10/08/09

hilang II

Si Nando ini rupanya begitu tekun dan cekatan. Entah karena masalah ini menyangkut teman baiknya atau karena ia ingin menunjukkan dirinya di depan Cindy yang ia sangat sukai itu. Hanya beberapa menit setelah berpisah dengan Cindy dan Arien, ia langsung menghubungi satu per satu temannya yang nomornya tersimpan dalam telepon genggamnya.

Alhasil, dua hari kemudian, ia telah dengan bangga bekumpul kembali dengan Cindy dan Arien di kafe yang sama dengan sebelumnya. Ia membawa kabar baik.

“Ternyata, dia pindah ke Tangerang!”

“Tangerang?” pekik Cindy, “tau dari mana?”

“Dari temen gua yang tinggal di sana dong! Ternyata temen gua itu satu tongkrongan ama dia! Hah! Besok gua seret dia ke sini!”

Arien, yang sejak tadi hanya mendung, tetap mendung. Ia menyembunyikan informasi jelek yang ia miliki dan menunggu saja sesuatu terjadi atas perbuatan kedua temannya itu.

*

Keesokan harinya, tiada kabar dari Nando.

Arien gelisah. Ia berulang kali menelepon Nando tanpa mendapat jawaban. Ia juga meminta Cindy melakukan hal yang sama dan Cindy pun mendapat perlakuan yang sama.

Keesokan harinya lgai, Nando menelepon Arien pagi-pagi sekali.

Arien terbangun dari tidurnya, berusaha meraih telepon genggamnya yang terletak tepat di sebelah kepalanya. Di meja berlampu jingga.

“Halo?” suaranya masih serak.

“Rien?”

“Do, ada apa? Kenapa kemaren lo-“

“Rien,” Nando memotong kalimat Arien, “kabar buruk.”

Arien bangun terduduk di ranjangnya. Wajahnya berubah tegang.

“Apa?”

“Gani...”

“Kenapa, Do?” Arien gemas dan cemas.

“Dia... udah meninggal.”

Arien diam. Lalu tertawa.

“Kamu becanda, Do! Gak lucu! Keterlaluan!”

“Ini beneran, Rien!”

“Gak mungkin!”

“Rien, kemaren gue baru pergi ke Tangerang. Gue ketemu temen gue itu. Ternyata, temen gue itu juga udah lama gak ketemu si Gani, tapi dia kasih tunjuk rumahnya. Di rumahnya, gue ketemu nyokapnya. Pas gue tanyain, nyokapnya malah nangis-nangis-“

Klik. Arien memutuskan pembicaraan secara sepihak. Ia tidak sanggup mendengar lebih. Ia membenamkan wajahnya kepada bantal besar empuknya dan menangis di sana.

Tak lama, ia bangun terduduk lagi dengan sangat tiba-tiba. Ia teringat pembicaraannya di telepon dengan ibu Gani. Berjuta pertanyaan menyergap pikirannya, sehingga menjadi ngilu kepalanya. Benarkah itu ibu Gani? Mungkinkah Endah yang melakukan itu karena sesuatu? Mungkinkah Nando berbohong? Lalu, MENGAPA??

Ia bertekad untuk menyelesaikan semua teka-teki ini sebelum waktu liburannya habis dan ia harus kembali melanjutkan studinya.

Sementara itu, ayah dan ibunya mulai mengkhawatirkan keadaannya yang lesu tanpa semangat. Tentu ada masalah yang sedang ia sembunyikan dari mereka.

***

“Gani! Gila lo! Ngapain lo ngumpet di sini? Mantan lo yang tajir tuh kocar-kacir nyariin lo!”

Tampak kerut-kerut terbentuk di dahi Gani.

“Jadi, lo ke sini buat ngasih tau itu?” ketus Gani.

“Iya sih. Tapi gue pengen ketemu lo juga. Eh, jing! Kok lu pindah gak bilang-bilang gua sih? Lu gak anggep gue sohib lo lagi?”

“Gue sengaja. Sialan aja lu masih nyari-nyari gua.”

“Sengaja?” Nando kaget dan bingung. “Kenapa?”

Gani menghela napas panjang. “Kita harus ngomong serius. Ke dalem aja.”

Gani memberi isyarat dengan tangannya, lalu mereka berdua beranjak dari ruang tamu ke kamar tidur Gani.

Nando melihat rumah Gani yang baru ini keadaannya lebih baik dari yang sebelumnya. Juga sekarang Gani bisa tidur di kasur, bukan matras.

“Lo masih sekolah di sini?” Nando berbasa-basi penasaran.

“Ah! Duit dari mana?”

“Kerja?”

“Iya.”

“Kerja apa?”

“Apa aja. Gak pasti.”

“Gak jual diri ‘kan?”

Nando mendapat jawaban berupa timpukan bantal ke wajahnya. Lalu, mereka berdua tertawa lebar. Hanya sesaat sebelum berubah hening.

“Sebelum gua pindah ke sini, bo-nyok Arien nyamperin gue ke rumah lama gue,” Gani memulai.

“Gile! Mau apa mereka?”

“Ngusir gue, jelas!”

“Lo pindah ke sini karna mereka suruh?”

“Gua bukan cuman disuruh pindah! Gua dikasih ini rumah! Gua masih dikasih duit banyak! Pokoknya, gua harus pindah dan putus kontak sama si Arien. Kalo gak nurut, gua malah bakal difitnah biar masuk penjara! Gila!”

“Tapi Arien kan di luar negeri waktu itu? Kenapa...?”

“Justru itu! Mereka tau si Arien bakal nyari gua kalo udah pulang.”

Nando tidak dapat berkata-kata.

Tak lama, Nando terpikir sesuatu dan langsung menanyakannya, “nyokap lu mau dikasih rumah dan duit sama mereka?”

“Nyokap gua gak tau. Gua bilang aja gua menang undian. Kalo gak, bisa dikutuk jadi batu gua!”

Nando mengangguk-ngangguk mengerti.

Kemudian, Nando terkesiap lagi. “Terus gua mesti bilang apa sama si Arien? Gua udah janji mau bawa lu ke sana hari ini!”

“Ah, bego lo!”

“Yah, gue ‘kan gak tau!”

“Lo bilang aja…. Nggg… Apa kek…”

“Apa??”

“Ah! Bilang aja gua udah mati!”

“Iye, kecelakaan di jalan kek, ketabrak kereta kek, dimakan kucing kek…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.