10/12/07

hahaha

Sungguh menyebalkan bagaimana ia sering tidak menggubris telepon dan pesan singkat yang puluhan kali berangkat dari ponselku ke ponselnya. Apalagi alasannya yang sekedar “sori, tadi aku lagi tidur” membuat rasa sebalku terdesak sampai ke tenggorokan karena merasa diremehkan olehnya.

Aku tahu, hubungan kami tidak lagi sepasang kekasih. Mungkin itu yang membuatnya tidak menganggapku penting lagi. Ah, tapi ia tetap mencurahkan perhatian dan kebaikannya kepadaku secara berlebih. Juga, ia pernah berkata bahwa ia tidak akan pernah mencari wanita lain untuk mendampinginya. Ia selalu menyatakan bahwa ia telah terpaku padaku.

+

Ah, dasar perempuan. Selalu saja cerewet menanyakan banyak hal. Padahal aku sedang asik berbagi birahi dengan kekasihku, tapi ia terus-menerus meneleponku dan mengirimku pesan-pesan pendek. Kuatur saja agar ponselku tidak berbunyi dan tidak begetar, lalu kutaruh ponsel itu di dalam laci. Toh ia tidak berhak marah karena ia bukan kekasihku lagi.

Ya, aku memang harus menjaga perasaannya. Mudah saja. Tinggal meminta maaf sekenanya, dan menghujaninya dengan segumpal gombal, ia akan luluh. Wanita seperti dia memang mudah dimainkan perasaannya.

Tentu saja aku harus menjaga perasaannya. Meskipun kami tidak lagi sepasang kekasih, aku akan terus berusaha agar ia terus terikat denganku. Dengan begitu, apa yang kuperlukan untuk membahagiakan kekasihku dapat kuperoleh dengan mudah.

+

Kurang ajar! Wanita itu mengganggu saja! Padahal pria kesayanganku itu sedang bersamaku. Haruskah ia mengganggu kami setiap saat? Huh, tak apalah. Ia akan mendapat ganjarannya nanti.

+++

Oh, tidak! Belakangan ini aku merasa mengalami penuaan dengan sangat cepat. Apakah ini karena stres atau cermin memang tidak bersahabat atau apa? Mengapa kelesuan, kekuyuan, keletihan, keriputan, bermunculan menghuni wajahku. Orang-orang disekitarku sampai mengira aku sedang sakit. Mungkin aku memang sakit. Aku merasa tidak enak badan. Pak Kepala Sekolah sampai memberiku cuti untuk istirahat mengajar selama seminggu.

+

Sedikit lagi, aku tak perlu lagi berurusan dengan wanita manja itu. Aku dapat mencurahkan seluruh perhatianku kepada kekasihku seorang.

+

Hahaha! Aku senang mencuri semua itu dari wanita sialan yang menggangguku dan kekasihku. Aku akan ambil seluruh kecantikan dan energi yang ia punya. Tanpa sisa.

+++

Lima hari telah berlalu sejak aku diberi cuti oleh Bapak Kepala Sekolah. Keadaanku tidak membaik. Bahkan, orang-orang yang tinggal serumah denganku, yaitu kedua teman baikku yang keduanya juga mengajar di sekolah yang sama denganku, telah memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit malam ini.

Aku kelelahan, terlalu stres, dehidrasi, kurang gizi, dan entah apa lagi? Apakah kau percaya? Aku harus dirawat inap di rumah sakit. Oh, ini berarti aku harus meminta uang dari kedua orang tuaku yang tinggal di luar kota. Padahal aku telah bertekad untuk hidup mandiri dan tidak bergantung pada mereka sedikit pun. Bahkan, seharusnya aku yang mengirimkan uang untuk mereka.

+

Aku ingin tahu bagaimana kabar mantan kekasihku itu. Ia tidak lagi menghubungiku. Pasti ia sudah tidak kuat lagi. Aku tak dapat membayangkannya. Yang penting, sekarang kekasihku bertambah cantik dan mempesona. Ia begitu bersinar dan energik.

+

Perlahan-lahan, wanita itu akan mati. Kubayangkan sekarang ia sedang sekarat. Aku bahagia. Aku masih ingat bagaimana dulu ia menghalangi hubunganku dengan kekasihku. Ya, ia penghalang. Entah apa kelebihannya yang membuat kekasihku lebih memilihnya daripada aku.

Untungnya, langkah yang kuambil sangat tepat. Mayor Gimbal, dukun pilihanku. Berkat jasanyalah sekarang kekasihku tergila-gila padaku. Tak ada wanita lain yang dapat menandingiku di hatinya. Semua yang kuminta selalu ia turuti dan ia usahakan terkabul. Bahkan, mengorbankan wanita sial itu pun ia lakukan demi diriku.

Aku bahagia!

+++

Seminggu sejak aku diberi cuti, aku telah lumpuh total. Teman-temanku kalang kabut. Tidak ada dokter yang dapat menjelaskan gangguan medis macam apa yang kualami. Akhirnya, teman-temanku mengambil kesimpulan : aku terkena guna-guna. Mereka pun memanggil dukun.

Aku yang tidak percaya dukun tidak dapat protes karena lidahku pun telah kelu. Aku harus pasrah tubuhku ditaburi macam-macam bunga dan wajahku terus-menerus disemburi air bekas kumur si dukun, lalu dibacai berbagai mantra dan dirituali macam-macam. Setelah semua itu berakhir, kami hanya mendapat kalimat “orang yang mengguna-gunainya mendatangi dukun yang jauh lebih sakti dari saya. Ia adalah dukun paling sakti di kota ini. Maaf, saya tidak dapat membantu. Mana bayaran saya?”.

+

Aku telah lama melupakan mantan kekasihku. Kalaupun mengingatnya, aku hanya sekedar ingin tahu bagaimana wujudnya sekarang. Mungkin ia seperti nenek-nenek lumpuh. Aku kurang peduli sebab di hadapanku telah ada seorang biadadari cantik yang menghipnotisku dengan pesonanya.

+

Kekasihku makin tergila-gila kepadaku. Bayangan wanita sial itu pasti telah terhapus bersih dari ingatannya. Aku akan memberi banyak hadiah untuk Mayor Gimbal.

+++

Maaf, teman serumahku yang tadi lumpuh itu kini telah meninggal. Aku akan mewakilinya untuk melanjutkan cerita.

Temanku yang tadinya muda, cerah, bersemangat, telah perlahan-lahan menjadi kisut. Meskipun perlahan-lahan, hal itu tetap terlalu cepat. Orang lain akan mengalaminya dalam waktu lima puluh atau enam puluh tahun, tapi ia menyelesaikan semua proses itu hanya dalam waktu sepuluh hari.

Aku akan berusaha mendeskripsikan kondisinya saat meninggal. Ia telah mengerut seperti buah yang air dan sarinya tersedot habis dari dalam. Kulit kuning langsatnya yang indah berisi telah menjadi hitam dekil dan longgar seolah tanpa daging. Rambut hitam lurus lebat panjangnya yang indah berkilau telah menjadi putih jarang dan kusut. Gigi-giginya menguning dan sebagian berlubang hitam. Bibirnya yang dahulu merah delima dan berisi telah tersedot masuk dan kusut ke dalam rongga mulutnya. Jari-jarinya yang lentik mengering dan menggulung menjadi keriting. Kuku-kukunya yang dahulu bersih terawat menjadi hitam dan terkelupas. Bentuk tubuhnya yang sintal berisi menjadi sekedar tulang-belulang berlapis kulit. Buah dadanya yang bulat kencang dan indah seolah ditarik paksa oleh gravitasi menjadi panjang dan gepeng. Initnya, ia sangat buruk rupa.

