Lihatlah betapa bahagia perempuan itu. Berdiri di sisi pintu kereta yang membawanya pulang ke suburb tempatnya bermukim saat ini. Sydney, nama tempat ini. Terletak di bagian New South Wales, Australia. Satu-satunya negara yang merangkap benua. Terletak di sebelah tenggara Indonesia. Aku memerhatikannya tersenyum-senyum sendiri dengan pipi agak bersemu kemerahan. Ia menggigiti bibirnya, khawatir ketahuan sedang tersenyum sambil melamun.
Aku menahan tawa melihat kelakuan perempuan yang berdiri tepat di depanku itu. Ia menyadari hal itu, sehingga ia menjadi salah tingkah. Ia menggoyang-goyang pundaknya sedikit dan menggerak-gerakkan kakinya. Akibatnya, aku harus menambah tenaga untuk menahan tawa.
Aku sering kebetulan berada dalam satu kereta dan satu gerbong dengannya. Kami tinggal di suburb yang sama, Chatswood. Kami kuliah di daerah yang berbeda, tetapi searah. Sebenarnya, aku sangat ingin mengenal perempuan itu, tetapi saat itu adalah terakhir kalinya aku melihatnya. Aku jadi agak menyesal karena berkali-kali aku bertemu dengannya, belum pernah sekalipun aku mengajaknya berbicara, apalagi berkenalan dengannya.
Sesegera itu, aku melupakannya.
Aku kembali kepada keseharianku yang memabukkan, di mana Aku menginginkan Pascal dengan segenap perasaan, pikiran, dan nafsuku. Iya, namanya Pascal. Terdengar sangat ilmiah karena ayahnya adalah seorang ilmuan. Ia mempunyai seorang adik perempuan yang dinamai Sonata karena ibunya adalah seorang musisi, komposer, dan pianis handal. Sayangnya, mereka berdua sama sekali tidak menunjukkan minat dalam bidang sains dan musik. Pascal penggemar olahraga dan Sonata penggemar komputer.
Aku sendiri penggemar sastra. Kurang berhubungan, tetapi Pascal memang sangat memabukkan dan sangat adiktif, paling tidak bagiku. Sekali aku mengenalnya, ia seperti tidak bisa sedetik pun absen dari pikiranku. Beberapa kali, aku mengacaukan tugasku karenanya. Akhirnya aku harus mengakali diriku sendiri dengan berpikir bahwa dengan mengerjakan tugas dengan baik, aku dapat membanggakan sesuatu di depannya. Cukup berhasil.
Hari ini, aku membantunya mencari data untuk penelitiannya dari internet. Aku memasukkan kata kunci yang ia berikan, lalu mulai mencari dan melaporkan kepadanya jika aku menemukan sesuatu. Kesenangan yang tak terkatakan.
Kami banyak mengobrol. Simpang siur dan akhirnya sampai kepada topik keagamaan. Ia seorang relijius. Ia banyak berdoa, ia beribadah secara rutin, dan sering beramal. Tanpa mengetahui semua itu pun, semua orang dapat melihat bahwa ia adalah orang yang baik karena ia begitu ramah dan suka menolong.
Kami pulang bersama hari ini. Sebenarnya, ia tinggal di daerah lain. Hanya saja, ia besi keras ingin mengantarkanku pulang sampai ke rumahku. Tentu, aku tidak menolak. Dalam perjalanan pulang, ia bercerita tentang seorang perempuan.
“Ia mungil, berambut pendek, berkulit putih, bermata besar. Senyumnya manis dan tanpa tersenyum pun, ia manis.”
Aku agak cemburu mendengar deskripsinya tentang perempuan itu. Namun, ia mengingatkanku akan perempuan yang sering sekereta denganku itu.
Ia bercerita bahwa dulu ia berhubungan dengan wanita itu. Bahwa ia sering juga mengantar wanita itu pulang, ke Chatswood. Hanya saja, sekarang perempuan itu menghilang.
Sejenak aku tersentak. Lalu, aku menceritakan tentang perempuan yang sering kulihat sekereta denganku itu. Kami yakin, kami membicarakan orang yang sama.
“Kira-kira, kenapa yah dia hilang?” iseng-iseng, aku bertanya.
“Mungkin karena dia tidak bisa menerima kenyataan.”
Aku menoleh kepadanya dengan dahi berkerut dan mata penuh kebingungan. Ia hanya tertawa.
Aku tidak puas. Maka aku menekankan kebingunganku dengan pertanyaan “maksud kamu apa?”
