14/07/09

kotak

Ia adalah yang pernah menjabati tempat tinggi di hatiku. Menjadi pujaanku. Sampai sekarang.

Saat itu, aku adalah seorang murid baru di sebuah SMU swasta. Sebelumnya, aku bersekolah di sebuah SMP negeri yang terpencil dan tak terdengar namanya. Yang terkadang juga menjadi olok-olok oleh SMP-SMP negeri lain. Bagi kebanyakan orang, mobilitas yang kulakukan sangatlah ekstrem. Berpindah dari sebuah SMP negeri antah berantah ke sebuah SMU favorit di ibukota. Padahal, tidak ada yang istimewa. Aku sama dengan murid-murid lainnya di sana. Aku sama-sama lulus tes masuk ke sana, melunasi uang pangkal dan iuran bulanan yang sama. Aku tidak istimewa, secara negatif maupun positif.

Meskipun aku berpikir dan merasa demikian, tidak dengan murid-murid di sana. Mereka begitu takjub ketika kusebutkan asal sekolahku. Apakah mungkin, sepanjang sejarah sekolah ini, belum ada murid dari sekolah negeri yang menjejakinya? Atau mereka menganggap produk, eh, murid sekolah negeri sangatlah bodoh, sehingga tidak mungkin masuk ke sekolah yang konon mempunyai mutu pengajar dan pelajaran yang sangat tinggi? Atau mereka menganggap murid sekolah negeri terlalu malas untuk dapat bertahan di sekolah ini? Entahlah.

Hari pertama masuk sekolah, aku datang ke sekolah sangat awal, sehingga aku tidak menemukan siapapun dalam kelasku. Tak berapa lama kemudian, seorang murid perempuan masuk. Aku tersenyum kepadanya. Ia membalas senyumku dan kami mulai berbasa-basi.

"Anak baru ya?" tanyanya.

"Ia. Namaku Peni. Namamu siapa?" sahutku.

"Aku Vita." jawabnya.

Kami berjabat tangan.

"Dari sekolah mana?" tanyanya lagi.

"Dari SMP XXX"

"Wah!" ia tampak takjub.

"Kenapa?" aku heran.

"Dari SMP negeri, kamu langsung masuk kelas tiga SMU di sini? Hebat!"

"Hah? Kelas tiga? Bukan. Aku masih kelas satu."

"Lho? Ini kelas tiga. Oh, kamu pasti salah masuk kelas!"

Aku malu sekali. Sekolah itu memang tampak terlalu besar bagiku. Aku selalu tersesat di dalamnya.

Setelah itu, ia mengantarku ke kelasku yang seharusnya. Aku sangat berterima kasih kepadanya.

Sampai di kelasku yang sebenarnya, aku telah melihat dua orang siswa lain yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Salah satu dari mereka sedang asik membaca novel, yang lain sedang menggali-gali lubang hidungnya dan mengumpulkan harta karun dari hidungnya ke atas meja. Aku masuk saja dan sembarang memilih tempat duduk. Tak lama kemudian, seorang siswi masuk dan langsung mengampiriku.

"Hai! Anak baru ya? Duduk sama aku aja yuk!"

Ia bahkan tidak memberiku kesempatan bicara untuk menyatakan setuju atau tidak. Ia langsung merengutku dari bangku yang kududuki. Akhirnya, aku duduk sebangku dengan anak itu. Anak itu sangat membosankan. Ia selalu membicarakan dirinya. Sebagai seorang murid baru, aku tidak mau membuat musuh. Maka, aku tidak mendengarkannya. Hanya memberi reaksi berupa anggukan yang dibumbui senyum, serta sesekali "oh ya?', "wah!", dan sebagainya.

Setelah murid-murid telah lengkap mengisi kelas dan bel masuk berbunyi, sang wali kelas pun datang. Seorang wanita paruh baya yang agak gemuk. Guru Bahasa Inggris. Ia meminta kami satu persatu memperkenalkan diri kami dalam Bahasa Inggris. Bahasa Inggrisku terlampau buruk. Murid-murid lain menertawakanku. Ketika mereka tahu bahwa aku berasal dari sekolah negeri, mereka menjadi maklum, takjub, dan meremehkan.

"Kamu gak ikut MOS yah?" tanya salah seorang siswa yang duduk tidak jauh dariku. MOS adalah Masa Orientasi Siswa. Sama halnya dengan OSPEK.

"Gak. Aku masih di luar kota." jawabku dengan jujur.

"Ih! Dari sekolah negeri di kampung, bisa masuk sekolah bagusan di Jakarta?" sinisnya.

Aku tersenyum saja. Nyatanya aku memang bisa.

Setelah seluruh murid memperkenalkan dirinya, wali kelas pun mulai merancang sebuah denah kelas, yaitu tata duduk siswa. Ternyata, siswi narsis yang tadi mengajakku duduk bersamanya mendapat tempat duduk tepat di belakangku. Tidak lebih baik dibanding sebangku denganku. Tetap saja bertetanggaan. Di sebelahnya duduk seorang siswa yang sangat mengagumkan.

