29/12/08

tinggal dalam V

Ngaduman, 12 November 2008.

Hari ini, saya mendapatkan giliran mengajar di SDN 01 Kamel bersama teman-teman sukarelawan lain. Saya dan seorang teman saya, Kevin, kebagian mengajar kelas 4 SD. Kami semua mengajar bahasa Inggris. Karena mengajar, saya kehilangan kesempatan satu kali meladang bersama Ayah dan Ibu. Namun, mengajar juga merupakan sebuah kesempatan yang tidak mungkin saya lewatkan.

Bagaimana tidak? Anak-anak sungguh antusias. Rupanya, banyak juga kosakata yang telah mereka kuasai sebelum kami mengajarkannya, Semangat belajar mereka luar biasa. Dua jam penuh untuk satu mata pelajaran dan mereka antusias secara statis sampai akhir. Mereka pun tidak nakal, tidak menyeletuk tidak pantas, dan mereka mendengarkan kami dengan sungguh-sungguh.

Sayangnya, jumlah mereka sangat minim. Hanya 6-10 anak dalam satu kelas. Di kelas 4 SD, dari 10 anak hanya ada 1 perempuan. Padahal, sekolah tersebut dibuka bagi tiga desa.

Selain itu, saya juga menyesali diri saya yang belum cukup menguasai bahasa Inggris. Rupanya, Kevin pun sama-sama minim kosakata. Maka, ketika anak-anak menanyakan bahasa Inggris dari ubi jalar, kami belum bisa menjawab “sweet potato”. Juga banyak kosakata lain yang sampai sekarang masih belum saya ketahui.

Pesan moral: Pelajarilah materi baik-baik sebelum mengajarkannya kepada orang lain.

*

Di sore hari, ketika bosan menganggur di kamar yang kurang penerangan untuk membaca buku, saya beranjak ke dapur bersama Melisa. Di sana, kami dapati Ibu sedang mengupas bawang. Tanpa basa-basi, saya langsung meraih sebutir bawang merah dan mengupasnya. Tak lama, Ibu memberikan sebilah pisau bagi saya untuk menjadi alat bantu.

Setelahnya, kami bersama-sama merenungi kompor batu berkayu bakar yang tengah menyala garang. Di atasnya, kuali ceper kecil memuat sup ayam yang kuning karena berbumbu kunyit.

Tak lama, Melisa bangkit dan berjalan ke arah pintu belakang yang memang berada di dapur. Pintu tersebut terdiri dari dua bagian, atas dan bawah, masing-masing separuh. Saat itu, bagian ataslah yang terbuka.

Rupanya, di antara kami bertiga, hanya Melisa yang menyadari rerintik hujan halus di luar. Mungkin karena saya dan Ibu lebih terfokus pada gemerutuk kayu bakar. Kami berdua bangkit menyusul Melisa. Kami melihat pemandangan tertutup kabut, tetapi masih samar-samar terlihat.

“Itu di sana rumah kentang,” kata Ibu sambil menunjuk sebuah bangunan kayu-anyaman kecil. Ia bercerita bahwa akhir tahun lalu, saat musim hujan, pernah ada bagai yang merobohkan rumah itu, sehingga rumah itu harus dibangun lagi dari awal. Ia membalut cerita susah itu dalam tawa. Saya bahkan tak sanggup untuk sekedar tertawa palsu untuk membalas tawanya. Saya hanya sanggup bergelengan kepala sambil berdecak-decak sambil menahan miris dalam hati.

*

Malam hari, ketika sedang tidur-tiduran di kamar, saya meraba-raba perut saya. Saya terkejut. Perut saya membesar. Perkiraan saya, lingkar perut saya bertambah 3-4 cm. Setelah merenung-renung, saya menyadari betapa saya makan terlalu banyak dan menganggur terlalu sering. Pasti karena Ibu pandai memasak dan rajin bekerja. Tidak ada pekerjaan yang tersisa bagi saya. Yang ada hanya makanan enak berlimpah. Saya kemudian mengingat-ingat apa saja yang telah saya makan hari ini.

Pagi: nasi goreng, telor ceplok, tempe goreng, kerupuk. Pagi menjelang siang: perkedel, ubi manis super enak digoreng nikmat. Siang: sekotak besar nasi, sayur, perkedel, ayam goreng, sambal tomat, kerupuk (piknik). Sore menjelang malam: semangkuk besar kolak labu besar (yang membuat saya dan Melisa tidak sanggup memuat makan malam). Sampai menjelang tidur pun, pencernaan saya belum selesai memproses makanan-makanan tersebut. Akibatnya, pencernaan saya harus kerja lembur.

*

Pesan moral: Makanlah sebelum lapar, berhentilah sebelum kenyang (kutipan). (Tambahan) Akan tetapi, jangan tolak makanan dari orang desa.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.