Ia tersenyum misterius. Ia memberi tanda kepadaku agar aku mendekatkan telinga kepadanya. Ia membisikkan sesuatu padaku. Mataku melebar, mulutku ternganga. Aku menoleh kepadanya lagi dengan wajah penuh ketidakpercayaan. Sebuah pukulan ringan kudaratkan di lengan kanannya sebagai tanda peringatan agar ia tidak bercanda secara berlebihan.
“Kok kamu tau?”
“Tau aja.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala. Masih tidak percaya dan berusaha menganggap itu sebagai kabar burung belaka, tetapi aku merasa harus memercayai hal itu, entah mengapa. “Ck ck ck … Siapa yang tega melakukan hal kayak gitu sama perempuan secantik dan semanis dia. Gak mungkin.” Aku meyakinkan diriku sendiri.
“Aku,” jawabnya, tanpa kuduga.
“Jangan main-main kamu! Ini serius!”
“Aku serius.” Dan ia tertawa.
Meskipun ia tertawa, aku melihat keseriusan dalam nada suara dan wajahnya. Ini tidak mungkin nyata.
Aku menamparnya. Tepat di wajah. Aku tidak peduli meskipun orang-orang menatap kami penuh ketegangan. Ia kembali tertawa. “Kamu juga tidak bisa menerima kenyataan,” katanya sebelum tertawa lagi.
Kereta berhenti. Belum sampai tujuanku, tetapi aku turun. Aku tidak tahan berada di sana lebih lama lagi.
Sebelum pintu kereta tertutup lagi, ia meneriakkan sesuatu kepadaku.
“Jika kamu sudah melakukan begitu banyak hal untuk Tuhan, bukankah Ia akan mengerti jika sesekali kamu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri?”
10/10/09
06/10/09
hilang*
Aku hanya seorang lain. Tiada arti dan tiada hadir. Hanya sesosok bayangan, terpojok di sudut ruangan. Aku meraung sedih. Mencabik-cabik wajahku yang berkerut-kerut bagai pare busuk. Aku benci kehadiranku. Aku benci dinamika dunia. Aku membenci segala sesuatu.
Namun, aku tidak membenci dia. Justru, dialah yang membuatku membenci segala sesuatu.
Ia tidak salah. Satu-satunya kesalahannya hanyalah kesempurnaannya. Kesempurnaan yang tidak ia percayai.
Ia realistis. Ia mengerti betapa dunia dan isinya tidak mungkin sempurna. Ia mengerti bahwa tidak ada insan yang sempurna di dunia ini. Ia hanya tidak mengerti bahwa setiap titik ketidaksempurnaannya pun adalah kesempurnaan bagiku.
Aku tenggelam dalam silau kilau kehadirannya.
Aku merongrong mengemis kehadirannya dan ketika ia hadir, aku menciut dan bersembunyi dalam kenistaan.
Aku gila mutlak.
Aku mengharapkan eksistensi ujung dunia, aku berharap mencapai ujung dunia, untuk kemudian menghilang di sana.
Atau tengah dunia sudi menelanku?
Ini semua ilmiah. Jatuh cinta, ketidakpercayadirian, gangguan jiwa dan kepribadian, gejolak hormon, dan penolakan. Hanya saja, jika semuanya kau alami secara bersamaan, kau jadi tidak mampu berpikir secara ilmiah, atau paling tidak secara realistis.
Kau akan memandang dunia seperti ini.
Seperti bola besar berputar-putar, membuatmu mabuk, tenggelam dalam hiruk pikuk, tertawa lepas di tengah keramaian, menari-nari di antara gelimangan percik-percik bintang, dan kemudian kau sadar, semua itu tidak nyata. Kau terjatuh ke dalam kegelapan, mencari-cari apapun yang konkrit. Apapun yang dapat kau raih, kau raba, kau pegang, kau lihat, kau dengar. Namun, semua hanya kekosongan dan kau berharap, kamu pun tak pernah ada. Kau berharap, kamu pun hanya kosong.
Aku menatap diriku dalam pantulan cermin di depanku. Aku berbisik memanggil namaku. Aku menatap nanar kepada mataku yang sembab dan bengkak, juga agak merah. Aku memaafkan diriku karena telah menangis begitu parah. Aku mengerti perasaanku. Aku tidak menuntut diriku untuk menjadi wajar atau menjadi kuat. Aku menerima diriku yang lemah, cengeng, pecundang, dan putus asa.
Aku menatap sebilah belati di tangan kananku.
Akankah kupakai untuk membelah leherku sendiri atau lebih baik kupakai untuk membelah lehernya saja?
Ini terlalu kekanak-kanakan dan tidak berpendidikan, tetapi ketika otakmu telah kehilangan rasio, kau menjadi barbar seperti kera. Aku tidak memaafkan diriku untuk itu, tetapi aku juga tidak berusaha mengendalikan diriku. Aku perusak kesejahteraan umat manusia.
