26/11/07

jujur

Setelah beradu argumentasi dengan kekasihnya, ia teringat akan mantan kekasihnya yang tak pernah membantahnya. Mantan kekasihnya itu begitu berbeda dengannya, sehingga hubungan mereka selalu disumbangi kesulitan dari orang-orang yang tidak menyukai mereka. Apa pula hubungan orang-orang itu dengan mereka? Mengapa mereka begitu ikut campur? Mengapa perbedaan begitu mengganggu mereka? Ah, dasar perbedaan laknat!

Mantan kekasihnya itu berbeda ciri jasmani dan ciri rohani dengannya. Mereka berbeda ras, suku bangsa, agama, pendidikan, kelas sosial, dan banyak hal. Persamaan mereka hanya perasaan mereka terhadap satu sama lain. Rasa cinta, namanya.

Namun, ia tidak dapat mempertahankan perasaan itu. Rasa cintanya harus bergilir-giliran diperani hati dengan rasa benci. Kala rasa benci itu muncul, ia menjadi arogan dan semena-mena. Meskipun begitu, mantan kekasihnya itu tidak pernah melawannya. Mantan kekasihnya menuruti semua kemauannya dan rela dibuat sengsara olehnya.

Itulah mengapa ia selalu berpikir bahwa mantan kekasihnya bodoh. Namun, lama-kelamaan ia menjadi curiga. Pasti ada sesuatu yang diinginkan oleh mantan kekasihnya itu darinya. Jika tidak, ia tidak mungkin segencar itu menunjukan cintanya. Apalagi, perkenalan mereka terjadi di dunia maya. Baginya saat itu, perkenalan di dunia maya tidak pernah berhasil baik. Tiap kali pikiran itu muncul, segala kecurigaan lain pun menyusul. Cerita-cerita yang dahulu menghanyutkannya berubah menjadi kebohongan yang memuakkan baginya. Rasa bencinya pun mendominasi giliran. Merebut kesempatan bagi rasa cinta.

Ia makin menyengsarakan mantan kekasihnya. Ia seringkali menuduh mantan kekasihnya berdusta. Ia mengecap gombal semua ucapan manis, menerka-nerka kebohongan dibalik cerita-cerita, dan curiga akan maksud kebaikan-kebaikan yang diperbuat sang mantan kekasih kepadanya. Saat-saat itu, kekasihnya makin sengsara dibuatnya. Hati mantan kekasihnya sakit teriris-iris tiap kali ia menunjukkan ketidakpercayaannya.

Suatu hari, ia menjadi sangat marah karena mantan kekasihnya tertidur dan tidak mengangkat telepon darinya. Setelah mantan kekasihnya terbangun oleh dering telepon yang terulang-ulang, ia langsung melancarkan segala makian terkasar yang pernah didengarnya kepada mantan kekasihnya. Tak cukup begitu, ia pun menuduh bahwa kekasihnya berbohong tentang latar belakang dirinya, tentang penyakit berat yang dideritanya, tentang segala cerita menyedihkan yang disuguhkan oleh mantan kekasihnya. Ia menuduh bahwa semua itu hanya untuk mengemis rasa kasihan agar ia tidak meninggalkan mantan kekasihnya.

Mantan kekasihnya tak sanggup lagi mendengar semua itu dan menutup teleponnya. Ia mendeteksi itu sebagai tindakan tidak bertanggung jawab, sehingga telepon di tangannya ia lempar dengan kesal. Tak berapa lama setelahnya, mantan kekasih itu menelepon untuk meminta maaf dan berbicara baik-baik. Namun, ia menolak panggilan dan mematikan semua telepon yang ia punya.

Sejak hari itu, segala bentuk komunikasi dengan mantan kekasihnya ditolak olehnya. Telepon, pesan singkat dari ponsel, surat pos, surat elektronik, semua langsung ditolak. Dihapus tak berjejak. Bahkan nama samaran yang digunakan mantan kekasihnya untuk menghubunginya tidak pernah berhasil. Ia pun selalu bersembunyi ketika mantan kekasihnya mendatanginya. Mantan kekasihnya pernah memohon-mohon di depan rumahnya dan berakhir dengan diseret dan dihajar beberapa hansip.

Suatu hari, semua usaha mantan kekasihnya untuk berkomunikasi terhenti. Beberapa hari kemudian, seorang teman mantan kekasihnya yang ia kenal menyampaikan pesan kepadanya bahwa mantan kekasihnya telah dalam keadaan kritis dan dirawat di unit gawat darurat sebuah rumah sakit. Ia tidak menanggapi hal itu karena ia menganggap itu hanya pancingan.

