Cermin. Dekat, kelam, mencinta. Tak hanya aku atau benda-benda yang melatariku yang terpantul dari sana, tetapi juga bayang-bayang samar yang hanya berada di pihaknya dan sebuah bayangan yang sangat kukenali meski dalam keburaman transparan sekalipun.
***
Aku kehilangan seorang kekasih dalam sebuah kecelakaan. Ia seorang pendaki gunung. Terakhir kali ia pergi, aku telah bersusah payah mencegahnya, tapi dia berkeras hati. Ia tertimpa longsor dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Dia hilang, entah hidup atau mati.
Saat mendengar berita itu dari seorang teman yang datang ke rumhaku, aku jatuh lemas. Aku bahkan tak dapat menangis. Aku hanya terduduk di lantai ruang tamuku. Teman itu dan kedua orang tuaku berusaha menenangkanku, tapi aku tak dapat mendengar suara mereka.
Aku berlari kebingungan ke kamarku yang tidak jauh dari ruang tamu. Aku mengambil sebuah cermin bundar berbingkai perunggu di meja riasku. Cermin pemberian sang kekasih.
***
Aku menangis tanpa suara dan membasahi cermin itu dengan air mataku. Sebulan sudah keluarganya dan keluargaku berusaha menemukannya dengan segala cara. Polisi, detektif swasta, bahkan dukun. Aku putus asa. Aku ingin mati. Kuadu tinjuku dengan cermin itu sehingga terluka tanganku dan retak cermin itu. Kuangkat cermin itu dan kutuang retakaannya ke lantai. Kuambil salah satunya dan kupatahkan dari yang lain untuk menyayat urat nadiku. Dari satu tanganku darah mengalir dengan deras menyirami cermin retak dan bingkainya. Tanganku yang lain menggenggam sebilah potongan kaca sehingga dari sana juga darah mengalir ke lantai.
Baru aku tersadar. Diriku adalah dirimu dan dirimu adalah diriku. Jika aku membunuh diriku, aku juga membunuh dirimu. Aku tersentak. Buru-buru kuraih dan kubugili bantalku. Aku menekan kuat-kuat luka menganga pada pergelangan tangan kiriku dengan sarung bantal. Kemudian kuikat kuat-kuat pergelangan tanganku dengan sobekan besar sarung bantal. Kupunguti bagian-bagian cermin yang telah terpisah-pisah dan berlumur darah dan air mata. Kusatukan mereka kembali dan kusembunyikan baik-baik di bawah tumpukan barang di dalam laci meja rias. Lalu aku berteriak dan seketika juga ayah dan ibu menerobos masuk ke kamar dan memberiku pertolongan.
***
Cermin itu tetap bundar dan bersih. Tanpa retakan, darah, maupun air mata. Utuh, seperti ketika kutemukan dia di bawah tumpukan barang di dalam laci meja rias ketika aku pulang dari rumah sakit.
Di sana, saat kutatap wajahku, aku melihat wajah kekasihku dengan matanya yang hanya hitam gelap. Ia tersenyum menenangkanku. Aku mendapatkan semangat hidupku kembali. Di hari-hari berikutnya, aku melihatnya setiap hari di sana, kapan pun kumau, dan aku menceritakan keluh kesahku kepadanya. Ia selalu tersenyum menguatkanku untuk menghadapi segalanya. Terkadang, jika aku menanyakan sesuatu padanya, ia akan menjawab melalui bayangan-bayangan yang ditampilkannya di sana kepadaku.
***
Aku telah terlepas bebas dari dunia di balik cermin yang kini telah hancur. Sebuah cermin pemberianku di mana dia bisa melihat diriku dalam dirinya. Aku melayang bebas bersama udara. Terombang-ambing di antara atom-atom partikel-partikel dalam atmosfer, sebelum aku sampai ke sana. Alam baka di mana aku tidak berpikir dan tidak merasa. Aku hanya masuk dan menyatu dengan mereka. Aku tak berbahasa dan tak berwujud. Demikian juga mereka semua. Kami semua adalah satu. Mereka adalah aku dan aku adalah mereka. Kami adalah aku dan aku adalah kami.