Aku akan pergi ke ujung dunia. Aku tidak akan membuat orang-orang takut (atau sedih, jika ada yang sedih jika aku mati). Aku yakin mereka tidak akan meributkanku. Aku yakin aku bukan sesuatu yang cukup eksis untuk diributkan jika tiba-tiba aku menghilang.
Maka aku menghilang. Aku ingin menghilang di ujung dunia, lalu aku akan menghilang dari dunia ini.
Aku berjalan dituntun kakiku. Melewati jalan-jalan besar, menelusuri jalan-jalan kecil, mendaki jalan-jalan menanjak, menuruni jalan-jalan curam, menyeberangi sungai yang deras dan dingin, membiarkan diriku terbawa di sana. Lalu, aku tersadar, aku terkapar dan terdampar di tepi perairan. Tempat di mana tidak tampak tanda-tanda keberadaan manusia, tetapi penuh dengan tumbuhan dan hewan-hewan berbunyi merdu.
Jika aku hidup di sini, betapa aku akan bahagia. Betapa alam ini memanjakan manusia, andai manusia menyadarinya.
Namun, bayangannya menyergap pikiranku. Aku tidak mau hidup di dunia yang sama dengannya. Aku mau pergi. Aku memeriksa tangan kananku. Belatiku tidak lagi ada di sana. Aku mencari cepat ke kiri, ke kanan, ke sekelilingku. Aku tidak menemukannya. Aku menutup wajah dan menangis.
Aku berjalan ke tengah hutan. Berdoa kepada alam agar mengutus beruang, serigala, singa, harimau, atau apapun, untuk memakanku. Nihil. Aku berjalan dengan langkah terseret-seret dengan segala hewan yang kulewati melirik kepadaku, tetapi hanya itu. Hanya lirikan. Tiada respon lebih lanjut. Aku memohon dalam hati kepada mereka agar mereka menyerangku. Mereka hanya menatap.
Malam menenggelamkan matahari, tetapi aku melihat terang selain terang bulan. Aku berjalan ke arah terang itu. Segerombolan anak muda. Mereka sedang berkemah. Mereka membuat tenda di tanah lapang terbuka. Aku terduduk dan tersandar di salah satu pohon di tepi lapangan itu. Aku memerhatikan mereka. Membakar daging dan bersenda gurau. Seseorang muncul dari balik salah satu tenda. Dia.
Itu dia.
Aku menghela nafas, meskipun aku tidak merasakan nafas melewati rongga dadaku.
Sejauh ini pun, ia masih harus hadir di depanku. Aku memejam mata. Aku ingin memejamkan mata untuk selamanya.
Aku membuka mata. Matahari telah kembali merajai langit. Seorang di antara mereka berteriak-teriak dengan ribut. Membangunkan semua orang dan membuatku spontan membuka mata.
Mayat, mayat, katanya.
Semua temannya, termasuk dia, berlari mengikutinya ke tempat di mana ia mengaku melihat mayat. Aku ingin tahu. Aku turut ke sana.
Di sana, aku melihat seorang wanita terbujur kaku dan membiru, dibalut gaun tanpa lengan, selutut, putih, dan koyak-koyak. Rambutnya pendek. Di tangan kanannya, sebuah belati.
Kurasa, aku kenal dia.
Namun, aku tidak membenci dia. Justru, dialah yang membuatku membenci segala sesuatu.
Ia tidak salah. Satu-satunya kesalahannya hanyalah kesempurnaannya. Kesempurnaan yang tidak ia percayai.
Ia realistis. Ia mengerti betapa dunia dan isinya tidak mungkin sempurna. Ia mengerti bahwa tidak ada insan yang sempurna di dunia ini. Ia hanya tidak mengerti bahwa setiap titik ketidaksempurnaannya pun adalah kesempurnaan bagiku.
Aku tenggelam dalam silau kilau kehadirannya.
Aku merongrong mengemis kehadirannya dan ketika ia hadir, aku menciut dan bersembunyi dalam kenistaan.
Aku gila mutlak.
Aku mengharapkan eksistensi ujung dunia, aku berharap mencapai ujung dunia, untuk kemudian menghilang di sana.
Atau tengah dunia sudi menelanku?
Ini semua ilmiah. Jatuh cinta, ketidakpercayadirian, gangguan jiwa dan kepribadian, gejolak hormon, dan penolakan. Hanya saja, jika semuanya kau alami secara bersamaan, kau jadi tidak mampu berpikir secara ilmiah, atau paling tidak secara realistis.
Kau akan memandang dunia seperti ini.
