29/12/08

tinggal dalam VI

Ngaduman, 13 November 2008.

Akhirnya, kesempatan meladang tersedia untuk saya. Pagi-pagi, saya, Melisa, dan Ayah pergi meladang bersama. Mendaki gunung samapi kaki gemetaran. Terpeleset berkali-kali, untung tidak sampai jatuh. Ayah sampai memberikan saya sebilah kayu panjang berdiameter segenggaman tangan untuk dijadikan tongkat.

Kami bertiga berjalan beriringan sampai di kebun wortel milik Ayah nun jauh di atas desa. Di sana, saya dan Melisa membantu Ayah mencabuti wortel-wortel yang sudah matang. Ciri-cirinya adalah batangnya besar dan daunnya merunduk. Sayanganya, berkali-kali kami mencabut wortel yang belum cukup besar karena kami kurang pandai menganalisa daun dan batang wortel.

Setelah dari kebun wortel, kami turun agak jauh, lalu bertemu kebun kentang yang telah menunggu dipanen. Kami menggali-gali kentang yang pohonnya telah layu. Rupanya, di bawah pohon-pohon itu, tempat kentang-kentang bersemayam, ada semacam ulat kentang yang mengganggu. Namanya uret. Si hama uret ini memakani kentang. Uret ini sangat lemah. Sangat mudah mati. Ia mati jika kepanasan dan jika dibanting ke tanah. Bentuknya bulat panjang, setebal telunjuk pria dewasa pada umumnya sepanjang ibu jari pria dewasa pada umumnya, dan lembek.

Dengan hasil sekeranjang wortel dan sekarung kentang, kami pun pulang. Jalan turun pun ternyata melelahkan. Sangat mudah terpeleset. Apalagi, dengan kondisi kaki saya yang gemetaran.

Sampai di rumah, beberapa buah kentang langsung menjelma sepiring keripik kentang asin.

*

Di tengah hari, karena masalah rutin kewanitaan, saya membutuhkan tisu demi menjaga kebersihan diri. Sayangnya, tisu yang saya bawa telah habis. Maka, saya memutuskan untuk berjalan ke sebuah warung di ujung jalan. Hanya berselang beberapa rumah dari rumah saya.

Pemilik warung tersebut adalah Ibu Ningsih. Rupanya, di rumah Ibu Ningsih tidak tersedia tisu. Namun, masih ada harapan karena beberapa saat kemudian suaminya akan berangkat ke kota untuk mengambil persediaan barang. Karenanya, setelah membeli beberapa jenis barang saya kembali lagi di sore hari.

Sore hari, saya kembali ke warung Bu Ningsih.

Tok tok tok. Tok tok tok. Tok tok tok.

Beberapa ronde, saya lancarkan ketukan kepada pintu. Terdengar suara Bu Ningsih menyahut dari dalam. Tak lama, ia telah membukakan pintu dan mempersilahkan saya masuk. Namun, sayang sekali, tisu yang saya butuhkan itu belum juga ada. Suaminya lupa mengambil stok tisu di kota. Saya panik.

“Duh, gimana dong? Aku butuh nih!”

Beberapa kali saya mengeluh, membuatnya turut bingung.

Dua kali ia masuk kembali ke dalam rumah, mencari tisu, lalu keluar dengan hasil kosong.

Di kali berikutnya, ia kembali dengan separuh bungkus tisu di tangannya. Ia memberikan tisu itu kepada saya secara cuma-cuma. Ia menolak bayaran dari saya. Dengan rasa sungkan dan rasa bersalah, saya menerima tisu tersebut.

Saya berterima kasih sejadi-jadinya, lalu pamit seramah-ramahnya.

Di tengah jalan pulang, saya mendengar suara Bu Ningsih memanggil-manggil saya dari belakang. Saya berhenti, berbalik badan, dan menemukan Bu Ningsih sedang berlari ke arah saya. Di tangannya, segulung tisu. Segulung tisu yang tidak baru itu pun ia paksakan menjadi milik saya secara cuma-cuma. Rupanya, saya tak kuasa menolaknya.

Pesan moral: Berikanlah kepada mereka yang lebih membutuhkan.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.