Kami, teman-teman terdekatnya, berusaha agar orang-orang yang melayat tidak melihat mayatnya. Kami pun harus begadang semalaman untuk mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan berita kematiannya yang tragis keluarganya.

+

Hah? Apa? Mantan kekasihku? Aku tidak punya mantan kekasih. Wanita di hadapanku adalah satu-satunya kekasih yang pernah bertahta di hatiku dan ia akan menjadi ratu di sana untuk selamanya.

+

Aku bahagia! Hahahahahahahaha…

+++

26/11/07

jujur

Setelah beradu argumentasi dengan kekasihnya, ia teringat akan mantan kekasihnya yang tak pernah membantahnya. Mantan kekasihnya itu begitu berbeda dengannya, sehingga hubungan mereka selalu disumbangi kesulitan dari orang-orang yang tidak menyukai mereka. Apa pula hubungan orang-orang itu dengan mereka? Mengapa mereka begitu ikut campur? Mengapa perbedaan begitu mengganggu mereka? Ah, dasar perbedaan laknat!

Mantan kekasihnya itu berbeda ciri jasmani dan ciri rohani dengannya. Mereka berbeda ras, suku bangsa, agama, pendidikan, kelas sosial, dan banyak hal. Persamaan mereka hanya perasaan mereka terhadap satu sama lain. Rasa cinta, namanya.

Namun, ia tidak dapat mempertahankan perasaan itu. Rasa cintanya harus bergilir-giliran diperani hati dengan rasa benci. Kala rasa benci itu muncul, ia menjadi arogan dan semena-mena. Meskipun begitu, mantan kekasihnya itu tidak pernah melawannya. Mantan kekasihnya menuruti semua kemauannya dan rela dibuat sengsara olehnya.

Itulah mengapa ia selalu berpikir bahwa mantan kekasihnya bodoh. Namun, lama-kelamaan ia menjadi curiga. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh mantan kekasihnya itu darinya. Jika tidak, ia tidak mungkin segencar itu menunjukan cintanya. Apalagi, perkenalan mereka terjadi di dunia maya. Baginya saat itu, perkenalan di dunia maya tidak pernah berhasil baik. Tiap kali pikiran itu muncul, segala kecurigaan lain pun menyusul. Cerita-cerita yang dahulu menghanyutkannya berubah menjadi kebohongan yang memuakkan baginya. Rasa bencinya pun mendominasi giliran. Merebut kesempatan bagi rasa cinta.

Ia makin menyengsarakan mantan kekasihnya. Ia seringkali menuduh mantan kekasihnya berdusta. Ia mengecap gombal semua ucapan manis, menerka-nerka kebohongan dibalik cerita-cerita, dan curiga akan maksud kebaikan-kebaikan yang diperbuat sang mantan kekasih kepadanya. Saat-saat itu, kekasihnya makin sengsara dibuatnya. Hati mantan kekasihnya sakit teriris-iris tiap kali ia menunjukkan ketidakpercayaannya.

Suatu hari, ia menjadi sangat marah karena mantan kekasihnya tertidur dan tidak mengangkat telepon darinya. Setelah mantan kekasihnya terbangun oleh dering telepon yang terulang-ulang, ia langsung melancarkan segala makian terkasar yang pernah didengarnya kepada mantan kekasihnya. Tak cukup begitu, ia pun menuduh bahwa kekasihnya berbohong tentang latar belakang dirinya, tentang penyakit berat yang dideritanya, tentang segala cerita menyedihkan yang disuguhkan oleh mantan kekasihnya. Ia menuduh bahwa semua itu hanya untuk mengemis rasa kasihan agar ia tidak meninggalkan mantan kekasihnya.

Mantan kekasihnya tak sanggup lagi mendengar semua itu dan menutup teleponnya. Ia mendeteksi itu sebagai tindakan tidak bertanggung jawab, sehingga telepon di tangannya ia lempar dengan kesal. Tak berapa lama setelahnya, mantan kekasih itu menelepon untuk meminta maaf dan berbicara baik-baik. Namun, ia menolak panggilan dan mematikan semua telepon yang ia punya.

Sejak hari itu, segala bentuk komunikasi dengan mantan kekasihnya ditolak olehnya. Telepon, pesan singkat dari ponsel, surat pos, surat elektronik, semua langsung ditolak. Dihapus tak berjejak. Bahkan nama samaran yang digunakan mantan kekasihnya untuk menghubunginya tidak pernah berhasil. Ia pun selalu bersembunyi ketika mantan kekasihnya mendatanginya. Mantan kekasihnya pernah memohon-mohon di depan rumahnya dan berakhir dengan diseret dan dihajar beberapa hansip.

Suatu hari, semua usaha mantan kekasihnya untuk berkomunikasi terhenti. Beberapa hari kemudian, seorang teman mantan kekasihnya yang ia kenal menyampaikan pesan kepadanya bahwa mantan kekasihnya telah dalam keadaan kritis dan dirawat di unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Ia tidak menanggapi hal itu karena ia menganggap itu hanya pancingan.

Tiba-tiba ia tersentak. Pikirannya tertarik paksa dari masa lalu ke masa kini. Ia buru-buru merapikan pakaian dan dandanannya, lalu berlari melesat ke bagasi rumahnya dan keluar dari sana dengan mengendarai sebuah mobil sedan yang berpacu kencang mengejar sesuatu.

Dengan kecepatan kilat, ia tidak menghabiskan banyak waktu untuk sampai di rumah mantan kekasihnya. Ia melihat sekeliling dan menangkap tatapan tak bersahabat dari tetangga-tetangga di sana. Ia menekan bel yang tercantum di dekat pagar.

Seorang wanita tua keluar perlahan dari rumah itu dan menatapnya bingung beberapa saat. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu hanya bertahan sesaat. Wanita tua itu, nenek mantan kekasihnya, tampak terkejut dan terpukul saat teringat dan tersadar akan siapa wanita muda yang berdiri di depannya itu. Nenek itu langsung histeris. Nenek itu menangis, meraung-raung, memaki-maki, dan mengusirnya. Seorang ibu-ibu dari rumah sebelah ikut meneriakinya agar pergi. Ia pun menyingkir dari sana.

Ketika ia menemukan sekumpulan orang yang ia kenal sebagai teman mantan kekasihnya, ia pun menghampiri mereka. Namun, mereka langsung tampak tidak senang dan membubarkan diri. Kemudian, mereka berkumpul kembali di tempat yang agak jauh dari sana. Ia putus asa. Ia duduk sembarang saja di trotoar dekat sana dan mulai menangis.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang membuatnya terkejut. Buru-buru ia menyeka air matanya, menyedot ingusnya agar kembali ke kerongkongannya, dan melihat siapa yang menepuknya itu. Ia mengenali orang itu sebagai teman mantan kekasihnya yang dahulu menyampaikan kabar bahwa mantan kekasihnya sedang sekarat. Ia tersentak berdiri. Ia tak bersuara, tapi bertanya-tanya melalui raut wajahnya. Melalui bahasa wajah pula, teman mantan kekasihnya itu memintanya untuk ikut ke suatu tempat.

