Rambut-rambut halusku memberontak bangun dari kulitku. Mataku tak hendak berkedip dan keningku tak berhenti berkerut. Aku sedang menyaksikan berita tentang wafatnya Pak Harto, mantan presiden
Aku berpikir, apakah memang ada orang yang berduka cita selain keluarga Cendana? Apakah semua orang hanya berpura-pura bersedih? Aku tidak tahu. Aku pun bingung mengapa aku merasakan kesedihan dan kehilangan. Ia adalah satu-satunya manusia yang kutunggu kematiannya. Bukankah seharusnya aku senang? Aku tidak senang.
Aku tahu, seharusnya aku senang sebab aku menaruh dendam kepadanya. Aku tahu bagaimana ia membuat susah keluargaku karena kami berkulit kuning dan bermata sipit. Itu adalah alasan utama. Aku juga tahu ia adalah diktator dan koruptor raksasa di
Namun, siapakah aku sehingga aku berhak menghakiminya? Tidak, aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berhak. Semua itu adalah bagian Tuhan. Ia yang berhak menghakimi. Manusia bahkan tak berhak mengira-ngira kemana ia akan pergi, surga atau neraka. Semua itu keputusan Tuhan. Aku meminta ampun kepada Tuhan karena telah mengharapkan kematiannya, telah mendendaminya, telah menghakiminya. Semua itu salah. Aku tidak berhak.
Aku masih menatapi layar kaca. Ayah dan ibuku masih seru dan serius menyaksikan berita berupa siaran langsung yang diliput seorang reporter wanita. Tak lama kemudian, latar dari lapangan dengan reporter berpindah ke studio dengan seorang penyiar yang juga wanita. Penyiar itu memberitakan bahwa Mantan Presiden Soeharto wafat pada hari Minggu tanggal 27 Januari 2008 jam satu siang. Belum lama.
"........Aku tahu, seharusnya aku senang sebab aku menaruh dendam kepadanya......."
BalasHapus~~~~~~~~~~~~
ah... ternyata saya tidak sendirian yg menaruh dendam..... :)