Doremi, namanya. Doremi. Ia membuatku tidak dapat berkonsentrasi ketika belajar. Bagaimana mungkin aku dapat berkonsentrasi jika kepalaku selalu ingin memutar sedikit ke belakang agar bola mataku dapat mengintipnya sedikit dari sudut mataku? Si Hanoman cerewet itu sering mencongkel, eh, mencolek punggungku untuk memanggilku. Ia selalu ingin bercerewet menceritakan dirinya. Saat itu, aku malah bersyukur karena itu dapat menjadi kesempatan bagiku untuk melihat Doremi. Sesekali, aku mengajak Doremi berbincang singkat. Basa-basi yang menyenangkan.

Ketika kami telah lebih akrab, ia berkeluh kesah bahwa seseorang telah mengganggunya. Ia bercerita dengan sangat kesal bahwa barang-barang pribadinya sering menghilang. Pengganggu itu juga sering mengirimkan pesan pendek ke ponsel Doremi berisi kata-kata cinta. Kebanyakan puisi. Bodoh dan gombalnya aku. Untung dia tidak tahu.

***

Suatu hari, ketika usai berbelanja makanan pada jam istirahat, aku kembali ke kelas. Di kelas aku mendapati segerombolan murid mengerubungi mejaku. Aku pun bergabung dengan mereka. Doremi berada di tengah-tengah mereka sedang memegang dan membaca dengan serius salah satu buku catatanku. Padahal, buku catatan itu tidak berisi apa-apa. Masih perawan. Belum pernah kubuka dan kucatatkan satu pun ilmu di sana.

"Heh! Lagi pada ngapain sih?" teriakku sambil menyelip ke tengah-tengah mereka.

Sertamerta, Doremi menyerahkan buku catatan yang masih terbuka itu kepadaku. Aku menatap isinya, lalu kututup sebentar untuk memastikan milik siapa buku itu. Sampul buku itu persis dengan sampul bukuku dan di sana tertera namaku. Pastilah ini adalah milikku, tapi mengapa ia berisi? Kukira ia masih perawan! Kubuka lagi buku itu untuk kulihat isinya. Aku pucat seketika. Di sana terpampang nama Doremi dalam bentuk grafiti warna-warni dengan segala hiasannya seluas satu halaman penuh! Full colour!

Mereka semua menatapku, meminta jawaban. Aku tak dapat memberikan jawaban. Aku pun butuh jawaban!

"Siapa yang bikin ginian di buku gue?"

Tidak ada yang menanggapi. Malah tiba-tiba terdengar teriakan pengumuman.

"Peni naksir Doremi!"

Wajahku memerah. Aku hendak menyangkal, tapi kata sangkalan itu tidak keluar.

"Jadi, kamu," sebuah suara yang tenang, tapi menusuk. Doremi pun pergi dari gerombolan itu. Aku buru-buru menyusulnya. Aku tidak peduli lagi dengan keramaian di belakangku. Namun, Doremi tidak mau berbicara denganku.

Sore harinya, aku bertamu ke rumahnya. Aku diterima dengan baik oleh nyonya rumah, tetapi tidak oleh Doremi. Wajahnya sangat ketus. Jadi, sebuah kotak besar yang kubawakan untuknya harus kutitipkan kepada ibunya.

Belakangan, aku tahu bahwa Hanomanlah yang telah membuat kaligrafi di buku catatanku. Katanya, ia telah sangat lama memendam hasrat untuk membuat tulisan indah itu karena ia jatuh cinta kepada Doremi tanpa pernah mengungkapkannya. Namun, ia belum menemukan tempat yang tepat. Jika ia membuat dan menyimpannya di rumah, ia takut ibunya akan menemukannya. Jika ia buat di buku sekolahnya, ia takut salah satu murid akan menemukannya. Sementara, jika ia membuatnya di tempat umum, ia takut seseorang memergokinya. Jadilah ia membawa bukuku ke WC untuk memerawaninya. Bakatnya membuatku susah.

Apa? Kotak besar itu? Apakah aku belum memberitahumu? Baiklah. Kotak itu berisi semua benda yang telah kuambil darinya, setumpuk surat cinta, berlembar-lembar puisi dan syair cinta, dan lukisan-lukisan dirinya yang kubuat di atas kanvas mini dengan cat air dan jari-jariku.

Di kemudian hari, ia menghampiriku. Hatiku telah melonjak karena kukira ia telah memaafkanku.

"Mana barang gue yang lain?" begitu bentaknya. Ternyata aku belum dimaafkan.

"Yang mana lagi? Semua udah gue balikin!"

"Masih kurang!"

"Elu kali yang ilangin sendiri!"

"Enak aja! Barang-barang gue tuh baru pernah ilang sejak ada elu!"

Aku melotot kesal mendengarnya.

"Apa? Sewot? Dasar klepto! Tukang nyolong!"

"Heh, enak aja! Barang lu udah gue balikin semua!"

Di tengah perdebatan kami, muncul Hanoman yang membuat kami hening seketika. Ia datang membawa sebuah kotak besar. Kotak besar itu ia serahkan kepada Doremi. Hanoman pun langsung pergi meninggalkan kami berdua. Doremi pun membuka kotak itu.

Kami sama-sama menengok isi kotak itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.