02/08/09

hilang

Seorang gadis remaja, begitu jelita, teronggok tak beradaya di ranjangnya. Raganya tidak sakit. Hanya jiwanya sedang bimbang. Merenung-renungi masa lalunya. Masa-masa indah bersama seorang remaja putra yang sangat membahagiakan dirinya. Kemudian, masa-masa sulit ketika mereka menghadapi orang tua masing-masing. Kedua orang tuanya yang merasa tidak sudi anaknya terlalu akrab dengan anggota masyarakat golongan ekonomi bawah karena dianggap memalukan atau membuat aib. Juga satu-satunya orang tua kekasihnya, yaitu ibunya, yang menganggap persahabatan dengan orang kaya hanya akan memberi kesempatan bagi mereka untuk menghina dan melecehkan dirinya. Kemudian, teringat masa-masa perpisahan mereka. Ketika ia diharuskan meneruskan studi ke luar negeri, sementara kekasihnya tidak punya cukup dana untuk turut serta.

Kini ia kembali ke tanah air di waktu liburannya. Segala benteng yang dibangunnya untuk menghalangi memori sentimentil itu agar tidak mengganggu studinya kini runtuh seketika. Tepat ketika ia menginjakkan kakinya di tanah air, menghirup udara setempat. Semua kenangan menyerbu masuk ke dalam dirinya. Membuatnya menjadi perhatian banyak orang karena menangis secara tidak wajar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tak lama, muncul kedua orang tuanya, yang mengira anaknya menangis karena terlampai merindukan mereka, memeluknya dan membuat orang-orang maklum.

Beberapa hari telah ia lewatkan di rumah, tidak banyak yang ia telah lakukan. Ia lebih banyak terkapar di kamar. Merenungi kenangan. Di mana ia sekarang? Masih ingatkah padaku? Masih sudikah denganku?

Telepon genggam ia raih untuk menghubungi seorang teman terdekat. Dari teman dekatnya itu, kemudian ia mendapatkan nomor-nomor teman-teman yang lain. Ia memulai sebuah penyelidikan kecil dengan dibantu teman baiknya itu.

***

“Gimana? Apa kata Endah?” tanya si gadis.

“Dia bilang, udah sekitar tiga bulan dia gak nongkrong-nongkrong bareng mereka,” jawab sahabatnya membuat dirinya kehilangan harapan karena kenyataan bahwa Endah adalah kekasih terakhir kekasihnya setelah ia tinggalkan tidaklah menolong.

Mereka berdua tampak berpikir lama. Masing-masing mengerutkan dahinya. Semua mendiamkan minuman lezat yang tersaji di depannya. Tiada juga yang memerhatikan mereka, tidak pengunjung-pengunjung kafe yang mereka tongkrongi, tidak juga pelayan-pelayan di sana, kecuali sepasang mata milik seorang laki-laki yang duduk sendirian di pojok. Tadinya ia tampak tenang-tenang saja. Menyeruput kopi sambil membaca buku dan menikmati kesendiriannya. Namun, kini dahinya pun turut dikerut-kerutkan. Tak lama, ia datang menghampiri dua gadis yang semenjak tadi ia perhatikan.

“Cindy? Arien?”

Yang mereasa namanya disebut pun menoleh.

“Nando?” terdengar pekik serempak dengan dua nada berbeda. Yang satu dengan tertarik dan senang, yang satu dengan penuh harapan.

“Kamu ngapain di sini?” Cindy, sahabat si gadis cantik yang juga tak kalah cantik, mendadak ceria berbasa-basi dengan penuh kecentilan.

Nando tersipu-sipu menjawab lirih, “minum kopi.”

Arien, si gadis yang benar-benar berkeperluan dengan penyelidikan kecilnya, berusaha menyusun pertanyaan di dalam kepalanya untuk kemudian disemburkan kepada Nando, yang ia tahu benar adalah teman baik kekasihnya. Ia masih sempat mengutuk-ngutuki dirinya sendiri yang tidak kepikiran untuk menanyakan Nando kepada teman-temannya yang lain atau kepada sahabatnya yang naksir berat Nando ini.

