Ada sebuah kelas di sekolah dengan segala keributannya. Di sana, para pengajar seolah-olah tidak dihargai. Memang, tidak semua siswa di kelas itu senang membuat keributan. Hanya segelintir orang yang selalu memicu keributan. Namun, usaha para guru untuk menjinakkan mereka seolah sia-sia. Mereka tidak peduli terhadap nilai-nilai merah. Mereka bebal karena terlalu sering dimarahi dan dihukum orang tua dan guru. Mereka pun tidak pernah jera meskipun tidak naik kelas. Setelah dua kali tidak naik kelas di sekolah itu, mereka akan dikeluarkan dari sekolah. Itu bukanlah masalah bagi mereka. Orang tua mereka yang lebih dari berkecukupan akan mengirim mereka untuk bersekolah di luar negeri.
Suatu hari, ada guru yang tidak tahan dengan segala keributan di kelas itu. Ia tahu betul, marah tidak akan berguna. Akan tetapi, amarah itu tak lagi dapat ditahannya. Maka, ia menggeberak meja dengan begitu keras, sehingga serentak semua siswa di kelas itu berhenti sejenak dari keributannya dan mengalihkan perhatian ke depan kelas. Sejenak, guru itu lega sebab merasa dirinya masih eksis.
"Kenapa sih kalian ini?" bentak guru itu dalam sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
"Selalu ribut," ia melanjutkan, "ada guru di sini, nggak kalian anggap!"
Guru itu menerawangi wajah-wajah muridnya. Semua datar menatapnya.
Hening.
"Saya sedang memberi kalian materi. Saya sedang mengajar kalian. Kalau kalian tidak mau mendengarkan, kalian juga yang rugi. Nanti nilai ujian kalian jadi jelek-jelek. Kalian juga jadi sia-sia datang ke sekolah karena kalian tidak mendapatkan ilmu yang seharusnya menjadi hak kalian."
Hening.
"Ngerti gak kamu?" guru itu menunjuk salah satu siswa.
"Saya, Pak?"
"Iya, kamu."
"Kenapa saya?"
"Karena kamu selalu ribut."
"Lho? Kan bukan saya aja yang ribut. Yang lain juga pada ribut. Kenapa Bapak marahnya cuman sama saya?"
"Bukan begitu."
"Bapak mengintimidasi saya?"
"Saya kan tanya, kamu ngerti gak? Kan selama ini kamu yang paling ribut."
"Enak aja, Pak! Dia juga! Mereka juga tuh! Nah, yang di ujung sana juga!" siswa itu menunjuk-nunjuk teman-teman sepermainannya. Yang ditunjuk hanya menyengir atau pura-pura tidak tahu.
"Sudah, jangan tunjuk-tunjuk!"
"Tapi mereka juga ribut. Bapak marahin yang lain juga dong?"
"Iya, yang lain juga dengar."
"Nah, gitu, Pak."
"Ya sudah, kamu jangan banyak omong! Rapikan seragam kamu!"
"Ah!" dengan malas, ia melakukan perintah guru itu.
"Duduknya hadap ke depan!"
"Lho? Saya kan duduknya paling depan dan paling pojok. Depan saya cuman ada tembok. Sementara, Bapak adanya di samping saya dan Bapak mau saya perhatiin Bapak. Jadi, saya harus hadep samping dong?" tangkisnya dengan nada yang sangat menyebalkan.
Pak Guru menghela napas.
Plok! Plok! Tiba-tiba suara dua belah telapak tangan beradu keras. Serentak, seisi kelas mengalihkan pandangan ke salah satu sudut belakang kelas, sumber suara itu.
"Yes! Yes! Dapet! Mampus lo, nyamuk sialan! Udah tiga kali lu ngigit kaki gue! Hahaha! Rasain lu!" suara salah seorang siswi membahana dari sudut itu.
Spontan, siswa-siswi lain dalam kelas itu tenggelam dalam gelak tawa. Setelah itu, mereka kembali dalam keributan mereka. Sang guru kembali diacuhkan. Maka, sang guru menyerah. Ia mengambil kertas-kertasnya dan alat tulisnya, lalu berjalan gontai menuju pintu kelas. Pintu itu dibukanya dengan kasar dan ditutupnya dengan membanting sekuat tenaga. Bunyi pintu terbanting yang keras menggetarkan dinding-dinding. Namun, tak satu pun dari murid-murid di kelas itu menyadari hal itu.
Halo Areta, maap udah lama gak main ke blog kamu. Wah, sepertinya kamu berbakat jadi penulis cerpen nih. Great job!
BalasHapus