26/08/09

hilang IV

Kuli itu diungsikan ke sebuah kamar di bagian belakang ruko oleh sang kakek. Di sana, beberapa kuli membantu mengobati tangan kakinya yang lecet dan memar, juga dahinya yang berdarah tertimpa tangga. Sebentar saja, sang kakek muncul membawa segulung perban, lalu membantu membalut luka di dahi si kuli. Kuli tersebut sangat berterima kasih. Kakek itu memberikan dua botol obat Cina, sebotol arak dan sebotol tie da yao jin untuk si kuli. Saat pulang nanti pun, kakek itu akan memberi bayaran lebih bagi kuli yang tertimpa bencana itu.

Ketika kuli itu telah ditinggal sendirian di kamar belakang itu agar bisa istirahat, cucu perempuan sang kakek penasaran ingin menengoknya. Sang cucu meminta izin ke toilet –yang kebetulan juga terletak di bagian belakang ruko- kepada sang kakek.

Di kamar belakang, Arien menemukan Gani.

“Aku tau kamu masih hidup,” bisik Arien dengan senyum lebar di wajahnya. Arien beranjak duduk di sisi ranjang yang ditiduri Gani.

Gani terlonjak kaget. Ia terbangun dari tidurnya yang baru beberapa menit. Dahinya terasa berdenyut. Ia tidak mampu berkata-kata. Arien pun terkejut karena reaksi Gani yang begitu rupa.

Untuk beberapa lama, mereka saling diam. Tidak bicara dan salah tingkah. Terkadang ada yang mencoba memulai, sudah membuka mulut, tetapi tak muncul satu patah kata pun. Lalu, mereka menyerah. Mereka membiarkan jam dinding mendominasi ruangan dengan detak detiknya. Mereka saling diam dan masing-masing tersedot kepada masa lalu. Butuh waktu lama agar mereka masing-masing merasa dekat lagi seperti dulu kala.

Ketika perasaan akrab itu sudah cukup membauri mereka, mereka pun saling tatap.

“Ngapain kamu ke sini?” Gani memulai.

“Ini toko kakekku.”

“Oh.”

Hening lagi.

“Kamu lihat aku?”

“Kamu luka-luka gara-gara aku. Maaf ya...”

“Bukan itu maksudku. Kamu lihat, aku ini miskin. Aku cuman bisa kerja serabutan. Hidup pontang-panting. Kamu lihat diri kamu. Kamu anak orang kaya. Pengusaha sukses. Gak pantes kita deket-deket begini.”

Dengan dahi terkerut sempuran, Arien mencurigai, “omongan kamu persis Mama.”

“Memang mama kamu yang bilang begitu sama aku.”

Mata Arien terbelalak.

“Gak usah heran,” Gani hendak bercerita, “sebelum kamu pulang dari Singapur, mama kamu nyamperin aku.” Kedekatan yang terasa di antara mereka berdua membuatnya menjadi berani untuk terbuka. “Orang tua kamu kasih aku rumah dan uang. Mereka mau aku pergi dan jauh-jauh dari kamu. Aku gak boleh berhubungan dengan kamu lagi. Kalo sampai aku nolak, aku masuk penjara. Lagian, apa kata mama kamu toh bener! Aku memang gak pantes buat kamu.”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gani. Dahinya makin berdenyut.

“Kamu rela ninggalin aku untuk rumah dan uang? Kamu takut masuk penjara?” Arien menuntut dalam isaknya.

“Kamu mengharapkan sesuatu yang berlebihan, Rien!” bentak Gani. “Kamu tau ayahku udah meninggal. Siapa yang urus ibuku kalo aku dipenjara?” Urat-uratnya menegang dan tampak di lehernya. Dahinya makin berdenyut. “Kamu enak! Orang tua kamu tajir! Kamu gak usah mikirin duit, duitnya dateng sendiri! Kamu liat aku! Aku ini orang susah! Kalo gak kerja keras, gak dapet duit! Gimana mau makan? Kamu juga tau ibuku sakit-sakitan! Aku gak tega liat dia kelaperan! Kamu tau, aku bisa bawa dia berobat karena duit yang orang tua kamu kasih!” Napasnya tersengal-sengal.

Arien menangis sesungukan. Arien sungguh-sungguh menyesali ucapan dan tuntutannya. Ia begitu saja menghambur memeluk Gani. Gani mendekapnya erat. Di pelukan Gani, Arien makin deras menangis.

“Rien, aku gak pantes deket-deket kamu. Apalagi meluk kamu kayak gini. Aku gak tau diri,” ucap Gani lirih sekali.

Gani hendak melepas Arien dari pelukannya, tetapi Arien bertambah erat memeluk, sehingga tubuh Gani yang tadi terjatuh dari tangga terasa ngilu. Ia kembali memeluk Arien dan membelai rambutnya.

Muncul sebuah gagasan di kepala Gani. Gagasan itu ia rumuskan menjadi sebuah janji yang ia ingin Arien percayai dan pegang teguh. “Aku janji, aku akan kerja keras. Aku akan jadi orang sukses. Lalu-“

“Sssst...” Arien memotong.

Mereka berdua lama sekali tetap berpelukan seperti itu. Menikmati detak jantung lawannya.

Sementara, kakek Arien yang tetap setia menunggui toko tahu persis apa yang terjadi di belakang sana. Ia sempat menguping sebentar. Ia tersenyum-senyum. Mengingat bagaimana hal serupa terjadi atas dirinya dan istrinya. Ia tersipu-sipu. Dalam hati, ia berjanji akan membantu kuli itu.

*****


-harus berakhir di sini-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.