07/04/10

botol kaca

Tuyul dalam botol itu mengetuk-ngetuk dan berteriak-teriak. Ia tidak tahu apa salahnya. Menurut pacarnya, membiarkan jiwanya tertangkap dukun adalah kesalahan terbesar mereka. Mereka tidak lahir. Mereka dikandung, lalu dibuang sebelum lahir. Lalu, ketika jiwa mereka tengah dalam perjalanan ke tempat yang lebih baik dari dunia ini, mereka tertangkap. Kini mereka menjadi sesuatu yang dipergunakan manusia-manusia bejat, diburu manusia-manusia munafik, dan dicaci-maki manusia-manusia beragama. Kali ini, si tuyul sedang sial, bertemu dengan manusia munafik.

Kepalanya dibalut sorban, janggutnya menjuntai-juntai, jubahnya putih panjang, bahasanya bukan Indonesia. Entah apa yang ia komat-kamitkan, si tuyul yakin, manusia itu pun tak mengerti. Manusia itu bersama manusia-manusia lain, yang tampak lebih normal, tetapi membawa peralatan-peralatan yang asing bagi si tuyul. Manusia-manusia itu berdiri di sekitar manusia berjanggut panjang yang sedang berusaha mengurung si tuyul ke dalam botol.

“Cut!” kata salah seorang manusia di antara mereka, “raut wajah kamu kurang dramatisir!”

Si tuyul yang belajar bahasa Indonesia di sekolah bertanya-tanya, bukankah “dramatisir” tidak baku?

“Aduh, mau gimana lagi? Ini saya udah ngeden-ngeden!” kata si janggut.

“Ngeden lebih kuat lagi!” bentak manusia tadi. “Ulang!” teriaknya.

Si tuyul pun dilepas lagi. Belum jauh ia lari, ia ditarik lagi oleh si janggut. Kembali ia meronta-ronta, menjerit-jerit, berusaha lari, percuma. Ia tertangkap, dijejalkan lagi ke dalam botol kaca, dikurung lagi. Pacarnya sedih melihatnya disiksa begitu, tetapi tidak berani keluar dari persembunyiannya.

Lama-kelamaan, pacarnya tidak tahan juga. Ia keluar sedikit, mengintip, tetapi langsung masuk lagi karena terlalu takut.

Terlambat. “Itu! Di sana! Ada satu lagi!” teriak salah satu manusia yang sempat melihat penampakan pacarnya. Pacarnya pun turut ditarik-tarik, ditangkap, dijejalkan, dan dikurung di dalam botol yang sama dengannya.

Mereka berdua dibawa ke kediaman sang pria berjanggut.



Keesokan harinya, ketika pagi menyapa dan sinar matahari menerangi seisi ruangan tempat mereka berada, sadarlah mereka bahwa mereka berada di ruangan berisi rak-rak besar. Dalam rak-rak besar itu, tertata rapi botol-botol kaca. Dari minuman soda, teh, maupun sirup. Botol-botol yang tampak kosong oleh mata awam, di mana tuyul-tuyul terkurung.

Siang hari, pintu berdecit pelan, terbuka perlahan. Pak Janggut masuk bersama seorang manusia lain. Pria, kulit hitam, tulang-tulangnya tampak kokoh, otot-otot liatnya tampak keras berurat tebal menempeli tulang-tulangnya, wajahnya sungguh bukan ningrat. Tentu saja, anggota masyarat jelata yang bosan melarat, tetapi tidak mempunyai kualitas untuk meningkatkan taraf hidup (atau tidak tahu caranya).

Mereka tampak berbisik-bisik. Tak lama kemudian, si manusia pekerja itu menyelipkan beberapa lembaran ke tangan si janggut. Tuyul manapun pasti tahu, lembaran-lembaran itu adalah uang, duit, fulus, apapun namanya. Manusia pekerja itu berjalan mengelilingi ruangan. Mengamati botol-botol kaca, satu per satu. Lalu, ia berhenti saat matanya tertuju kepada botol yang ditempati si tuyul dan pacarnya. Ia meraih botol mereka pelan-pelan dengan satu tangannya, lalu membelai permukaan botol itu dengan tangannya yang lain. Kemudian ia dekatkan dan tempelkan botol itu ke dadanya, lalu ke wajahnya.




Si laki-laki pekerja meletakkan botol yang baru saja ia dapat dari rumah si janggut. Setelah usahanya berpuasa untuk menabung, akhirnya ia mengumpulkan cukup uang untuk membeli tuyul. Botol tersebut tampak kosong. Ia mengeluarkan sebungkus ramuan pemberian si janggut. Ia buka bungkusan tersebut, isinya adalah jumputan daun yang telah ditumbuk. Ia telan dan ia ucap mantra yang telah diajarkan si janggut. Seketika, sepasang tuyul pun menjadi kasat mata baginya. Ia tersenyum puas.

