Mungkinkah orang tua membenci anak kandungnya sendiri? Tidak, kata guruku di sekolah. Ibu guru berkata, orang tua tidak mungkin membenci anak kandungnya sendiri. Jika mereka marah, semata-mata karena rasa sayang mereka. Lihatlah Bu Guru, di televisi. Setiap siang, sambil makan siang, tontonlah berita agar kau tau bahwa ada orang tua yang tega membunuh anaknya, memperkosa anaknya, menyiksa anaknya, membuang anaknya, dan lain-lain. Tengoklah itu di sela-sela jam makan siangmu, Bu Guru.
Apabila bisa, Bu Guru, aku juga akan mengundangmu ke rumahku. Akan tetapi, kau harus menjadi invisible woman dahulu. Wanita tak terlihat. Dengan begitu, kehadiranmu tidak akan disadari kedua orang tuaku. Maka, mereka akan bersikap seperti biasa, seperti jika tidak ada tamu. Mereka tidak membunuhku, tentu saja. Mereka juga tidak memperkosaku dan tidak membuangku. Namun, mereka menyiksaku, sadar ataupun tidak.
Bu Guru, aku bisa membedakan bagaimana kemarahan karena sayang dan bagaimana kemarahan karena benci. Aku melihatnya di film-film yang cukup bermutu, bagaimana ayah atau ibu yang marah kepada anaknya karena kekecewaan yang diakibatkan kepedulian dan rasa sayang kepada anak itu. Lihatlah raut wajah mereka yang menyimpan duka dan kecewa di balik amarah. Di mata mereka ada kasih dan luka ketika mereka memukuli anak mereka.
Hal itu juga kudapati pada Kakek dan Nenek. Mereka begitu baik padaku. Mereka begitu peduli dan sayang padaku, sehingga itu juga reaksi mereka ketika aku berbuat nakal. Setelah memarahi dan memukuliku, aku selalu mendapati Nenek menangis menyesal. Setelahnya pun, mereka baik kembali kepadaku.
Bandingkanlah dengan orang tuaku, Bu Guru. Lihatlah kilat amarah di mata mereka ketika mereka menghajarku. Lihatlah raut mereka yang sangar dan beringas. Tuduhan-tuduhan dan fitnah berbalut caci-maki dalam kata-kata mereka. Mereka menanyakan penjelasan kepadaku seperti polisi mengintrogasi maling. Mereka memarahiku seperti para senior yang membenci junior di sekolah. Mereka memukuliku seperti sedang membunuh hama. Setelah itu, tidak ada yang menangis selain aku. Mereka akan pergi meninggalkan rumah dengan penuh amarah. Di luar sana, mereka bersenang-senang berdua. Kesenangan mereka masih mereka bawa pulang, paling tidak sebelum mereka melihatku.
Setelah bertemu denganku, wajah mereka kembali kusut dan penuh kebencian lagi. Mereka akan mendiamkanku berminggu-minggu, bahkan sampai kami sama-sama lupa apa kesalahanku. Mereka tidak memberiku uang jajan. Membiarkanku kelaparan sampai sakit maag. Itulah mengapa aku sering meminta obat di UKS sekolah. Teman-teman baikku yang merasa kasihan akan mentraktirku makan secara bergantian setiap hari. Mereka begitu baik dan pengertian.
Di saat-saat tertentu, Bu Guru, aku merasa aku bukan anak mereka. Maksudku, bukan anak kandung mereka. Bukan hasil pembuahan Ayah dan tidak lahir dari rahim Ibu. Namun, jika demikian, bagaimana mungkin wajahku begitu mirip dengan mereka? Juga banyak kesamaan fisik antara aku dan mereka? Nenek pun sering meyakinkanku bahwa aku sungguh anak kandung mereka. Ia bersaksi bahwa ia menyaksikan proses kelahiranku. Ia yakin bahwa aku pun bukan anak yang tertukar di rumah sakit karena bentuk dan warnaku begitu khas, sehingga ia pasti mengenaliku. Iya, waktu baru lahir aku kecil, aneh, dan kuning. Aku melihat fotoku dan tidak percaya dulu aku memang begitu. Nenek menasihatiku agar aku tidak berpikir macam-macam.
Lalu, di saat aku benar-benar membutuhkan konfirmasi dari orang tuaku, mereka malah membantah. Mereka marah-marah (mereka SELALU punya alasan untuk marah) dan memaki-makiku, anak setan, anjing, sapi, tuyul, bangsat! Jika aku memang anak setan, anjing, sapi, tuyul, atau bangsat, tentu aku bukanlah anak mereka yang keduanya adalah manusia murni asli.
Maka, aku mengerti, mereka orang tua kandungku yang tidak mau mengakuiku sebagai anak mereka. Aku hanya pembeban hidup mereka. Aku berjanji, secepat mungkin aku akan menjadi produktif. Menghasilkan uang sendiri, lalu pergi dari mereka. Ketika aku sudah sukses nanti, aku akan membayar apa yang telah kuambil dari mereka. Aku katakan itu kepada mereka. Kau tahu apa reaksi mereka, Bu Guru?
Aku diteriaki ANAK DURHAKA! Anak haram jadah! Anak sialan! Lagi-lagi, itu berarti aku bukan anak mereka. Tidak tahu diuntung! Tentu saja mereka bukan sekedar berteriak-teriak. Mereka juga memukuliku dengan gagang sapu, bangku rotan, apapun yang keras dan bisa mereka angkat untuk mereka banting. Tak lupa, menghantamkan gelas beling ke wajahku. Aku yakin, kau tidak mau lihat hasilnya. Mengerikan dan menyakitkan.
Sudahkah kau mengerti, Bu Guru? Percayakah kau sekarang, bahwa orang tua bisa saja membenci anak kandung mereka sendiri?