***
Aku, adikku, dan ibuku tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas seminggu yang lalu. Aku berumur 12 tahun dan adikku 5 tahun saat kami mati. Adikku sedang menatap ke arah tempat penampungan arwah penasaran.
***
Aku kehilangan seorang kekasih dalam sebuah kecelakaan. Ia seorang pendaki gunung. Terakhir kali ia pergi, aku telah bersusah payah mencegahnya, tapi dia berkeras hati. Ia tertimpa longsor dan tubuhnya tak pernah ditemukan. Dia hilang, entah hidup atau mati.
Saat mendengar berita itu dari seorang teman yang datang ke rumhaku, aku jatuh lemas. Aku bahkan tak dapat menangis. Aku hanya terduduk di lantai ruang tamuku. Teman itu dan kedua orang tuaku berusaha menenangkanku, tapi aku tak dapat mendengar suara mereka.
Aku berlari kebingungan ke kamarku yang tidak jauh dari ruang tamu. Aku mengambil sebuah cermin bundar berbingkai perunggu di meja riasku. Cermin pemberian sang kekasih.
Jika kita adalah satu
maka diriku adalah dirimu
dan dirimu adalah
diriku
Jika kau rindu
maka tataplah dirimu
dan temukanlah
diriku
***
Aku menangis tanpa suara dan membasahi cermin itu dengan air mataku. Sebulan sudah keluarganya dan keluargaku berusaha menemukannya dengan segala cara. Polisi, detektif swasta, bahkan dukun. Aku putus asa. Aku ingin mati. Kuadu tinjuku dengan cermin itu sehingga terluka tanganku dan retak cermin itu. Kuangkat cermin itu dan kutuang retakaannya ke lantai. Kuambil salah satunya dan kupatahkan dari yang lain untuk menyayat urat nadiku. Dari satu tanganku darah mengalir dengan deras menyirami cermin retak dan bingkainya. Tanganku yang lain menggenggam sebilah potongan kaca sehingga dari sana juga darah mengalir ke lantai.
Baru aku tersadar. Diriku adalah dirimu dan dirimu adalah diriku. Jika aku membunuh diriku, aku juga membunuh dirimu. Aku tersentak. Buru-buru kuraih dan kubugili bantalku. Aku menekan kuat-kuat luka menganga pada pergelangan tangan kiriku dengan sarung bantal. Kemudian kuikat kuat-kuat pergelangan tanganku dengan sobekan besar sarung bantal. Kupunguti bagian-bagian cermin yang telah terpisah-pisah dan berlumur darah dan air mata. Kusatukan mereka kembali dan kusembunyikan baik-baik di bawah tumpukan barang di dalam laci meja rias. Lalu aku berteriak dan seketika juga ayah dan ibu menerobos masuk ke kamar dan memberiku pertolongan.
***
Cermin itu tetap bundar dan bersih. Tanpa retakan, darah, maupun air mata. Utuh, seperti ketika kutemukan dia di bawah tumpukan barang di dalam laci meja rias ketika aku pulang dari rumah sakit.
Di sana, saat kutatap wajahku, aku melihat wajah kekasihku dengan matanya yang hanya hitam gelap. Ia tersenyum menenangkanku. Aku mendapatkan semangat hidupku kembali. Di hari-hari berikutnya, aku melihatnya setiap hari di sana, kapan pun kumau, dan aku menceritakan keluh kesahku kepadanya. Ia selalu tersenyum menguatkanku untuk menghadapi segalanya. Terkadang, jika aku menanyakan sesuatu padanya, ia akan menjawab melalui bayangan-bayangan yang ditampilkannya di sana kepadaku.
***
“Aku pengen bareng kamu di sana.”***
“Gak bisa. Alam kita beda.”
“Aku
pengen nyusul kamu ke sana.”