Teman mantan kekasihnya itu menuntunnya ke kuburan. Rasa takut, bimbang, was was, beraduk-aduk dalam dadanya. Teman mantan kekasihnya itu berhenti ketika menemukan sebuah batu nisan yang kemudian ditatapnya. Ia yang berdiri di balik punggung teman mantan kekasihnya itu menunggu tanda-tanda dari teman mantan kekasih itu. Tak berapa lama, teman mantan kekasih itu menyingkir ke samping dan menguakkan pemandangan akan sebuah batu nisan berukirkan nama mantan kekasihnya.

Ia jatuh berlutut. Kakinya lemas. Untuk sejenak, ia bahkan tak dapat bereaksi. Setelah itu, ia menangis sejadi-jadinya. Ia mencakari dan meremasi tanah sambil menjerit-jerit.

Teman mantan kekasihnya itu membantunya bangun, meskipun tidak sampai berdiri. Paling tidak, dari posisi mencium tanah sampai duduk tegak. Teman mantan kekasih itu menyerahkan selembar kertas yang telah kusut. Dengan ragu dan bingung, ia menerima kertas itu. Ia meluruskan kertas kusut itu dan menemukan tulisan amburadul dari tangan yang terlalu lemah untuk menulis dengan baik. Ia langsung tahu tulisan siapa itu.

Ia melanjutkan tangisannya, jeritannya, raungannya. Ia meneruskan mencakari tanah, meremasi tanah, memukuli tanah.

***

Kehidupanku membuktikan cintaku

Kematianku membuktikan kejujuranku

Semua untumu

18/11/07

Eits!

“Eits!” Metil mengatup kedua belah bibir Etil hanya dengan salah satu jari telunjuknya. Etil tidak jadi mengecup bibir Metil.

“Kenapa?” tanya Etil.

“Gak boleh. Belum saatnya.” Jawab Metil.

“Kapan saatnya?”

“Nanti. Kalo kita sudah nikah.”

“Kapan kita nikah?”

“Mungkin sepuluh tahun lagi. Aku kan masih ingusan.”

“Hehehe… Kan cuman ciuman.”

“Awalnya ciuman, tapi nanti pasti keterusan ke yang lain-lain. Makanya, mendingan gak usah mulai cari bahaya. Kamu harus bisa menahan diri sepuluh tahun lagi.”

“Rasanya aku udah seratus tahun menahan diri.”

“Hiperbola.”

“Bener kok!”

“Huh!”

“Pliiiissss… Satu kecupan aja. Satuuuu… aja.”

“Hhh… Oke, satu aja.”

Etil mendekati Metil, memeluk Etil, dan mengecup kening Metil. Metil mengira hanya itu yang diminta Etil.

Ternyata Etil meneruskan dengan mengecup hidung Metil, lalu bibir Metil. Meskipun terkejut, Metil mentoleransi perbuatan Etil.

Tak tahu diri, Etil melanjutkan dengan mengulum bibir Metil. Metil memukul-mukul ringan dada Etil.

Metil berusaha mengucapkan kalimat-kalimat perintah untuk menghentikan Etil ketika Etil mulai menggerayangi leher Metil dengan kecupan dan lidahnya. Kalimat-kalimat itu terputus-putus tertahan desah geli.

Setelah Etil mengendusi dada Metil. Barulah Metil mendorong Etil lebih kuat, sehingga pelukan Etil terlepas paksa.

“Kamu bilang satu kecupan!”

“Maaf, keterusan…”

“Tuh kan! Udah kubilang!”

“Maaf…”

“Huh! Aku mau pulang!” Metil memutar kunci kamar Etil, dengan kasar membuka pintu kayu yang hanya dilapisi pelitur, dan segera menghambur keluar dari sana.

“Tunggu! Aku antar kamu pulang ya?” Etil membujuk Metil sambil menguntit langkah-langkah cepat Metil. Akhirnya Etil dapat meraih lengan Metil.

“Gak usah!” Metil menepis.

“Ayo donk, jangan marah.” Etil membujuk lagi, tapi Metil telah sampai di depan rumahnya dan melambai kepada taksi kosong yang kebetulan lewat. Etil tidak mau kalah, ia cepat-cepat menyelip masuk ke dalam taksi itu dengan paksa.

“Heh! Ngapai lo? Keluar sana!” Metil meneriaki Etil. Sopir taksi yang telah berancang-ancang menjalankan kendaraannya menjadi ragu dan terhenti niatnya.

“Udah, jalan aja! Nanti gue yang bayar!” Pak Sopir kembali mengambil ancang-ancang.

“Gak! Gue bisa bayar sendiri!” Pak Sopir membatalkan ancang-ancangnya lagi.

“Gue aja yang bayarin!”

“Gak mau!”

Kan gue cowok lo!”

“Apa hubungannya?”

“Yah, karena gue cowok lo, jadi seharusnya gue bayarin lo!”

“Gak ada hubungannya!”

Sebelum Etil sempat mengeluarkan suara pembelaan dari mulutnya yang telah terlanjur dibuka, Metil telah mendorongnya kuat-kuat sambil berteriak “Keluaaaaaaaarrr!!!”.

Etil pun keluar dari mobil taksi itu dengan terhuyung-huyung menjaga keseimbangannya yang nyaris hilang karena didorong Metil.

Pak Sopir pun akhirnya berancang-ancang dan menjalankan kendaraannya.

***

Etil merenung-renung. Mengapa ada wanita yang begitu pelit terhadapnya. Tak satu pun kekasihnya di masa lalu pernah menolak bentuk sentuhan apa pun darinya. Apakah kekasihnya ini tidak mencintainya? Atau kurang mencintainya?

Etil meraih telepon genggamnya dan langsung menghubungi Metil untuk menanyakan hal tersebut.

“Aku benci kamu!” singkat-padat-jelas pernyataan yang diterima Etil dari Metil.

***

Sejak “Hari Kebencian” itu, Metil tidak pernah lagi menghubungi Etil.

Etil menelepon Metil berkali-kali tanpa jawaban.

Ribuan pesan pendek melayang dari ponsel Etil dengan tujuan nomor Metil tanpa balasan.

Ratusan surat pos dan surat elektronik terkirim tanpa kembalian.

Penitipan salam melalui teman-teman dan keluarga Metil pun telah dilaksanakan dengan balasan sekedar senyum dari para pengantar pesan.

Berkali-kali Etil mencari Metil ke rumah, sekolah, dan tempat kursusnya tanpa menemukan penampakan yang diinginkannya.

Etil tidak berputus asa. Serangan-serangan terus dilancarkan. Suatu saat, segala serangannya itu terhenti. Metil menjadi kebingungan karena tidak sanggup beradaptasi dengan keadaan baru, yaitu keadaan damai-sejahtera-aman-tenteram tanpa teror Etil. Namun, Metil berusaha bertahan untuk tidak menghubungi Etil demi harga dirinya.

Pertahanan Metil pun roboh. Ia berusaha menghubungi Etil meskipun masih penuh gengsi.

Pertama, Metil hanya menitip salam “Mana tuh anak tuyul?!” kepada teman-teman Etil.

Lalu, surat elektronik mulai berterbangan. Surat pos terlalu tradisional bagi Metil.

Pesan-pesan pendek dari ponsel pun menyusul.

Karena tidak ada respon sama sekali dan Etil, Metil memutuskan untuk mendatangi rumah Etil. Dari Nyonya Rumah, Metil tahu bahwa Etil sedang sakit.

Nyonya Rumah mempersilahkan Metil masuh ke dalam rumahnya dan langsung menjenguk Etil di kamarnya. Tanpa sungkan, Metil pun melesat masuk ke rumah itu, ke kamar Etil. Jantung Metil yang sedang bermaraton mendadak berhenti sejenak ketika Metil mendapati Etil terbaring dengan kakinya yang digips dari lutut sampai mata kaki.

