24/03/08

tante peri*

Tante Peri. Begitulah biasa kupanggil dia. Waktu aku masih kecil orang-orang menganggapnya teman khayalanku karena hanya aku yang dapat melihatnya, tapi sampai saat ini pun, saat aku duduk di bangku SMU, ia masih bersamaku dan ia begitu nyata. Mungkin aku terlalu banyak menonton serial TV yang episodenya tak berkesudahan. Mereka mencekokiku kepercayaan akan makhluk-makhluk gaib.

“Ayo bongkar! Curi soal tes minggu depan!” seru Tante Peri padaku saat aku berada di ruang wali kelasku, guru fisika, karena keanjlokan nilai-nilaiku. Aku hanya berdiri diam, sementara Pak Hasan, guru fisikaku, belum kembali dari toilet.

“Kalau kamu nggak nurut, nanti kamu kutinggalkan!” ancam Tante Peri. Aku benci kesendirian. Kuputar kunci laci yang tertancap pasrah pada lubangnya dan kutarik laci itu keluar dari persembunyiannya pelan-pelan. Tanpa lama kurogohi, kutemukan soal tes yang kucari. Hanya kuambil selembar dari tumpukan itu. Pak Hasan tidak akan menyadarinya. Aku melipat-lipat kertas itu dan memasukkannya ke saku celanaku, sementara Tante Peri terbang bolak-balik dengan senang sambil tertawa melengking. Tawa yang menyamankan telingaku. Mungkin karena aku sudah terbiasa mendengarkannya.

Setelah mendapat surat panggilan untuk orang tuaku, aku meninggalkan ruangan Pak Hasan. Aku berjalan dengan tenang dan senang ke kelas karena aku tahu aku tidak akan mendapat nilai jelek untuk tes minggu depan.

“Hei, Duck!” teriak seorang anak laki-laki padaku sambil menempeleng bagian belakang kepalaku. Mereka memanggilku begitu karena menurut mereka aku harus mengikuti reality show “Duck” yang me-make over seorang buruk rupa secara ekstrim. Lalu seorang temannya menyelengkatku sampai jatuh. Bangun dari posisi tengkurap bukanlah hal mudah untukku. Ada yang mengambil kacamata bulat tebalku dan melemparnya ke suatu tempat yang jauh.

Bel masuk berdering tanda usainya istirahat. Anak-anak lain menjejalkan diri ke dalam kelas, sementara aku merabai koridor panjang sekolah demi menemukan kacamataku dan Tante Peri hanya tertawa sambil terbang mengitar di atas kepalaku dan mengejekku. Setelah lama aku merangkak di koridor sambil meraba-raba tanpa ada yang peduli, aku menemukan kacamataku dalam keadaan cukup baik. Hanya lecet sedikit. Baguslah, kali ini kacamataku tidak pecah. Tante Peri menyuruhku membolos pada jam pelajaran ini daripada masuk terlambat. Aku selalu menurut karena aku belum pernah membuat keputusan sendiri.

Aku ke toilet untuk mencuci muka dan membersihkan kacamataku. Sampai di toilet, aku bertemu beberapa anak sekelasku. Mereka menyeretku ke kelas dan mengadukan pada guru yang saat itu mengajar bahwa aku membolos, sehingga aku harus berdiri di belakang kelas selama ia mengajar. Seperti biasa, Tante Peri hanya tertawa dan mengejekku.

Di sini aku berdiri tepat di belakang seorang gadis yang kutaksir sejak SMP.

“Tarik! Tarik!” bisik Tante Peri pada telingaku saat kutatap tali bra-nya yang biru muda terang dan mencolok mengalahkan daya lapis kemeja ketatnya. Tak perlu kusadari saat tanganku mengulur, lalu menarik dan melepas tali itu dengan cepat. PLAK! Kentara betul bunyinya. Ia begitu terkejut.

Ia dan seisi kelas kini menatapiku. Aku hanya celingak-celinguk tanpa ekspresi khusus pada wajahku, sementara Tante Peri begitu riangnya melengkingkan tawanya sambil mengitari kepalaku. Melewati wajahku berkali-kali dengan cepat.

“Nando narik tali beha Lina, Pak.” Jawab anak sebangku Lina dengan tampang polos saat guru menanyainya. Itu membuat seisi kelas terbahak membuat gemuruh. Wajah Lina sangat merah sekarang. Paduan antara malu dan marah.

***

Setelah bel pulang sekolah berbunyi aku buru-buru mengeluarkan diri dari kelas, berhubung tempat dudukku paling dekat dengan pintu kelas, sebelum anak-anak lain berhamburan ke koridor dan menggencetiku. Sayang, sebuah tarikan pada bagian belakang kerah bajuku membatalkan segala niatku. Lina dan teman-temannya.