Tiba-tiba ia tersentak. Pikirannya tertarik paksa dari masa lalu ke masa kini. Ia buru-buru merapikan pakaian dan dandanannya, lalu berlari melesat ke bagasi rumahnya dan keluar dari sana dengan mengendarai sebuah mobil sedan yang berpacu kencang mengejar sesuatu.

Dengan kecepatan kilat, ia tidak menghabiskan banyak waktu untuk sampai di rumah mantan kekasihnya. Ia melihat sekeliling dan menangkap tatapan tak bersahabat dari tetangga-tetangga di sana. Ia menekan bel yang tercantum di dekat pagar.

Seorang wanita tua keluar perlahan dari rumah itu dan menatapnya bingung beberapa saat. Ia mencoba tersenyum, tapi senyum itu hanya bertahan sesaat. Wanita tua itu, nenek mantan kekasihnya, tampak terkejut dan terpukul saat teringat dan tersadar akan siapa wanita muda yang berdiri di depannya itu. Nenek itu langsung histeris. Nenek itu menangis, meraung-raung, memaki-maki, dan mengusirnya. Seorang ibu-ibu dari rumah sebelah ikut meneriakinya agar pergi. Ia pun menyingkir dari sana.

Ketika ia menemukan sekumpulan orang yang ia kenal sebagai teman mantan kekasihnya, ia pun menghampiri mereka. Namun, mereka langsung tampak tidak senang dan membubarkan diri. Kemudian, mereka berkumpul kembali di tempat yang agak jauh dari sana. Ia putus asa. Ia duduk sembarang saja di trotoar dekat sana dan mulai menangis.

Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya dari belakang membuatnya terkejut. Buru-buru ia menyeka air matanya, menyedot ingusnya agar kembali ke kerongkongannya, dan melihat siapa yang menepuknya itu. Ia mengenali orang itu sebagai teman mantan kekasihnya yang dahulu menyampaikan kabar bahwa mantan kekasihnya sedang sekarat. Ia tersentak berdiri. Ia tak bersuara, tapi bertanya-tanya melalui raut wajahnya. Melalui bahasa wajah pula, teman mantan kekasihnya itu memintanya untuk ikut ke suatu tempat.

Teman mantan kekasihnya itu menuntunnya ke kuburan. Rasa takut, bimbang, was was, beraduk-aduk dalam dadanya. Teman mantan kekasihnya itu berhenti ketika menemukan sebuah batu nisan yang kemudian ditatapnya. Ia yang berdiri di balik punggung teman mantan kekasihnya itu menunggu tanda-tanda dari teman mantan kekasih itu. Tak berapa lama, teman mantan kekasih itu menyingkir ke samping dan menguakkan pemandangan akan sebuah batu nisan berukirkan nama mantan kekasihnya.

Ia jatuh berlutut. Kakinya lemas. Untuk sejenak, ia bahkan tak dapat bereaksi. Setelah itu, ia menangis sejadi-jadinya. Ia mencakari dan meremasi tanah sambil menjerit-jerit.

Teman mantan kekasihnya itu membantunya bangun, meskipun tidak sampai berdiri. Paling tidak, dari posisi mencium tanah sampai duduk tegak. Teman mantan kekasih itu menyerahkan selembar kertas yang telah kusut. Dengan ragu dan bingung, ia menerima kertas itu. Ia meluruskan kertas kusut itu dan menemukan tulisan amburadul dari tangan yang terlalu lemah untuk menulis dengan baik. Ia langsung tahu tulisan siapa itu.

Ia melanjutkan tangisannya, jeritannya, raungannya. Ia meneruskan mencakari tanah, meremasi tanah, memukuli tanah.

***

Kehidupanku membuktikan cintaku

Kematianku membuktikan kejujuranku

Semua untumu

4 komentar:

  1. Salam kenal mba. romantis nih artikelnya.

    BalasHapus
  2. wah, romantis?
    baru kali ini ada yang bilang begitu...
    biasanya dibilang tragis...
    hehe..
    makasi yah..
    makasi udah berkunjung, makasi udah membaca, dan makasi atas pujian bangbadi.

    BalasHapus
  3. tragis, sedih gw bacanya..
    lam kenal ya mba..

    BalasHapus
  4. wah tragis, ada lanjutannya gak?

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.