29/06/10

tetang orang tua Inda

Inda:
Pagi tadi, aku punya sandwich di tangan kananku dan kopi di tangan kiriku. Mereka semua jatuh ke lantai. Terpaksa kubersihkan. Akibatnya, aku terlambat ke sekolah dan sekarang aku lapar. Dengan perut ribut, aku menghampiri kelasku. Kuketuk pintunya.

“Masuk,” kata Bu Guru.

Aku masuk.

“Kenapa kamu telat lagi?”

“Ummm... “ Aku berusaha menceritakan kisahku dengan singkat dan padat.

“Ya sudah, sana duduk,” ia memotong. Aku tidak jadi bercerita.

Begitu aku mencapai tempat dudukku, seorang siswa di belakangku menyeletuk, “huh, mentang-mentang kaya, telat terus ke sekolah!”

Aku acuh karena tidak mengerti relevansi antara kaya dan terlambat ke sekolah. Tak lama, sebuah benda keras menghantam kepalaku. Ternyata penggaris. Aku menoleh ke belakang. Kepalaku berdenyut sakit.

“Denger gak aku ngomong?” Teman sekelasku tidak senang kuacuhkan.

Aku segera menoleh ke depan, memproses air mata di mataku, lalu berteriak “Buuuuu! Adi mukul aku pake penggaris!”

“Eh, nggak kok! Nggak! Kamu bo’ong!” Adi mengelak. Aku terisak.

Bu Guru membentak, “kalian berdua ya! Kenapa selalu ribut?”

Tangisku kubuat semakin kuat “aaaaaaaaa! Adi duluan, Buuuuu!”

“Adi, kenapa kamu mukul Inda?”

“Dia kan telat, Bu...”

“Kalau Inda telat, Ibu yang hukum, bukan kamu!”

“Tapi Ibu gak hukum dia! Ibu suruh duduk!”

“Karena Ibu mau mengajar. Hukumannya nanti, waktu istirahat. Kamu juga gak boleh mukul temen kamu begitu! Minta maaf!”

“Gak mau!”

“Kamu mau Ibu hukum juga?”

“Gak mau!”

“Minta maaf!”

“Nggak!”

Jam istirahat, teman-teman berkejar-kejaran di lapangan, makan di kantin atau di kelas, aku dan Adi berdiri dengan satu kaki memijak lantai, satu kaki diangkat setinggi lutut, dan dua tangan di telinga, di depan ruang guru, ditertawakan anak-anak yang berlalu-lalang.

“Gara-gara kamu nih, aku jadi dihukum!” bentak Adi.

“Aku gak nyuruh kamu mukul aku pake penggaris.”

“Aku tadi ngomong sama kamu, tapi kamu cuekin!”

“Abis omongan kamu gak penting!”

“Sialan!”

Kami pun saling pukul sampai seorang guru datang melerai. Kami pun naik banding ke ruang kepala sekolah. Kedua orang tua kami dipanggil. Seperti biasa, orang tuaku tidak pernah menggubris panggilan sekolah. Tanteku, seperti biasa, memenuhi panggilan kepala sekolah.


Bahkan ketika aku diwisuda dari perguruan tinggi. Bahkan ketika anak mereka memperoleh nilai tertinggi di angkatannya. Seperti biasa, hanya Tante yang datang.

“Jeng Diah, Inda,” Ibu Adi datang menghampiri kami dengan senyumnya yang selalu tulus dan hangat, “ayo foto bareng kita.”

“Tante! Ayo!”

Aku dan tanteku bergabung dengan Adi sekeluarga.

Adi, seperti biasa, kuliah dengan beasiswa. Sejak SD, selalu beasiswa. Orang tuanya tidak sanggup membiayainya. Ia anak tunggal yang sangat berbakat dan pintar, dari keluarga yang tidak berada. Orang tuanya tentu menaruh harapan yang sangat besar padanya.

“Lu kenapa ngeliatin gue kayak gitu?”

“Lagi mikir aja,” kataku, “gue punya orang tua yang bisa bayarin sekolah, tapi males.Elu...”

“Hahaha... Tapi 4 tahun ini lu rajin banget banget banget!”

“Iya, karena gue mau nunjukin ke bokap nyokap gue kalo gue bisa... Emmm... Gitu deh. Ternyata...”

“Jangan sedih, Da. Gue yakin, nyokap lu sebenernya bangga sama lu.”

“Hah... Dateng aja nggak.”

Ia terdiam. Merenung.

“Udah lah! Starbucks! Ngidam green tea!” seruku.

Kenakalan dan nilai rendah tidak sanggup menarik perhatian mereka. Nilai tinggi dan prestasi pun tidak.

“Da,” panggil Adi ketika aku sedang menyeruput teh hijau dinginku, “kayaknya gue bakal langsung ngelanjutin S2 deh.”

Aku hampir tersendak.

“Gak salah? Gak mau cari kerja dulu? Istirahat dulu?”

“Hehehe. Nggak, Da. Gue udah dapet beasiswa, tapi di Jogja. Bulan depan gue udah harus berangkat.”

Aku benar-benar tersendak. Aku terbatuk-batuk dan ia menepuk-nepuk pundakku.

“Trus lo bakal ninggalin gue sendirian di sini?”

“Yah lo gak bakal sendirian lah, Da. Temen lo yang lain kan masih banyak.”

“Beda. Mereka tuh cuma deket-deket gue karena gue sering traktir mereka belanja, nonton, makan...”

“You’ll be fine, Da.”

Aku menghela napas.

“Sebelum lo pergi, lo harus nginep dulu di rumah gue yah!”

“Oke.”



Adi:
Ini bukan pertama kalinya aku menginap di rumah dia. Sejak kami mulai akrab saat kami menginjak jenjang SMP, aku telah berkali-kali menginap di rumah Inda. Rumah mewah, besar, dengan kamar tamu seluas seluruh rumahku.

Tantenya adalah wanita yang sangat baik. Sangat ramah. Bertahun-tahun, aku bersekongkol dengannya, menutupi kenyataan dan berbohong kepada Inda, tentang kedua orang tuanya. Bertahun-tahun lalu, kedua orang tuanya sedang dalam perjalanan pulang dari pesta pernikahan salah satu sepupu Inda. Ketika mereka melewati sebuah jalan yang sepi dan gelap, mereka dirampok, dan dibunuh. Hal itu terjadi saat aku dan Inda masih duduk di bangku SD, seminggu sebelum Inda pindah ke sekolahku.

Tante Inda menangis di depanku. “Kalo kamu pergi, siapa yang bakal jagain Inda? Gimana kalo ada temennya yang jahat, ngomong macem-macem sama dia?”

“She’ll be fine, Tante.”

Aku tidak akan membiarkannya hidup dalam kebohongan selamanya. Sebelum aku pergi, ia harus tahu kebenaran ini dan ia harus menerimanya.

3 komentar:

  1. sadis banget, ta.. :(

    BalasHapus
  2. Sambungannya dunk... jadi penasaran... ntar inda pacaran ama adi ya?

    BalasHapus
  3. hahaha. tujuan saya membuat cerita yg akhirnya gantung adalah untuk membiarkan pembaca menentukan akhirannya sendiri.

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.