Metil memegangi dadanya. Menahan rasa sedih dan rasa bersalah.

Etil mengusap-usap matanya. Membersihkan kotoran mata dan memastikan matanya tidak salah melihat Metil berdiri di hadapannya.

Metil mulai terisak dan Etil mulai menyadari bahwa yang berdiri di samping ranjangnya memang bukan halusinasi.

“Gue gak kenapa-napa kok… Cuma tulang kering gue retak karena jatoh dari tangga.”

“Trus kenapa lo gak bales SMS gue? E-mail gue? Gak angkat telepon gue?” pertanyaan Metil bertubi-tubi tersuarakan di sela-sela isak tangisnya.

“Karena gue mau lo datengin gue.”

Kalimat singkat-padat-jelas itu membuat Metil merasakan perasaan yang merupakan campuran dari perasaan kesal, malu, sekaligus lega, sehingga raut wajahnya menjadi abstrak.

Metil mencubit lengan Etil untuk membantu menetralisir perasaannya yang gado-gado. Etil meringis kesakitan. Lalu Etil dan Metil tertawa bersama. Nyonya Rumah tersenyum-senyum.

05/11/07

rumah

Aku senang pulang ke rumah. Rumah adalah tempat yang menyenangkan. Di rumah ada kamarku yang luas dan indah. Di kamarku ada televisi, komputer, playstation, sound system, dan sebuah lemari yang sangat besar tempat boneka-bonekaku tinggal. Di rumah juga ada seorang adik kecil yang lucu dan menggemaskan. Terkadang, di rumah juga ada ayah dan ibu yang selalu memanjakanku. Tidak lupa, di rumah ada pembantu-pembantu yang sangat baik.

Rumah teman-temanku pun tak kalah menyenangkan. Salah satu temanku mempunyai rumah yang sangat luas. Di sana juga ada dua kolam renang yang sangat mewah dan luas. Temanku yang lain mempunyai cagar alam mini di perkarangan rumahnya. Ada juga temanku yang di rumahnya ada sebuah ruang musik yang besar dan berfasilitas lengkap dengan segala jenis dan model alat musik di dalamnya. Kedua orang tuanya adalah pecinta dan pemain musik klasik. Ada lagi teman lain yang di rumahnya ada perpustakaan pribadi yang jauh lebih luas dan lengkap dibandingkan dengan perpustakaan sekolah. Tidak lupa, seorang teman yang berumah antik dengan segala perabotan antik dari berbagai penjuru dunia. Ayahnya seorang kolektor barang antik.

Itulah mengapa aku tidak mengerti apa yang membuat dia tidak senang pulang ke rumahnya. Aku ingin mendekatinya dan menanyakan hal itu kepadanya, tapi dia seorang penyendiri yang tidak suka bicara. Aku jadi segan mendekatinya. Apalagi, teman-temanku mengatakan bahwa dia bervirus menular, orang miskin (apa itu miskin?), anak haram (apa pula aritnya?), dan banyak lagi. Padahal, dia adalah anak yang pandai. Setahuku, dia bersekolah dengan beasiswa.

Meskipun banyak tuduhan yang ditujukan kepadanya, aku tidak mau mempedulikan itu. Aku tetap ingin mendekatinya, berteman dengannya. Maka, semua temanku yang dahulu telah meninggalkanku. Menjauhiku. Mengecapku sebagai anak bervirus lainnya. Itu semua tidak mempengaruhiku. Aku tetap ingin berteman dengannya. Sayangnya, ia memang benar-benar sulit didekati. Aku selalu diacuhkannya, sehingga aku seperti anak yang tidak punya teman sama sekali. Sekarang aku memang tidak punya teman lagi. Teman-teman lama telah memusuhiku dan teman baruku tidak mau berteman denganku.

Untungnya, suatu saat aku mendapatkan kesempatan yang baik untuk memulai pertemanan dengannya. Saat itu adalah jam istirahat. Setelah jajan beberapa kotak kue dan beberapa gelas air mineral, aku langsung menuju ke kelas. Jauh lebih baik daripada diganggu anak-anak lain di kantin. Begitu sampai di kelas, aku mendapatinya sedang menyendiri di tempat duduknya di pojok kanan belakang kelas. Dia sedang menunduk sambil memegangi, mungkin meremasi, perutnya. Aku langsung menghampirinya dan menaruh sekotak kue di atas meja di depannya. Sejenak dia terkejut, lalu dia membuka kotak itu dan melahap habis isinya. Saat kulihat dia agak kesulitan menelan suapan terakhir yang masih dikunyahnya, aku menaruh segelas air mineral di hadapannya. Tak ragu-ragu, dia langsung merobek selembar plastik yang menutupi bagian atas gelas plastik itu dan menegak habis air di dalamnya. Setelah itu ia bersendawa. Aku menatapnya sambil menahan tawa. Dia sadar dan tersipu malu. Akhirnya, kami tertawa lepas bersama. Sejak saat itu, kami berteman.

Karena kami telah akrab, aku tidak lagi segan menanyakan hal-hal tentang dirinya yang membuatku penasaran. Ia pun selalu dengan senang hati menjawabnya, meskipun aku sering tidak mengerti jawabannya. Misalnya, ketika kutanya hari ulang tahunnya. Satu Januari. Kukira, dia akan mendapat banyak hadiah sekaligus karena merayakan dua hal dalam satu hari. Ternyata tidak. Katanya, keluarganya miskin dan tidak mampu membelikannya hadiah. Ketika kutanya apa itu miskin, dia menjawab bahwa miskin adalah tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan. Aku hanya mengangguk pura-pura mengerti.

Suatu hari, aku memberanikan diri menanyakan alasannya tidak menyukai rumahnya. Kali ini lain dari biasanya, dia tidak mau membicarakannya. Setelah aku mendesak, akhirnya dia berkata bahwa rumahnya tidak menyenangkan. Dia bercerita bahwa ibunya sangat membencinya. Ibunya selalu menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah dan ibunya selalu menyalahkannya atas kesalahan-kesalahan yang tidak diperbuatnya. Ibunya juga sering memukuli pantatnya dengan tangkai sapu ijuk.

Aku tercengang mendengar semua itu. Aku mengutarakan pemikiranku bahwa ibunya itu bisa jadi bukan ibu kandungnya. Seperti di sinetron-sinetron. Dia membantah. Aku tidak percaya. Dia meyakinkanku. Dia bilang, ibunya membencinya karena dia adalah anak haram. Ibunya bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Aku lebih keheranan lagi. Dia memberitahu bahwa ibunya seorang pekerja seks. Aku tidak mengerti. Dia bilang, suatu saat nanti, aku akan mengerti. Aku mengangguk saja.

Setelah itu, aku ingin mengunjungi rumahnya. Aku ingin tahu rupa ibunya yang jahat itu. Dia melarangku. Katanya, jika aku telah mengunjungi rumahnya, aku tidak akan lagi mau berteman dengannya. Aku bilang, aku akan tetap berteman dengannya sampai kapan pun. Aku berjanji. Kami saling mengaitkan kelingking.

Kami berjalan bersama menuju rumahnya. Rumahnya terletak di ujung jalan sempit. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu ada jalan sesempit itu dan ada tempat seperti itu. Sampai di rumahnya, aku tercengang karena rumah itu tidak bersih dan tidak lebih besar dari kamarku. Gerbangnya pun seperti sekat untuk tempat bermain adik kecilku. Kecil dan rendah. Dia memperkenalkan rumahnya. Aku masih tercengang.