“Gimana?”
“Mati.”
“Tau gak, kenapa aku
di sini?”
“Kenapa?”
“Kamu sangat menginginkan aku.”
“Ya.”
“Kalo
kamu mati, gak ada lagi yang menginginkan aku sebegitu kuatnya. Aku nggak akan
di sini lagi. Aku akan pergi ke alam baka di mana seharusnya aku berada
sekarang.”
“Aku gimana?”
“Kalo kamu mati, kamu juga ke sana.”
“Aku
bisa bersama kamu lagi, donk?”
“Iya, tapi kita gak saling kenal lagi.”
“Kamu tau dari mana?”
“Aku sempet di sana sebentar sebelum kamu bikin
aku ke sini.”
“…”
“Di sana semua roh saling diam. Mereka semua gak
saling sapa, gak saling bicara, bahkan gak saling pandang! Aku gak mau kayak
gitu! Paling nggak jangan sekarang! Aku masih pengen sama kamu!”
“…”
“…”
“Jadi kita cuma bisa berhubungan seperti ini?”
“Jangan bilang ‘cuma’!
Aku gak mau kita jadi kayak mereka! Mondar mandir tanpa bahasa dan tanpa wujud!”
“Tanpa wujud?”
“Iya, mereka roh. Aku juga roh, tapi aku masih di alam
manusia!”
“…”
“Aku nggak mau kayak mereka! Aku gak mau jadi begitu! Gak
mau!!”
“Iya, aku tau. Aku nggak maksa…”
“Nggak mau!!”
“Iya! Tenang
donk!”
“Nggak mauuu!!!”
“Sayaaang!!”
“Aaaarrrggghhh!!!”
“Aaaarrrggghhh!!!”
Prang!
Aku telah terlepas bebas dari dunia di balik cermin yang kini telah hancur. Sebuah cermin pemberianku di mana dia bisa melihat diriku dalam dirinya. Aku melayang bebas bersama udara. Terombang-ambing di antara atom-atom partikel-partikel dalam atmosfer, sebelum aku sampai ke sana. Alam baka di mana aku tidak berpikir dan tidak merasa. Aku hanya masuk dan menyatu dengan mereka. Aku tak berbahasa dan tak berwujud. Demikian juga mereka semua. Kami semua adalah satu. Mereka adalah aku dan aku adalah mereka. Kami adalah aku dan aku adalah kami.
***
Aku, adikku, dan ibuku tewas dalam sebuah kecelakaan lalu lintas seminggu yang lalu. Aku berumur 12 tahun dan adikku 5 tahun saat kami mati. Adikku sedang menatap ke arah tempat penampungan arwah penasaran.
“Kak, kenapa mereka di sana?”******
“Mereka gak punya pengenal.”
“Pengenal?”
“Iya, mayat mereka. Ada yang belum lengkap, ada yang hilang, ada yang belum
diupacarakan dengan benar, dan sebagainya.”
“Kok bisa?”
“Bisa. Hilang
dalam bencana alam, disembunyikan pembunuh, korban multilasi yang bagian
tubuhnya hilang, mati dipenggal lalu kepala dan tubuhnya belum disatukan, dan
lain-lain.”
“Mayat kita di mana, Kak?”
“Di makam keluarga kita.”
“Mama juga. Kenapa dia nggak bareng kita sekarang?”
“Dia belum lengkap.”
“Apanya?”
“Bola matanya kurang satu.”
“Kemana?”
“Hilang.
Nyemplung ke kali.”
“Kasihan Mama.”
“Iya.”
“Kenapa mereka
diem-dieman, Kak?”
“Mereka nggak tau siapa diri mereka.”
“Mereka
penasaran gak?”
“Kadang.”
“Sampai kapan mereka di sana?”
“Sampai
syarat-syarat administrasi mereka terpenuhi.”
“Hmmm…”
“Kamu bingung ya?”
“Iya.”
“Kita maen awan aja, yuk!”
“Hore!!”
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus