01/11/07

nilai

Begitulah orang tuanya. Jika melihat anaknya berprestasi, bungkamlah mereka. Jika melihat kesalahan kecil saja, bersemburan makian mereka. Sudah biasa baginya.

Hari ini adalah hari pengambilan laporan hasil belajar selama setengah semester (istilah kerennya rapot mid). Ia menanti dengan gugup di rumah. Menanti laporan hasil belajarnya yang diambilkan ibunya di sekolah.

Begitu ibunya sampai di rumah, ia langsung dihardik keras karena nilai Sejarahnya yang merah. Begitu pula saat malam hari ayahnya pulang dari kantornya. Setelah ibunya mengadu, dihajar pula anak itu. Begitu tak berarti segala prestasi yang dicapainya. Menang lomba-lomba, ranking selalu lima besar, nilai-nilai tidak pernah di bawah angka 80 lainnya, semua tak tampak lagi hanya karena sebuah nilai 50.

Dengan banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk menghentikan segala usaha belajar dan prestasinya. Semua itu rasanya tak pernah berguna. Sejak saat itu, nilainya tak pernah mencapai kriteria kelulusan dan tak ada lagi prestasi dicetaknya.

Saat pengambilan rapor semester, berapi-apilah ibunya melihat laporan hasil belajar anaknya yang didominasi warna merah. Sesampai si ibu di rumah, dicarilah anaknya yang bersembunyi dalam kamarnya. Ia tatapi anaknya. Anaknya yang telah siap dimarahi pun menatap balik tanpa bersuara.

Si ibu menanyakan penyebab anaknya memperoleh nilai-nilai buruk, tidak seperti sebelumnya. Sebelumnya ia punya nilai-nilai yang sangat baik dan prestasi menumpuk.

Anak itu tetap diam. Dalam diamnya ia terkejut mengetahui bahwa ibunya sadar akan segala yang dicapainya dahulu.

Ada apa, desak ibunya.

Anak itu hanya tertunduk dalam-dalam. Saat ia mengangkat wajah untuk menantang ibunya, yang ia lihat adalah wajah sedih dan memelas ibunya. Sedihlah hati anak itu. Ia meminta maaf sambil terisak.

Ibunya merangkulnya. Memeluknya. Membelai punggungnya. Memaafkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.