Lyndie berduduk cantik di Oliver Brown, Haymarket, menyicipi iced soy chai latte di hari 40 derajat
Celcius musim panas Sydney. Kaos batiknya yang agak longgar tampak dinamis
dengan tiupan angin sepoi-sepoi yang menyeledupi pintu masuk café itu. Lyndie
menatapi layar telepon genggamnya; gulir, klik, gulir, klik, hela napas, gulir,
klik, gulir, hela napas.
Di umurnya sekarang, 28, Lydie sudah menikah selama 5 tahun.
Ia kadang terheran-heran melihat pasangan bule yang sudah menikah seabad
lebih, tapi sama sekali tidak tertarik untuk mempunyai anak. Bagi mereka,
seekor anjing itu sebagaimana seorang anak. Mereka lebih tertarik untuk memegang erat kebebebasan dan
masa muda mereka. Tidak demikian bagi Lyndie. Lyndie dan Sadi telah
berangan-angan untuk punya banyak anak, bahkan sejak mereka masih pacaran dulu.
Satu per satu, teman-teman mereka juga menikah, dan satu per satu, mereka
hamil, melahirkan anak, hamil lagi, melahirkan lagi. Sementara Lyndie dan Sadi
menghadapi kekecewaan demi kekecewaan setiap bulan, ketika Lyndie melihat tetes
darah pertama menstruasinya. Awalnya, mereka masih bersemangat. Namun, setelah
sekian bulan dikecewakan, tiap tetesan darah menjadi perwakilan darah luka
hatinya juga.
Lyndie masih menatap telepon genggamnya. Layarnya menunjukkan
media sosial yang menampakkan foto-foto teman-teman Lyndie. Ada yang sedang
berliburan, ada yang sedang bermesraan, ada yang sedang menggendong bayi. Bayi.
Hela napas. Setiap kebahagiaan yang ia rasakan untuk temannya yang diberkahi
momongan, ada setitik nila kepedihan di hatinya. Ia menghela napas lagi,
menahan air mata, tidak mau menangis di tempat umum. Sebentar lagi, orang yang
ia tunggu akan datang dan Lyndie harus memasang muka yang kuat dan penuh
kepercayaan diri.
Seorang wanita Korea memasuki café tersebut. Cara ia berjalan
langkah-langkah yang tenang dan kedewasaan yang ia pancarkan membuat Lyndie menebak-nebak
bahwa mungkin usianya sekitar paruh baya. Namun, pakaiannya sangat trendi,
kulitnya mulus halus, rambutnya bervolume, berombak dan berkilap, dan tubuhnya langsing, membuat Lyndie sedikit iri. Ia membawa
sebuah dompet berwana merah jambu dengan seleting emas, sekotak rokok, dan sebuah
telepon genggam. Ia melihat sekelilingnya, mencari seseorang. Ketika matanya
sampai kepada Lyndie: wanita, orang Asia, muda, duduk sendirian, ia tersenyum
dan menghampiri Lyndie.
“Lyndie?”
“Yuna?”
Lyndie setengah berdiri untuk menyapa Yuna. Mereka bersalaman.
“I’m so sorry to keep
you waiting.”
“No, that’s okay. I
haven’t been here long.”
Mereka pun berbincang, memulai proses wawancara untuk
pekerjaan yang Lyndie lamar minggu lalu. Untuk sementara, pikiran Lyndie
terlepas bebas dari beban keinginannya sendiri. Ia hanya fokus menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari Yuna dan juga menanyakan beberapa pertanyaan tentang
pekerjaan ini. Saat semua pertanyaan dari kedua belah pihak telah terjawab,
Yuna pun beranjak berdiri dan menyimpulkan pertemuan tersebut.
“I have another
candidate to interview tomorrow and I will have a meeting with the girls on
Monday. I’ll let you know as soon as we’ve made the decision. Sorry, I have to
go to another meeting now.”
Mereka bersalaman lagi. “Thank
you for meeting me,” ujar Lyndie.
Sesudah pertemuan tersebut, Lyndie langsung menelepon Sadi.
“Gimana interviewnya? Lancar?” tanya sang suami.
Lyndie memekik sebelum menjawab, “kayaknya ya. Orangnya baik
sih. Duh, moga-moga dapet yah.” Dan Lyndie pun menceritakan setiap detil
wawancara tersebut, yang bagi semua orang lain mungkin adalah sebuah cerita
yang paling membosankan di dunia, tapi bagi Sadi, apapun yang diceritakan
Lyndie adalah cerita paling menarik sedunia. Mereka pun berbincang lama di
telepon.
Lyndie mengisap tetes-tetes terakhir minumannya sebelum ia
beranjak berdiri, memasang earphonenya, membuka Spotify dan memainkan album 180 Astetta dari Mokoma, band heavy
metal dari Finlandia yang beberapa bulan terakhir menjadi band favorit Lyndie
and Sadi.
Dalam perjalanan Lyndie ke stasiun kereta api terdekat, ia
melihat orang tua dengan anak-anaknya. Ia pun merasakan rasa syukur yang hangat
di hatinya. Syukur atas karunia kehidupan dan kebahagiaan. Lyndie tahu bahwa ia
tidak pantas menerima semua karunia kehidupan yang ia miliki dan tidak berhak
menuntut sesuatu yang tidak diberikan padanya. Ia tersenyum, dalam hatinya ia
berdoa, meminta ampun pada Sang Pencipta atas kekurangan rasa syukur di
hatinya. Dalam doanya, juga ia selipkan permintaan untuk mendapatkan pekerjaan
yang ia lamar, dan mungkin juga, mungkin, jika Sang Pencipta berkehendak, seorang
momongan.
Kaki Lyndie terasa ringan ketika langkah-langkahnya diiringi
suka cita dan syukur. Ia pun mengangkat wajahnya, menikmati sinar matahari,
menikmati tiupan angin dan keteduhan pepohonan rindang.
Sebulan kemudian, Lyndie sadar akan sesuatu. Rasanya sudah
lama tidak datang bulan. Sebelumnya ia pernah telat dua minggu yang ternyata
hanya dikarenakan stress, tapi kali ini, rasanya bulan lalu tidak datang bulan
dan bulan ini tidak datang bulan lagi.
Cepat-cepat, Lyndie lari ke kamarnya, membuka laci
perhisannya, di mana ia juga menyimpan selusin tes kehamilan. Ia ambil satu dan
ia pun berlari ke kamar mandi. Meskipun gugup, Lyndie pun tidak berharap banyak,
setelah bulan-bulan di mana ia diberi kekecewaan dan diajari kesabaran.
Lyndie menunggu.
Satu garis.
-->
Dua garis.