Dia tampak kesal, lalu menganjurkan agar aku kembali ke sekolah saja untuk menunggu supirku datang menjemputku. Dia menawarkan diri untuk mengantarku sampai ke sekolah. Karena hawa rumah itu membuatku tidak ingin masuk, aku mengikuti anjurannya untuk kembali ke sekolah.

Tak lama setelah sampai di depan gerbang sekolah, mobil sedan hitamku telah sampai di depanku. Aku masuk. Ternyata ada ibu di dalam. Kelihatannya ia baru saja berbelanja pakaian.

“Kok kamu gak tunggu di dalem aja, Sayang?”

“Aku gak sabar pengen pulang, Bu.”

Ibu mengelusi keningku.

01/11/07

nilai

Begitulah orang tuanya. Jika melihat anaknya berprestasi, bungkamlah mereka. Jika melihat kesalahan kecil saja, bersemburan makian mereka. Sudah biasa baginya.

Hari ini adalah hari pengambilan laporan hasil belajar selama setengah semester (istilah kerennya rapot mid). Ia menanti dengan gugup di rumah. Menanti laporan hasil belajarnya yang diambilkan ibunya di sekolah.

Begitu ibunya sampai di rumah, ia langsung dihardik keras karena nilai Sejarahnya yang merah. Begitu pula saat malam hari ayahnya pulang dari kantornya. Setelah ibunya mengadu, dihajar pula anak itu. Begitu tak berarti segala prestasi yang dicapainya. Menang lomba-lomba, ranking selalu lima besar, nilai-nilai tidak pernah di bawah angka 80 lainnya, semua tak tampak lagi hanya karena sebuah nilai 50.

Dengan banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk menghentikan segala usaha belajar dan prestasinya. Semua itu rasanya tak pernah berguna. Sejak saat itu, nilainya tak pernah mencapai kriteria kelulusan dan tak ada lagi prestasi dicetaknya.

Saat pengambilan rapor semester, berapi-apilah ibunya melihat laporan hasil belajar anaknya yang didominasi warna merah. Sesampai si ibu di rumah, dicarilah anaknya yang bersembunyi dalam kamarnya. Ia tatapi anaknya. Anaknya yang telah siap dimarahi pun menatap balik tanpa bersuara.

Si ibu menanyakan penyebab anaknya memperoleh nilai-nilai buruk, tidak seperti sebelumnya. Sebelumnya ia punya nilai-nilai yang sangat baik dan prestasi menumpuk.

Anak itu tetap diam. Dalam diamnya ia terkejut mengetahui bahwa ibunya sadar akan segala yang dicapainya dahulu.

Ada apa, desak ibunya.

Anak itu hanya tertunduk dalam-dalam. Saat ia mengangkat wajah untuk menantang ibunya, yang ia lihat adalah wajah sedih dan memelas ibunya. Sedihlah hati anak itu. Ia meminta maaf sambil terisak.

Ibunya merangkulnya. Memeluknya. Membelai punggungnya. Memaafkannya.

18/10/07

maling

Aku menangis sambil menatap layar kaca di hadapanku. Berita di siang hari. Di sana terpampang wajah tetanggaku yang sedang diwawancarai tentang kasus pencurian yang terjadi di rumahnya. Rumahnya dibobol maling kemarin malam. Maling itu berhasil membobol dan mengangkut banyak uang dan perhiasan, tetapi ia gagal menyelamatkan dirinya. Ia diteriaki sebelum jauh dari rumah itu dan mati dikeroyok massa.

Wajar jika rumahnya kemalingan. Rumahnya sangat besar dan megah. Rumah konglomerat dengan lima mobil bermerek berjajar di bagasinya dan perabotan dengan mutu dan harga selangit di dalamnya. Seperti istana.

Sangat berbeda dengan rumahku yang kecil dan sederhana. Di rumah ini hanya ada satu mobil dan perabotannya lebih banyak buatan lokal daripada luar. Lagipula, harganya murah-murah.

***

“Bapaaak! Kok belum berangkat kerja sih?”

“Masih pagi, Bu. Sarapan Bapak mana?”

“Sarapan? Bapak belum ngasih duit belanja!”

“Lho? Bulan ini kan sudah.”

“Iya, tapi sudah habis. Bapak belum kasih lagi. Ini baru mau minta.”

“Sebanyak itu habis? Untuk apa?”

“Belanja. Untuk apa lagi?”

“Iya, untuk belanja, tapi belanja apa? Kok banyak sekali? Gak belanja makanan?”

“Belanja baju baru, tas baru, sepatu baru, perhiasan baru…”

“Hah?! Kok malah belanja begituan? Bapak kan ngasih duit untuk keperluan rumah! Malah ada lebihnya buat ditabung! Ibu jangan boros dong!”

“Aduh, Bapak! Sebentar lagi kan Lebaran! Wajar dong kalo…”

“Lebaran kan nggak berarti harus punya barang serba baru! Sejak kapan pikiran Ibu jadi sedangkal itu?”

“Dangkal? Sini!”

Ibu menarik Bapak sampai ke teras rumah.

“Bapak lihat tetangga kita! Biar gak Lebaran pun, mereka selalu punya barang baru! Selalu pamer sana sini! Ibu hanya minta barang baru waktu Lebaran! Hanya waktu Lebaran, Pak! Apa Ibu harus terus-terusan minder sama Si Ibu Sombong itu?”

“Bukan begitu, Bu. Kita kan beda dengan mereka.”

“Emang beda! Mereka jauh lebih kaya! Makanya Bapak cari duit dong yang banyak! Jangan kerjanya cuman males-malesan!”

“Bapak gak males-malesan, Bu!”

“Bapak males-malesan! Makanya cuman bisa jadi bawahan!”

“Bu, Bapak ini hanya tamatan SMU. Bisa kerja begini saja sudah bagus!”

“Bagus apanya? Lihat dong tetangga kita! Itu baru bagus!”

“Beda, Bu!”

“Udah, sana! Pergi kerja!”

Bapak pergi dengan segudang kedongkolan dari dadanya sampai ke tenggorokannya.

***

Aku memang orang yang tidak tahu bersyukur. Aku tidak akan bersyukur jika hanya ini yang kumiliki. Seharusnya ia bekerja lebih keras dan lebih rajin supaya hidup kami lebih layak!

*

Dulu ia tidak begitu. Dulu ia adalah seorang wanita yang sederhana dan baik hati. Ia selalu bersyukur atas segala pemberian Tuhan dan menerima diri saya apa adanya. Ia pun selalu mendukung langkah-langkah saya. Berkat dirinya, saya sangat bersemangat dan rajin bekerja. Ia selalu mendukung saya dan menyemangati saya. Saya ingin membahagiakannya.

Dengan memulai sebagai seorang petugas pembersih di sebuah restoran, kini saya telah menjadi kepala koki. Dalam hal ini, ketekunan dan inisiatif sangat besar berperan. Saya senang membantu dan tidak pernah malas-malasan, sehingga posisi saya terus naik. Suatu hari, saya berinisiatif menggantikan seorang koki yang jatuh sakit karena usianya yang telah diujung. Saat itu, restoran tempat saya bekerja kekurangan tenaga koki dan saya pun berusaha membantu. Kebetulan saya telah hobi memasak sejak kecil meskipun saya harus berhenti kursus memasak setelah ayah saya meninggal. Ketika pemilik restoran itu membuka cabang untuk restorannya, saya dijadikannya kepala koki untuk restoran baru itu. Prestasi saya pun tidak pernah mengecewakan.