Istrinya tiba-tiba membuka pintu kamarnya dengan kasar. Begitu masuk, ia langsung berteriak-teriak “ngapain kamu di sini? Gak narik? Udah miskin, males kerja! Kapan kita bisa kaya?”

Melihat reaksi suaminya yang tidak biasa, ia pun kembali berteriak-teriak “kenapa kamu senyum-senyum? Bego kamu?”

“Mulai besok, kita ndak akan miskin lagi,” ucapnya pelan.

“Apa kamu bilang?” istrinya tetap berteriak.

“Mulai besok, kita akan kaya.”

“Gimana bisa kita kaya kalo kamu cuman duduk-duduk begitu kerjaannya??”

Manusia pekerja itu hanya tersenyum.

“Ngapain kamu pegang-pegang botol sirup begitu?” bentak istrinya.

“Kamu ingat pertama kali kita ketemu?”

“Hah? Ngomong apa sih kamu?”

Si manusia pekerja ini pun bercerita panjang lebar, mengingatkan istrinya akan kisah cinta mereka. Bertahun-tahun lalu, jalanan tanah menjadi becek dan berlumpur karena hujan deras. Istrinya berlari-lari ke warung terdekat dari rumahnya, membeli sebotol sirup untuk tamu yang sedang dijamu keluarganya. Keluarga Pak Lurah yang datang melamarnya. Dalam perjalanannya pulang, ia tertabrak sepeda. Sebotol sirup di tangannya terbanting ke tanah dan pecah. Segera ia memarahi laki-laki yang menabraknya. Namun, begitu mereka berada di jarak yang cukup dekat untuk saling memandang, mereka pun diam, saling menatap, reda pula amarah perempuan itu. Hari itu juga, ia menolak anak Pak Lurah, yang gendut dan manja, untuk menjadi suaminya.

Awalnya, si istri tersenyum-senyum mengingat kenangan manis mereka, tetapi seketika kemudian, ia pun menjadi ketus “Sialan! Kalo waktu itu aku ndak ketemu kamu, aku udah jadi istri Si Gendut itu! Lihat istrinya sekarang! Gendut, jelek, tapi baju dan perhiasannya bagus-bagus! Ndak pantas tho kalo dia yang pake! Lebih cocok buat aku!”

Si pekerja tersenyum. Besok-besok, kamu udah bisa beli baju dan perhiasan yang cantik-cantik, batinnya.




Malam itu, sepasangan tuyul ditugaskan untuk mencuri uang dari rumah Pak Lurah. Mereka berlari dan berlompatan menuju rumah Pak Lurah, merasakan kebebasan kehidupan di luar botol kaca. Sampai di rumah Pak Lurah, mereka bahkan tak perlu memanjat dinding. Mereka menembus.

“Hei, ini rumah si gendut!”

“Iya! Ssst! Jangan berisik!”

Tanpa mereka sadari, si gendut yang mereka bicarakan telah berdiri di belakang mereka, bersama dengan istrinya.

“Heh! Ngapain kalian di sini? Ke mana aja kalian?” bentaknya. Tanpa menunggu jawaban, ia pun melanjutkan, “saya udah punya tuyul baru! Saya gak butuh kalian lagi!”

Kedua tuyul itu hanya cekikian.

“Apa? Kenapa kalian ketawa?”

“Anu, kami disuruh orang lain.” aku salah satu dari mereka, sebelum mereka cekikian lagi.

Si gendut saling tatap dengan istrinya. “Siapa?!” si gendut murka.

“Anu, ...” salah satu dari mereka menunjuk ke luar jendela.

“Siapa??” si gendut semakin penasaran. Ia mendekatkan wajahnya ke arah jendela dan menatap jauh ke luar.

“Itu,” si tuyul menunjuk lagi, “yang atapnya seng.”

Si gendut semakin murka, “kan banyak yang atapnya seng! Ah!”

“Hihihihi... Itu, yang ada kucingnya.” Hanya ada satu atap rumah yang saat itu diduduki seekor kucing. Seekor kucing hitam kurus, kucing liar.

Si gendut mendengus jijik, juga puas.

“Ya sudah! Kalian sana! Ambil uang saya dan perhiasan istri saya!”

Si tuyul dan pacarnya bingung, tetapi tetap menjalankan tugasnya.

“Kita panggil polisi sekarang?” tanya istri si gendut yang juga gendut.

“Ah, besok pagi saja,” jawab si gendut.

1 komentar:

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.