Seperti bola besar berputar-putar, membuatmu mabuk, tenggelam dalam hiruk pikuk, tertawa lepas di tengah keramaian, menari-nari di antara gelimangan percik-percik bintang, dan kemudian kau sadar, semua itu tidak nyata. Kau terjatuh ke dalam kegelapan, mencari-cari apapun yang konkrit. Apapun yang dapat kau raih, kau raba, kau pegang, kau lihat, kau dengar. Namun, semua hanya kekosongan dan kau berharap, kamu pun tak pernah ada. Kau berharap, kamu pun hanya kosong.
Aku menatap diriku dalam pantulan cermin di depanku. Aku berbisik memanggil namaku. Aku menatap nanar kepada mataku yang sembab dan bengkak, juga agak merah. Aku memaafkan diriku karena telah menangis begitu parah. Aku mengerti perasaanku. Aku tidak menuntut diriku untuk menjadi wajar atau menjadi kuat. Aku menerima diriku yang lemah, cengeng, pecundang, dan putus asa.
Aku menatap sebilah belati di tangan kananku.
Akankah kupakai untuk membelah leherku sendiri atau lebih baik kupakai untuk membelah lehernya saja?
Ini terlalu kekanak-kanakan dan tidak berpendidikan, tetapi ketika otakmu telah kehilangan rasio, kau menjadi barbar seperti kera. Aku tidak memaafkan diriku untuk itu, tetapi aku juga tidak berusaha mengendalikan diriku. Aku perusak kesejahteraan umat manusia.
Aku akan pergi ke ujung dunia. Aku tidak akan membuat orang-orang takut (atau sedih, jika ada yang sedih jika aku mati). Aku yakin mereka tidak akan meributkanku. Aku yakin aku bukan sesuatu yang cukup eksis untuk diributkan jika tiba-tiba aku menghilang.
Maka aku menghilang. Aku ingin menghilang di ujung dunia, lalu aku akan menghilang dari dunia ini.
Aku berjalan dituntun kakiku. Melewati jalan-jalan besar, menelusuri jalan-jalan kecil, mendaki jalan-jalan menanjak, menuruni jalan-jalan curam, menyeberangi sungai yang deras dan dingin, membiarkan diriku terbawa di sana. Lalu, aku tersadar, aku terkapar dan terdampar di tepi perairan. Tempat di mana tidak tampak tanda-tanda keberadaan manusia, tetapi penuh dengan tumbuhan dan hewan-hewan berbunyi merdu.
Jika aku hidup di sini, betapa aku akan bahagia. Betapa alam ini memanjakan manusia, andai manusia menyadarinya.
Namun, bayangannya menyergap pikiranku. Aku tidak mau hidup di dunia yang sama dengannya. Aku mau pergi. Aku memeriksa tangan kananku. Belatiku tidak lagi ada di sana. Aku mencari cepat ke kiri, ke kanan, ke sekelilingku. Aku tidak menemukannya. Aku menutup wajah dan menangis.
Aku berjalan ke tengah hutan. Berdoa kepada alam agar mengutus beruang, serigala, singa, harimau, atau apapun, untuk memakanku. Nihil. Aku berjalan dengan langkah terseret-seret dengan segala hewan yang kulewati melirik kepadaku, tetapi hanya itu. Hanya lirikan. Tiada respon lebih lanjut. Aku memohon dalam hati kepada mereka agar mereka menyerangku. Mereka hanya menatap.
Malam menenggelamkan matahari, tetapi aku melihat terang selain terang bulan. Aku berjalan ke arah terang itu. Segerombolan anak muda. Mereka sedang berkemah. Mereka membuat tenda di tanah lapang terbuka. Aku terduduk dan tersandar di salah satu pohon di tepi lapangan itu. Aku memerhatikan mereka. Membakar daging dan bersenda gurau. Seseorang muncul dari balik salah satu tenda. Dia.
Itu dia.
Aku menghela nafas, meskipun aku tidak merasakan nafas melewati rongga dadaku.
Sejauh ini pun, ia masih harus hadir di depanku. Aku memejam mata. Aku ingin memejamkan mata untuk selamanya.
Aku membuka mata. Matahari telah kembali merajai langit. Seorang di antara mereka berteriak-teriak dengan ribut. Membangunkan semua orang dan membuatku spontan membuka mata.
Mayat, mayat, katanya.
Semua temannya, termasuk dia, berlari mengikutinya ke tempat di mana ia mengaku melihat mayat. Aku ingin tahu. Aku turut ke sana.
Di sana, aku melihat seorang wanita terbujur kaku dan membiru, dibalut gaun tanpa lengan, selutut, putih, dan koyak-koyak. Rambutnya pendek. Di tangan kanannya, sebuah belati.
Kurasa, aku kenal dia.
Langganan:
Postingan (Atom)