Penghasilan saya tentunya tidak kecil. Bagi saya, itu lebih dari cukup, sehingga saya selalu berusaha menabung. Hidup saya pun layak, bahkan terasa lebih dari cukup. Itulah mengapa saya tidak pernah mengerti apa yang kini selalu dikeluhkan wanita yang sangat saya cintai itu.

Ia tidak pernah lagi senang, bangga, atau puas dengan suaminya. Ia selalu merasa kurang. Merasa miskin. Itulah yang membuatnya terlalu boros belakangan ini. Ia berubah sejak tetangga baru itu membangun rumah di sebelah rumah saya. Tidak, saat itu ia belum berubah. Ia berubah agak lama setelah tetangga baru itu menempati rumah itu.

*

Saya benci dengan wanita di rumah sebelah itu! Munafik sekali dia! Sok baik, sok sederhana, sok akrab! Untuk apa dia berkunjung ke rumah saya? Cari muka!

Saya makin benci dia waktu suami saya lirik-lirik dia! Keterlaluan! Suami saya bilang dia cantik, langsing, sederhana! Saya sudah tua, gembrot, menor! Keterlaluan! Saya benci!

Saya tidak akan tinggal diam! Saya akan gencet dia! Biar dia tau, siapa yang lebih kaya, lebih kuat, lebih berkuasa! Huh!

*

Dia memang cantik. Meskipun sudah lebih berumur dari istri saya, dia tetap segar bugar, tubuhnya masih indah, cantik, penampilannya pun sederhana. Tidak seperti istri saya yang keriput, gemuk karena senang bermalas-malasan, penampilannya pun serba mencolok, menor, selalu mengenakan banyak perhiasan yang besar-besar. Norak!

Oleh sebab itu, saya selalu menyempatkan diri untuk bertamu ke rumahnya yang sederhana. Terkadang saya membawakannya makanan kecil. Terkadang saya juga menjelek-jelekkan suaminya. Siapa tahu ia terhasut dan memutuskan untuk meninggalkan suaminya. Lalu, ia akan segera kuperistri!

*

Saya tidak sanggup lagi menerima tekanan dari dia, wanita yang amat kucintai. Saya ingin dia senang dan bahagia. Saya akan melakukan apapun agar dia senang dan bahagia.

Saya memutuskan untuk membobol rumah tetangga kaya itu. Tetangga yang selalu membuat dia iri.

****

12/10/07

benang wol

Ada kecelakaan lalu lintas di Fatmawati. Tabrakan mobil dengan motor. Pengendara motor tewas di tempat.

Pengirim:

Benang

+6288800008888

Terkirim:

20:50:28

11-10-07

*

Pilihan

Pakai rincian

Nomor telepon

Pilihan

Panggil

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

Tut tut tut…

*

“Duh, kok gak bisa ditelpon sih?!”

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.

Tut tut tut…

*

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Tuuuuuut…

Klik

“Wei! Kok dari tadi gak diangkat sih?”

“Maaf, Mbak…”

“Lho? Lu siapa? Benang mana?”

“Uhm, maaf…”

“Lo nyolong hapenya yah?! Maling!”

“Nggak! Ini..”

Tut tut tut…

“Lho? Halo? Halo?”

*

(Ringtone)

Klik

“Wol?”

“Benang!”

“Wol…”

“Ke mana ajah sih kamu? Dari tadi aku telpon gak diangkat-angkat! Begitu diangkat, yang ngangkat orang lain! Aku kan khawatir, dapet kabar tentang kecelakaan yang kamu SMS ke aku!”

“Wol…”

“Apa? Kamu di mana sekarang? Baek-baek aja kan?”

“Wol…”

“Iya, kenapa?”

“Wol…”

“Apa sih?”

“Aku cinta kamu, Wol.”

“Aku juga cinta kamu, Benang. Ada apa sih?”

“Terima kasih.”

“Hah?”

“Selamat tinggal.”

“Lho?”

Tut tut tut…

“Wei? Halo? Halooo…?”

*

(Ringtone)

Klik

“Halo?”

“Iya. Ini Wol?”

“Iya. Siapa ini?”

“Saya temennya Benang.”

“Oh, ada apa?”

“Mau ngabarin…”

“Ya?”

“Benang kecelakaan di Fatmawati.”

“…”

“Halo?”

“Ya. Gimana dia?”

“Maaf, dia…”

Tangis.

Tangis.

Tangis.

***

10/10/07

batu bata

Bola menyeret Batu ke tempat sepi. Sebuah ruangan gelap dan pengap. Mungkin gudang.

Bola menundingkan mata sebilah pisau ke wajah Batu. Batu terisak takut.

“Lo mau apa?” tanya Batu lemah.

“Dulu lo ngerusak hubungan gue dengan Balon. Sekarang lo masih mau ganggu Bantal? Perempuan biadab!”

“Gue gak kenal Bantal!”

“Gak ngaku!”

“Sumpah, gue gak kenal Bantal!”

Isak tangis Batu makin menjadi karena ia telah terpojok di sudut ruangan itu dan terjepit oleh Bola. Mata pisau itu pun telah menempel dan sedikit mengoyak kulit pipinya yang empuk.

“Plis, Bola...” Batu terdengar melemah, “gue denger dari orang-orang soal Bantal. Gue tau, dia nangis-nangis dan bilang gue ngelabrak dia. Tapi sumpah, gue bahkan gak kenal dia! Gue belum pernah liat dia! Cuman denger soal dia dari orang-orang!”

“Maksud lo, dia bohong?!”

“Gak tau! Pokoknya gue gak ngapa-ngapain dia!”

“Dulu aja lo begitu!”

“Tapi sekarang beda!”

“Huh!” Bola sinis.

“Oke, dulu gue fall in love with you dan cara gue ngungkapin itu adalah kesalahan besar. Tapi itu dulu! Sekarang beda! Udah gak ada rasa dan gak ada urusan sama lo! Plis…”

“Trus buat apa lo begitu sama Bantal?”

“Gue gak apa-apain dia! Kali ajah dia emang bohong!”

“Lo nuduh dia?!” Bola berang.

“Bisa aja kan? Siapa tau dia gak suka sama gue karena cemburu! Dulu aja, lo gak bisa setia sama Balon! Mungkin sekarang diem-diem lo masih nyimpen hasrat ke gue dan Bantal tau!” Batu tidak lagi menyadari keberadaan pisau yang telah siap mencabiknya karena telah terbawa emosi.

Bola dengan kalap menancapkan pisau itu ke leher Batu. Sekali dan darah telah terciprat ke wajah Bola untuk menyadarkannya dari perbuatannya. Bola mundur selangkah-selangkah dengan langkah tersendat-sendat.

Batu jatuh dengan kaku disertai bunyi-bunyi serak dari tenggorokannya yang telah digenangi darah.

“Batu! Batu!” terdengar panik suara dari luar ruangan itu. Pintu didobrak. Bata masuk tergesa-gesa.

“Batuuuu!” erangnya sekuat tenaga melihat kekasihnya dalam keadaan mengenaskan.

Bata langsung menghampiri Batu. Bata memeluk kekasih sekaratnya. Dicabutnya pisau itu dari leher kekasihnya. Bata menangis dan mengerang semampunya.