Tanpa menunggu pertanyaan untuk selesai tersusun di kepala Arien, Nando mendahului bertanya, “gue denger dari temen-temen lain, lo lagi nyari si Gani.”

“Iya.”

“Percuma lo tanya-tanya mereka.”

Pernyataan Nando membuat dua gadis di depannya terbelalak bingung.

“Sejak lo tinggal,” Nando meneruskan, “dia udah jarang banget maen sama anak-anak laen. Jadi petapa di rumah. Ketemu gue aja jarang!”

“Endah?” Cindy terpikir akan gadis lain yang belakangan dikabarkan berpacaran dengan Gani.

“Endah kan dari bahuela udah naksir berat sama Gani,” Nando menjelaskan,”sejak lo pergi,” ia menunjuk Arien, “dia nempel-nempel si Gani, trus ngaku-ngaku udah jadian. Padahal, kalo dateng ke rumah Gani aja, dia cuma diladenin sama emaknya Gani. Gani mah boro-boro mau keluar kamar cuman buat ketemu cewek centil macam gitu!”

Sesuatu menyengat hati Arien. Ia ingat perlakuan ketus ibu Gani padanya. Ternyata ibu Gani lebih menyenangi Endah daripada dirinya. Cindy yang menyadari perubahan suasana hati sahabatnya langsung memotong pembicaraan Nando, “terus, sekarang Gani di mana?”.

“Nah, itu gua juga gak tau!” jawaban Nando mengecewakan sekaligus mengejutkan mereka berdua.

“Sekitar... Hmmm... Tiga bulan lalu, dia pindah rumah. Gak bilang-bilang ama gue! Monyet! Gue tau dari tetangganya! Trus gak ada kabar lagi ampe sekarang.”

Kini semua tertunduk lesu.

Paling tidak, sekarang Arien mendapat satu tenaga baru untuk masuk ke dalam tim penyelidiknya.

*

Semua pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, Arien langsung masuk ke kamar untuk berganti baju. Sebelum ia membuka bajunya, pembantunya telah memanggil-manggil.

“Noooon! Non Ariiiiin! Ada telpon! Katanya penting!”

Buru-buru Arien keluar dari kamarnya dan meraih gagang telepon tanpa kabel yang telah diantar oleh sang pembantu sampai ke depan pintu kamarnya.

“Makasi, Bi,” katanya sebelum masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu.

“Halo?”

“Iya, halo! Kamu Arien?” suara wanita paruh baya begitu ketus di seberang sana.

“I-iya, aku Arien. Ada apa ya?”

“Heh! Kamu! Jangan cari-cari Gani lagi! Cewek gak tau diri! Jangan cari-cari anak gua lagi!”

Arien susah payah menelan ludah dan berkeringat dingin.

“Denger gak kamu!”

Arien jatuh terduduk di ranjangnya yang tebal dan empuk.

“Kamu anak orang kaya, cari cowok orang kaya juga sana! Jangan genit-genit sama anak gua! Jangan kamu kira karna lo banyak duit, semua orang tunduk sama lo! Najis!”

“Ma-maaf, Bu?”

“Eh, gua najis sama bapak lo, tau! Bapak lo tuh pejabat korup! Gua najis kalo anak gua harus deket-deket sama anak tukang korup! Apalagi ampe megang duit hasil korup lo! Najiiiis!!”

Sekarang Arien mengerti mengapa segala hadiah di segala hari raya yang ia berikan kepada ibu Gani selalu ditolak dengan cara paling menyakitkan.

“Setan! Denger gak lo! Jauhin anak gua!”

Klik. Telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana.

Dengan tangan berkeringat dingin dan gemetaran, Arien bersusah payah menekan tombol redial.

“Halo?” ucapnya lirih, “Bu?”

“Maaf, Dek,” suara seorang pria, “ini telepon umum.”

Arien menghela napas.

“Sudah yah? Saya mau pake.”

“Iya, Pak. Maaf.”

Klik.


(bersambung)

1 komentar:

  1. bagus tulisanya bikin penasaran terusannya :)

    (tholohitam)

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.