putih, bermata besar. Senyumnya manis dan tanpa tersenyum pun, ia manis.”

Aku agak cemburu mendengar deskripsinya tentang perempuan itu. Namun, ia mengingatkanku akan perempuan yang sering sekereta denganku itu.

Ia bercerita bahwa dulu ia berhubungan dengan wanita itu. Bahwa ia sering juga mengantar wanita itu pulang, ke Chatswood. Hanya saja, sekarang perempuan itu menghilang.

Sejenak aku tersentak. Lalu, aku menceritakan tentang perempuan yang sering kulihat sekereta denganku itu. Kami yakin, kami membicarakan orang yang sama.

“Kira-kira, kenapa yah dia hilang?” iseng-iseng, aku bertanya.

“Mungkin karena dia tidak bisa menerima kenyataan.”

Aku menoleh kepadanya dengan dahi berkerut dan mata penuh kebingungan. Ia hanya tertawa.

Aku tidak puas. Maka aku menekankan kebingunganku dengan pertanyaan “maksud kamu apa?”

Ia tersenyum misterius. Ia memberi tanda kepadaku agar aku mendekatkan telinga kepadanya. Ia membisikkan sesuatu padaku. Mataku melebar, mulutku ternganga. Aku menoleh kepadanya lagi dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Sebuah pukulan ringan kudaratkan di lengan kanannya sebagai tanda peringatan agar ia tidak bercanda secara berlebihan.

“Kok kamu tau?”

“Tau aja.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Masih tidak percaya dan berusaha menganggap itu sebagai kabar burung belaka, tetapi aku merasa harus memercayai hal itu, entah mengapa. “Ck ck ck … Siapa yang tega melakukan hal kayak gitu sama perempuan secantik dan semanis dia. Gak mungkin.” Aku meyakinkan diriku sendiri.

“Aku,” jawabnya, tanpa kuduga.

“Jangan main-main kamu! Ini serius!”

“Aku serius.” Dan ia tertawa.

Meskipun ia tertawa, aku melihat keseriusan dalam nada suara dan wajahnya. Ini tidak mungkin nyata.
Aku menamparnya. Tepat di wajah. Aku tidak peduli meskipun orang-orang menatap kami penuh ketegangan. Ia kembali tertawa. “Kamu juga tidak bisa menerima kenyataan,” katanya sebelum tertawa lagi.


Kereta berhenti. Belum sampai tujuanku, tetapi aku turun. Aku tidak tahan berada di sana lebih lama lagi.
Sebelum pintu kereta tertutup lagi, ia meneriakkan sesuatu kepadaku.




“Jika kamu sudah melakukan begitu banyak hal untuk Tuhan, bukankah Ia akan mengerti jika sesekali kamu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?”

1 komentar:

  1. shocking revelation....but another heartbreaking story from areta...
    Keep the good work!!!

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.