Tak lama kemudian, terdengar langkah-langkah berlari dari luar ruangan. Buru-buru Bola membersihkan darah di wajahnya dengan kaos hitam yang dikenakannya. Lalu, Bola menghampiri sepasang kekasih itu dengan sebilah kayu di tangannya. Dipukulinya Bata dan dipisahkannya si Bata dari Batu. Saat itu juga, beberapa pria menghambur masuk ke sana.

“Pembunuh!” teriak Bola sambil menunding Bata yang tubuhnya telah berlumur darah segar. Saat itu, nyawa Batu telah terambang di udara.

Pria-pria itu memvonis Bata sebagai pembunuh kekasihnya sendiri. Bata diseret keluar dari tempat itu dan dikeroyok sampai tak berbentuk dan tak bernyawa.

***

“Bata!”

“Batu!”

“Bata…”

“Jahat betul mereka itu!”

“Biarlah, Bata. Kini, hanya Tuhan yang dapat memisahkan kita.”

damih

Damih senang bersahabat dengan Midah. Dalam persahabatan itu, penampilan fisik tak dipertimbangkan sama sekali dan kepribadian adalah bahan pertimbangan terbesar. Namun, Damih tidak tahan dengan sikap orang-orang lain yang menganggap mereka aneh karena berbeda dari yang lain. Perbedaan yang seharusnya menjadi alat untuk saling melengkapi dan penyatu telah menjadi alat perpecahan dan penindasan, pikir Damih. Sayangnya, Damih menyerah. Ia merubah dirinya menjadi “sama” dengan orang-orang, seperti yang diinginkan orang-orang. Ia meninggalkan Midah yang teguh memegang prinsipnya.

Damih mendapat sambutan yang dikiranya baik dari orang-orang. Awalnya ia begitu tergiur dan hanyut dengan segala kehangatan buatan itu. Tidak ada lagi yang mencemooh dan mengganggunya, orang-orang menyapa ramah kepadanya saat berjumpa, mengajaknya berbincang-bincang, dan bersenda gurau dengannya.

Damih pun senang saat orang-orang mengajaknya berjalan-jalan dan menikmati hari bersama. Damih tidak lagi menekuni buku-buku tebal bersama Midah, tidak lagi menguras otak bersama Midah untuk pekerjaan-pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru-guru sekolah, tidak lagi bergiat dengan kursus-kursus bersama Midah, dan tidak ada lagi Midah dalam hari-harinya. Hari-harinya adalah untuk berhedonisme-ria bersama teman-teman barunya yang sebagian belum ia kenal.

Hanya saja, ada hal yang mengganjal hatinya. Damih sadar tentang Midah. Midah yang kini selalu sendiri. Midah tidak pernah berusaha menghubungi Damih. Midah memang telah maklum bahwa Damih telah terseret arus deras dan melepas pegangannya dari prinsipnya. Damih pun tidak berusaha menghubungi Midah. Damih khawatir bila teman-temannya tahu bahwa ia masih berhubungan dengan Midah, teman-teman barunya itu akan menjauhinya.

Damih memang telah penuh di bawah kendali orang-orang yang telah menjadi teman-teman baginya. Teman-teman baru Damih telah mengatur tampilan Damih, tingkah laku Damih, segala yang dilakukan Damih, dan memaksa Damih untuk mengenakan tameng masal mereka. Damih akhirnya menyadari hal itu.

Damih pun akhirnya sadar bahwa ia tidak lagi produktif. Waktunya tidak lagi digunakannya untuk belajar dan berkarya, tetapi terbuang sia-sia bersama teman-temannya yang juga sia-sia.

Damih sadar, teman-teman itu memang sia-sia. Mereka tidak pernah berbagi dengan Damih. Ia hanya satu diantara sekian untuk menambah jumlah mereka. Bukan untuk saling memberi selayaknya teman. Selayaknya sahabat. Seperti Midah.

Damih kembali kepada Midah. Ia menyesal dan meminta maaf. Dengan susah payah, Midah akhirnya memberi maaf untuk Damih. Mereka kembali bersahabat. Satu sahabat sejati jauh lebih baik dari seribu teman yang hanya kemunafikan belaka, pikir Damih.

06/10/07

surat

Dalam putih kosong kusuratkan
Kepada kekasih setiaku
Yang mencintaiku tanpa balasan serupa dariku

Kusuratkan permintaan maaf, sayang
Sebab anganku telah najis
Menyusup begitu saja segala birahi busuk itu
Tergiur akan rupanya yang menawan
Memang kau tak dapat menandinginya

Namun cintamu yang setia
Ikhlasmu yang melimpah
Sayang, maafkan
Aku membalasmu dengan pikiran yang lacur

Jangan takut, sayang
Takkan kutinggalkan dirimu
Tak sejengkal pun hatiku akan jauh dari hatimu
Hanya, si hati itu mendua
Maafkan, sayang

Biarlah aku menangis, sayang
Jangan turut sedih
Inilah betapa biadab diriku
Terhadap ketulusanmu
Maafkan, sayang

Maaf, sayang
Maaf

sendiri

Aku tak pernah merasa sendiri
Memang tak mungkin seorang manusia bertahan hidup jika hanya sendiri
Namun kalian menganggapku sendiri dan kesepian
Kalian menganggapku tidak wajar

“Kesepian” yang damai telah membuat kalian membenciku,
Kalian menekanku karena “kesendirianku”

Aku bercampur
Aku beraduk
Aku bersatu
Dengan kalian
Nyaris kehilangan diriku dalam absurditas logika kalian

Bersama kalian pun aku tertekan
Oleh kemauan kalian
Oleh keegoisan kalian
Oleh absurditas logika kalian

Mengapakah kalian?
Hal benar dan salah sungguh buram dan samar di mata kalian
Hal baik dan buruk hanya masalah ego

Bagaimana mungkin makhluk-makhluk egosentris seperti kalian membaurkan diri satu sama lain?
Mustahil!

Ya, memang mustahil
Kalian memang tidak berbaur
Tidak bersatu
Tidak bergaul
Tidak berteman
Kalian berpura-pura
Kalian bertameng
Kalian munafik

Kalian takut tersisih
Kalian takut penolakan
Kalian takut ketidaknyamanan
Kalian takut kejujuran terhadap diri sendiri
Kalian mengekang kebebasan diri sendiri dalam kemunafikan masal
Kalian membenciku untuk mempertebal tameng kemunafikan kalian

Kalian manusia-manusia bodoh!
Kalian menganiaya orang lain!
Kalian menyiksa diri sendiri!

28/09/07

tunding

Aku pergi meninggalkanmu

bersama seorang yang lebih baik darimu

dan sederajat denganku

Itulah tundingmu atas diriku

Kututup rapat telinga ini, tapi masih terdengar sayup

Betapa kejam, menghujam perasaan

Andai kemarahan sanggup membakar,

tapi cinta begitu murah memberi maaf

Maaf yang memadamkan kemarahan tak berdaya

Sakit

muncul sebagai pemenang

Sakit yang melelehkan hati menjadi air mata

dalam diam yang pedih

Lantas untuk apakah semua cinta itu jika aku demikian biadab?

Perpisahan adalah permintaanmu yang lain

Apakah aku ini? Bisul besar bernanah dalam hidupmu?

Mengapakah kau menghimpitku begitu keras?

Menghancurkanku?

Memusnahkanku?

Cukuplah

Tutuplah

Aku lelah

27/09/07

ganggu

“Jadi, kamu tetep ikut camping?”

