Jam 9 malam di Sydney. Langit berduka. Wajahnya gelap, ia deras
menghujani bumi. Sesekali melempar kilat petir dan menggetarkan dunia dengan
raungan guntur. Dari jendela kamar apartemen, aku menatap keluar, ke jalanan,
mengikut alur mobil-mobil dan langkah-langkah manusia di bawah sana.
Memoriku menarik diri kembali ke masa lalu. 3 tahun lalu, di
Indonesia. Langit juga sedang berduka. Parau suaranya ketika hujan deras
menghujam jalanan, selokan, dan genting. Guntur tak henti-henti berderu. Aku
ketakutan. Aku terisak-isak. Air mata membasahi wajah dan bantalku. Kukumpulkan
sedikit keberanian untuk beranjak turun dari kasurku. Berlari kecil, aku keluar
dari kamarku. Kubuka pintu kamar adikku pelan-pelan dan aku masuk. Jam 12
malam, ia sudah tertidur pulas. Aku menyelinap masuk ke dalam selimutnya dan ia
terbangun.
“Kenapa, Ci?” tanyanya dengan wajah khawatir.
“Takut”, satu-satunya kata yang mampu terucap, meskipun
terputus-putus di antara selipan isak tangis.
Ia memelukku, hangat. Wajahnya penuh keprihatinan. Aku
menangis sampai tertidur. Esok paginya aku terbangun dengan dua tangannya masih
melingkar di pundakku. Ia pun terbangun. Aku tahu tangannya pasti kesemutan,
tapi ia tidak mengeluh. Penuh perhatian, ia menanyakan bila aku baik-baik saja.
Mataku bengkak, tapi aku tersenyum haru dan tenang.
Malam ini, langit berduka lagi, dan mungkin marah. Angin
kencangnya memaksa pohon-pohon untuk menunduk takut. Malam ini, aku membasahi
wajahku dan bantalku dengan air mata lagi. Aku tidak takut, tapi aku rindu
adikku.
cerita yang sangat menarik dan sangat mengharukan..
BalasHapusdimana sikakak teringat dengan masa2 bersaman dengan adiknya,.kerinduan seorang kakak ke pada sang adik...
mantap gan ceritanya..