29/12/08

koma putih polos

Wah, sudah lama tidak meng-update blog! Jadi bau busuk blog basi ini!

Sebelum mengepos cerita-cerita baru, saya akan terlebih dahulu mengungkit-ungkit cerita basi yang belum sempat termuat di sini.

Salah satunya terjadi pasca ujian sekolah. Saat itu, saya sedang dikejar-kejar deadline majalah gereja. Majalah komisi remaja yang diberi julukan KOMA (singkatan dari Komisi Remaja) dengan subtitle Media Komunikasi Remaja AGAPE.

Saat itu, saya tengah dilanda kepanikan karena setelah tiga minggu merenungkan cover untuk tema “Buah Roh” dan “Keselamatan” (tema bulan November dan Desember), saya belum juga menemukan suatu gambaran atas dua tema abstrak tersebut.

Akhirnya, cover-nya hanya putih. Namun, putih itu mewakili dua tema di atas. Berikut penjelasan yang juga saya muat dalam KOMA sebagai cover story.

Dear KOMAners,

Gue tau, cover KOMA kali ini agak abnormal. Makanya, gue merasa perlu membela diri kalo dituduh “males bikin cover”.

Sebenarnya, ngerjain cover tuh penuh perjuangan, eh, pergumulan banget. Salah-salah, bisa dituduh sesat, trus dirajam massa.

Nah, untuk cover edisi ini, pergumulannya paling berat. Liat aja temanya: Buah Roh dan Keselamatan! Gak mungkin kan gambar buah-buahan? Trus, gambarnya keselamatan tuh kayak gimana? Ilustrasinya pun gak kepikiran kayak apa!

Akhirnya, setelah perjalanan putar-putar di labirin otak, gue memutuskan untuk bikin cover putih doank. Ingat, bukan karna males!

Putih tuh lambang dari kesucian. Untuk diselamatkan, Yesus telah berkorban menebus dosa kita biar kita putih bersih lagi. Dengan begitu, kita dilayakkan menghuni sorga.

Tapi, dari generasi ke generasi, edisi ke edisi, cover KOMA kan selalu pake maskot DOMBA?! Tenang saja... Cover yang ini juga pake domba. Cuman, di-zoom terlalu deket. Jadi keliatan bulunya doank: putih.

Jadi, begitu ceritanya, KOMAners...

Mohon maaf lahir dan batin yah kalo mengecewakan.

Dengan pembelaan konyol semacam itu, saya merasa cover putih polos telah sah dan baik adanya.

Kendala kembali terjadi saat proses percetakan. Waktu menunjukkan jam lima sore ketika saya telah sampai di tempat penyedia jasa fotokopi yang merangkap tempat percetakan. Saat itu hujan, sehingga saya harus naik mobil untuk sampai ke sana. Di dalam mobil, turut serta oma dan pembantu saya yang bertujuan lain.

Setelah menyerahkan tugas percetakan kepada salah satu staf di sana, saya pun berangkat menuju tempat tujuan oma dan pembantu saya. Sebuah mal di mana di dalamnya ada sebuah tempat yang menyediakan fasilitas dan jasa terapi listrik. Hal tersebut diperlukan oleh oma saya yang sakit rematik di kakinya.

Sambil belanja, saya menunggu oma saya. Setelah belanja, jam menunjukkan pukul enam petang hari. Saya teringat hasil percetakan yang harus saya ambil. Maka, saya tanyakan kepada pembantu saya yang saat itu saya kira lebih tahu, “pho-pho (bahasa Cina: oma dari pihak ibu) masih lama gak?”. “Bentar lagi,” jawabnya. Maka, saya memutuskan untuk menunggu sambil baca buku.

Tak terasa, satu bab sudah terbaca sambil menunggu. Saya melirik jam dan terkejut. Pukul tujuh malam! Sementara tempat fotokopi dan percetakan itu tutup enam tiga puluh!

Setelah segala kepanikan dan proses rumit, saya sampai di tempat fotokopian itu. Memang sudah tutup. Saya meminta sopir saya untuk mengantar pulang dahulu oma dan pembantu saya pulang, kemudian ia harus kembali lagi ke sana untuk menjemput saya.

Saya putus asa, duduk tercenung di teras tempat itu. Tak lama, beberapa perempuan Jawa (saya tahu karena mereka berdialog dalam bahasa Jawa) lewat membawa makanan dan masuk ke tempat itu melalui pintu lain. Sejenak, salah satu dari mereka melirik ke saya. Saya ingat wajahnya, tetapi tidak ingat kapan dan di mana ketemu (ia adalah staf yang saya serahi tugas mencetak KOMA). Maka, saya mengalihkan pandangan saya ke tempat lain. Pengalihan pandangan saya itu rupanya berarti sesuatu bagi perempuan itu. Ia langsung berguman, “kirain mau ngambil majalah.”

Gumamannya tentu membuat duduk saya tertegak dan saya menoleh cepat kepadanya dan berkata “emang”. Matanya membulat besar dan mulutnya menganga. Tak lama, ia merespon, “tak kira gak dateng! ‘Kan tadi adek bilang mau diambil jam setengah tujuh!”. Saya tersenyum lebar, menemukan harapan.

Dengan cepat, ia menjelaskan bahwa toko (maksudnya tempat fotokopi dan mencetak itu) telah dikunci, sehingga kami tidak dapat mengakses ke dalam. Dengan repot-repot, ia dan seorang temannya mengantarkan saya ke rumah pemilik toko yang tidak jauh dari toko tersebut.

Sayangnya, sang pemilik toko telah beranjak untuk berakhir pekan. Meskipun demikian, staf toko memberikan kepada saya nomor telepon genggam pemilik toko tersebut untuk saya hubungi. Setelah saya hubungi, kami sepakat bahwa esok paginya, ia akan mengambilkan majalah-majalah KOMA untuk saya ambil. Dengan demikian, selesai sudah masalah ini.

Masalah lain datang ketika KOMA terbit. Para pembaca memprotes keadaan cover yang putih polos. Namun, mereka bisa menerima setelah membaca cover story.

Namun, malam harinya, saya mendapat pesan singkat dari pemimpin redaksi bahwa redaktur pendahulu menyatakan bahwa cover KOMA tidak diperbolehkan tanpa gambar. Diikuti dengan saran bahwa apabila saya tidak mendapat ide, saya boleh mendiskusikannya dengan para redaktur lain. Dengan perasaan tersinggung karena merasa diremehkan begitu, saya meminta nomor telepon genggam si pendahulu.

Setelah saya hubungi, rupanya ia tidak menyatakan pelecehan semacam yang di atas itu. Ia menyatakan bahwa cover kontroversial tersebut menimbulkan masalah karena tidak semua redaktur tahu maksud dari cover tersebut, sehingga ketika jemaat lain menanyakannya, mereka hanya bisa bertidak tahu dan hal tersebut dari berbagai sudut dipandang tidak baik adanya.

Lihatlah betapa jauh informasi bisa berubah jika telah melewati terlalu banyak perantara.

Ah, demikian saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.