“Iya.”

“Meskipun ada dia?”

“Iya.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Masalah itu gimana?”

“Justru itu. Kalo ada kesempatan, gue mau minta maaf sama dia.”

***

Ada apa sih? Kok harus mojok gini?”

“Gue mau minta maaf.”

“Lo salah apa?”

“Soal itu…”

“Soal apa?”

“Dulu, gue pernah ganggu lo.”

“Hah?”

“Waktu SMP.”

“Yaelah! Itu kan udah empat taon lalu!”

“Iya, tapi gue masih gak enak sama lo.”

“Iya deh, gue maafin.”

“Makasi.”

“Kenapa sih, dulu lo kayak gitu?”

“Emangnya lo gak denger gosip?”

“Gosip apa?”

“Itu…”

“Apa?

“Gue naksir lo.”

“Uhm, emang itu bener?”

“Iya.”

“Trus, kenapa lo ganggu gue?”

“Sori, waktu itu kan gue masih ingusan dan cupu. Itu cara gue mengungkapkan rasa suka gue ke elo.”

“Hahahahahahah!!”

“Jangan ketawa!”

“Sori.”

“Gue ampe bikin lo marah, bokap-nyokap lo marah, cewek lo marah…”

“Udah lah… Itu masa lalu.”

“Sekarang kita temen?”

“Iya, temen.”

***

17/09/07

anjing*

Majikanku yang baru berumur 15 tahun itu adalah majikan yang paling sering meluangkan waktunya untukku di rumah ini. Ia cantik, cerdas, dan baik hati. Aku sangat menyukainya. Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa aku bukan anjing biasa.

Usaha pertamaku adalah dengan menunjukkan berbagai ekspresi pada wajahku yang tidak dapat ditunjukkan oleh anjing manapun. Anjing-anjing lain hanya dapat menggunakan bahasa tubuh dan terutama ekor mereka sebagai alat komunikasi. Aku dapat memasang tampang memelas saat lapar atau menginginkan sesuatu, tersenyum saat diberi makan atau keinginanku terpenuhi, sedih saat ia menceritakan masalah-masalahnya, marah saat ia mengacuhkanku karena tugas-tugas sekolahnya, dan banyak lagi.

Sayang sekali, aku adalah anjing pertama yang dipelihara olehnya, sehingga ia mengira hal-hal tersebut adalah wajar karena anjing merupakan salah satu mamalia terpandai dan bersahabat dengan manusia.

Aku tidak putus asa. Aku berusaha membantunya dalam setiap pekerjaannya di rumah. Aku mengambilkan sandal untuknya saat ia tiba di rumah, aku mengambilkan tasnya saat ia hendak berangkat ke sekolah, aku membawakan buku-bukunya saat ia hendak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru sekolahnya, aku bisa membantunya mencarikan barangnya yang hilang, aku membangunkannya di pagi hari jika alarm ponselnya tidak mempan mengangkatnya dari alam mimpi, terkadang aku bahkan membawakan keranjang sampah kepadanya ketika ia hendak membuang sampah.

Paling tidak, kali ini ia tidak lagi menganggapku wajar. Baginya, aku adalah anjing yang sangat pandai. Seperti anjing-anjing di film-film barat. Sayangnya, aku tetaplah seekor anjing saja baginya. Aku tidak puas.

Baiklah, aku tidak akan makan makanan anjing lagi! Ketika ia memberiku makanan anjing, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Ia menjadi kalang kabut. Ia mengunjungi semua toko hewan yang dapat dikunjunginya untuk membeli berbagai jenis dan merek makanan anjing, tapi tidak mendapat sambutan yang baik dariku. Aku sangat lapar, tapi aku ingin ia sadar, aku bukan anjing biasa.

Ia duduk terkapar di atas sofa ruang tengah dengan wajah lesu. Menyerah. Kemudian, dengan sempoyongan ia menghampiri lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa potong pizza dingin dari sana, lalu menghangatkannya dengan microwave oven. Setelah itu, ia telah siap menyantap, tapi aku menggonggonginya.

“Apa?” katanya.

Aku menggonggong lagi.

“Gak usah sirik! Siapa suruh, dikasih makan gak mau! Biarin lo laper! Gue mau makan!”

Aku menggonggong lagi, lalu mengigit dan menarik-narik kecil unjung celananya.

“Apaan sih? Lo mau neh?” ia membentak, lalu menyodorkan sepotong pizza ke depan moncongku.

Tanpa basa-basi, kuterkam makanan itu dan kusantap penuh nafsu. Ia terkejut dan agak bingung, tapi kemudian ia memberiku sepotong lagi. Lama-kelamaan, ia terbiasa memberiku makanan manusia. Akan tetapi, aku hanya seekor anjing yang makan makanan manusia baginya. Itu tidak cukup!

Aku bertekad, aku akan belajar menulis. Membaca dan berhitung adalah perkara mudah, tetapi menulis dengan empat kaki ini atau mocong ini sangatlah sulit. Aku akan belajar!

Aku berhasil! Aku menulis beberapa kalimat dengan moncongku di ubin kamar majikanku dengan spidol papan tulis yang sembarang kucomot dari meja belajarnya. Majikanku terkejut dan jatuh terduduk karena lemas. Tak lama setelah itu, ia meminta pembantu-pembantunya membuangku. Karena aku memberontak, ia meminta bantuan sopir, tukang kebun, dan satpam untuk menarikku keluar dari rumah itu. Aku ditendang keluar dari rumah itu dengan keadaan luka-luka.

Tertatih aku berjalan menyeberangi jalan untuk berteduh di bawah pohon yang agak rindang di depan rumah itu karena hujan mulai menitiki tanah. Tak lama setelah itu, hujan deras menghujami bumi. Aku kedinginan dan kesepian. Aku melolong panjang. Aku ingin sekali kembali ke rumah itu, tapi aku tahu majikanku tidak akan pernah menerimaku kembali. Aku pasti telah menakutinya. Aku mendengar sendiri ia memekik, “aku gak mau pelihara anjing lagi!”.

Meskipun begitu, semangat dan rinduku tak terpatahkan. Biarpun dihantami dingin dan kerasnya hujan, aku tetap bertekad menyeberangi jalan untuk menghampiri rumah majikanku. Sayang sekali, mobil pacar majikanku melesat cepat dan mengahantamku di tengah jalan. Aku terpental dan mendarat kembali di tanah dengan keras, sehingga sebagian tubuhku tercecer.

Aku tidak jadi menghampiri rumah mantan majikanku. Aku tidak bisa. Aku hanya mampu menatapi tubuhku yang tercecer dengan darah yang mengalir deras bersama air hujan yang menuruni jalan ke selokan. Aku terapung dan melayang jauh ke atas. Bertemu dengan majikan baruku, Nabi Musa.

***

Majikanku yang cantik jelita,

janganlah anggap aku hewan

Meskipun tubuhku terperangkap dalam tubuh anjing pointer ini,

aku mempunyai jiwa berakal budi yang tidak dimiliki hewan manapun

Jiwa manusia

Aku adalah manusia yang terperangkap dalam tubuh hewan

Sungguh, aku pernah menghuni tubuh manusia

Hanya saja, ibuku mengutukku ke dalam tubuh yang tidak praktis ini

hanya karena aku membunuh ayahku yang bejat

Apa yang salah dengan membunuhnya?

Tidak penting

Yang penting, aku adalah seorang manusia yang jatuh cinta kepadamu

*)terinspirasi dari Buntut-Buntutnya… by Miund.