18/11/07

Eits!

“Eits!” Metil mengatup kedua belah bibir Etil hanya dengan salah satu jari telunjuknya. Etil tidak jadi mengecup bibir Metil.

“Kenapa?” tanya Etil.

“Gak boleh. Belum saatnya.” Jawab Metil.

“Kapan saatnya?”

“Nanti. Kalo kita sudah nikah.”

“Kapan kita nikah?”

“Mungkin sepuluh tahun lagi. Aku kan masih ingusan.”

“Hehehe… Kan cuman ciuman.”

“Awalnya ciuman, tapi nanti pasti keterusan ke yang lain-lain. Makanya, mendingan gak usah mulai cari bahaya. Kamu harus bisa menahan diri sepuluh tahun lagi.”

“Rasanya aku udah seratus tahun menahan diri.”

“Hiperbola.”

“Bener kok!”

“Huh!”

“Pliiiissss… Satu kecupan aja. Satuuuu… aja.”

“Hhh… Oke, satu aja.”

Etil mendekati Metil, memeluk Etil, dan mengecup kening Metil. Metil mengira hanya itu yang diminta Etil.

Ternyata Etil meneruskan dengan mengecup hidung Metil, lalu bibir Metil. Meskipun terkejut, Metil mentoleransi perbuatan Etil.

Tak tahu diri, Etil melanjutkan dengan mengulum bibir Metil. Metil memukul-mukul ringan dada Etil.

Metil berusaha mengucapkan kalimat-kalimat perintah untuk menghentikan Etil ketika Etil mulai menggerayangi leher Metil dengan kecupan dan lidahnya. Kalimat-kalimat itu terputus-putus tertahan desah geli.

Setelah Etil mengendusi dada Metil. Barulah Metil mendorong Etil lebih kuat, sehingga pelukan Etil terlepas paksa.

“Kamu bilang satu kecupan!”

“Maaf, keterusan…”

“Tuh kan! Udah kubilang!”

“Maaf…”

“Huh! Aku mau pulang!” Metil memutar kunci kamar Etil, dengan kasar membuka pintu kayu yang hanya dilapisi pelitur, dan segera menghambur keluar dari sana.

“Tunggu! Aku antar kamu pulang ya?” Etil membujuk Metil sambil menguntit langkah-langkah cepat Metil. Akhirnya Etil dapat meraih lengan Metil.

“Gak usah!” Metil menepis.

“Ayo donk, jangan marah.” Etil membujuk lagi, tapi Metil telah sampai di depan rumahnya dan melambai kepada taksi kosong yang kebetulan lewat. Etil tidak mau kalah, ia cepat-cepat menyelip masuk ke dalam taksi itu dengan paksa.

“Heh! Ngapai lo? Keluar sana!” Metil meneriaki Etil. Sopir taksi yang telah berancang-ancang menjalankan kendaraannya menjadi ragu dan terhenti niatnya.

“Udah, jalan aja! Nanti gue yang bayar!” Pak Sopir kembali mengambil ancang-ancang.

“Gak! Gue bisa bayar sendiri!” Pak Sopir membatalkan ancang-ancangnya lagi.

“Gue aja yang bayarin!”

“Gak mau!”

Kan gue cowok lo!”

“Apa hubungannya?”

“Yah, karena gue cowok lo, jadi seharusnya gue bayarin lo!”

“Gak ada hubungannya!”

Sebelum Etil sempat mengeluarkan suara pembelaan dari mulutnya yang telah terlanjur dibuka, Metil telah mendorongnya kuat-kuat sambil berteriak “Keluaaaaaaaarrr!!!”.

Etil pun keluar dari mobil taksi itu dengan terhuyung-huyung menjaga keseimbangannya yang nyaris hilang karena didorong Metil.

Pak Sopir pun akhirnya berancang-ancang dan menjalankan kendaraannya.

***

Etil merenung-renung. Mengapa ada wanita yang begitu pelit terhadapnya. Tak satu pun kekasihnya di masa lalu pernah menolak bentuk sentuhan apa pun darinya. Apakah kekasihnya ini tidak mencintainya? Atau kurang mencintainya?

Etil meraih telepon genggamnya dan langsung menghubungi Metil untuk menanyakan hal tersebut.

“Aku benci kamu!” singkat-padat-jelas pernyataan yang diterima Etil dari Metil.

***

Sejak “Hari Kebencian” itu, Metil tidak pernah lagi menghubungi Etil.

Etil menelepon Metil berkali-kali tanpa jawaban.

Ribuan pesan pendek melayang dari ponsel Etil dengan tujuan nomor Metil tanpa balasan.

Ratusan surat pos dan surat elektronik terkirim tanpa kembalian.

Penitipan salam melalui teman-teman dan keluarga Metil pun telah dilaksanakan dengan balasan sekedar senyum dari para pengantar pesan.

Berkali-kali Etil mencari Metil ke rumah, sekolah, dan tempat kursusnya tanpa menemukan penampakan yang diinginkannya.

Etil tidak berputus asa. Serangan-serangan terus dilancarkan. Suatu saat, segala serangannya itu terhenti. Metil menjadi kebingungan karena tidak sanggup beradaptasi dengan keadaan baru, yaitu keadaan damai-sejahtera-aman-tenteram tanpa teror Etil. Namun, Metil berusaha bertahan untuk tidak menghubungi Etil demi harga dirinya.

Pertahanan Metil pun roboh. Ia berusaha menghubungi Etil meskipun masih penuh gengsi.

Pertama, Metil hanya menitip salam “Mana tuh anak tuyul?!” kepada teman-teman Etil.

Lalu, surat elektronik mulai berterbangan. Surat pos terlalu tradisional bagi Metil.

Pesan-pesan pendek dari ponsel pun menyusul.

Karena tidak ada respon sama sekali dan Etil, Metil memutuskan untuk mendatangi rumah Etil. Dari Nyonya Rumah, Metil tahu bahwa Etil sedang sakit.

Nyonya Rumah mempersilahkan Metil masuh ke dalam rumahnya dan langsung menjenguk Etil di kamarnya. Tanpa sungkan, Metil pun melesat masuk ke rumah itu, ke kamar Etil. Jantung Metil yang sedang bermaraton mendadak berhenti sejenak ketika Metil mendapati Etil terbaring dengan kakinya yang digips dari lutut sampai mata kaki.

Metil memegangi dadanya. Menahan rasa sedih dan rasa bersalah.

Etil mengusap-usap matanya. Membersihkan kotoran mata dan memastikan matanya tidak salah melihat Metil berdiri di hadapannya.

Metil mulai terisak dan Etil mulai menyadari bahwa yang berdiri di samping ranjangnya memang bukan halusinasi.

“Gue gak kenapa-napa kok… Cuma tulang kering gue retak karena jatoh dari tangga.”

“Trus kenapa lo gak bales SMS gue? E-mail gue? Gak angkat telepon gue?” pertanyaan Metil bertubi-tubi tersuarakan di sela-sela isak tangisnya.

“Karena gue mau lo datengin gue.”

Kalimat singkat-padat-jelas itu membuat Metil merasakan perasaan yang merupakan campuran dari perasaan kesal, malu, sekaligus lega, sehingga raut wajahnya menjadi abstrak.

Metil mencubit lengan Etil untuk membantu menetralisir perasaannya yang gado-gado. Etil meringis kesakitan. Lalu Etil dan Metil tertawa bersama. Nyonya Rumah tersenyum-senyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.