“Buat apa sih lo kayak gitu tadi?” bentaknya tanpa bisa kujawab. Mereka menyeretku cukup jauh sampai ke perkarangan di belakang sekolah. Tante Peri memang tak pernah membantu. Hanya tertawa dengan lengkingan.

“Lo nggak ada kerjaan lain ya?”

“Lo tuh mendingan isi formulir buat ikutan Duck!”

“Iye. Biar lo disedot lemak!”

“Lemak lo tuh musti disedot tujuh kali baru lo bisa langsing !”

“Trus lo musti oprasi plastik tujuh kali biar tampang lo nggak bikin eneg!”

Tak satupun makian mereka kujawab karena mereka pasti tertawa mendengar kegagapanku. Mereka memukuli, menendangi, dan menginjakiku. Setelah selesai, mereka bubar meninggalkanku berdua dengan Tante Peri.

“Kamu jelek! Kamu jelek! Gendut!” Tante Peri terus-menerus mengejekku. Tetap terdengar cemooh itu meskipun kututup rapat telingaku. Tetap tampak tariannya meskipun kututup rapat mataku. Sangat lama. Tiba-tiba semua itu berhenti.

“Hei, ayo cari dia!” Tante Peri membangunkanku dari ketertutupanku.

Sore sudah larut. Aku bangkit dan mulai mengendap-endap menyelidiki setiap sudut sekolah. Hanya kutemukan penjaga sekolah tertidur pulas dekat gerbang sekolah. Setelah cukup lama aku mondar-mandir, kudapati Lina memasuki toilet wanita dengan seragam cheerleader-merah-ngejreng-nya. Teman-temannya pasti sudah pulang.

“Kerjain dia!” kata Tante Peri,”Nggak bakal ada yang tau!”

Aku berjalan tanpa suara memasuki toilet wanita. Ia sedang berada di salah satu ruangan dalam toilet itu. Ruangan paling ujung. Kulihat strip kecil di atas gagang pintu itu berwarna hijau, bukan merah. Ia tidak mengunci pintunya. Meskipun sulit, kurendahkan kepalaku untuk mengintip lubang setinggi sejengkal di bawah pintu itu. Kudapati kaki-kaki indahnya tanpa alas.

Begitu saja aku menerobos masuk. Kuincar mulutnya untuk kubekap dengan satu tanganku dan tanganku yang lain memelintir dan menggenggami kedua tangannya di depan punggungnya dengan kuat. Dengan sangat cepat kuambil salah satu baju pada gantungan pintu untuk menyumpal mulutnya. Lalu, kuambil kain lain yang tergantung untuk mengikat tangannya. Kulepas dasiku untuk mengikat kakinya. Setelah itu, kukunci pintu WC itu. Rontaannya yang tadi bergitu kuat sekarang terasa begitu pasrah. Ia mulai meneteskan air mata, sementara keringatku pun menetes-netes.

“Buka!” pinta Tante Peri dengan bisikan geram.

Tangan-tanganku mulai kelayapan mem-browse kulitnya dan hendak melepaskan helai-helai yang melapisinya. Kulihat wajahnya begitu ketakutan dan tatapan memohon ampunnya padaku membuatku lemas. Kuhentikan aksiku dan aku hanya duduk diam di depannya. Ia pun merosot jatuh dari posisi berdiri ke posisi duduk di depanku. Aku tak akan sanggup. Ia satu-satunya manusia yang kusayangi.

“Apa yang kamu lakukan?” bentak Tante Peri sambil melototiku.

“Aku nggak mau nyakitin dia, Tante Peri.” Ucapku dengan lancar. Lina menatapku dengan bingung. Entah bingung karena kegagapanku telah ciut dan hilang atau karena “Tante Peri”. Tante Peri begitu marah, ia terbang dengan cepat untuk meninggalkanku.

Aku maju dan memeluk Lina dengan erat. Kubenamkan wajahnya ke dadaku yang empuk. Cukup lama kurasakan pemberontakannya sampai akhirnya ia hening. Kurenggangkan pelukanku. Kutatap wajahnya yang biru dan matanya yang membelalak kaku. Ia lemas. Buru-buru kukeluarkan kain yang menyumpal mulutnya dan kulepaskan segala yang mengikat pergelangannya. Kupegangi wajahnya dan kutampar pelan beberapa kali tanpa ia beri reaksi. Butuh waktu cukup lama untuk kusadari bahwa ia telah pergi meninggalkanku SENDIRIAN.

Dadaku kembang kempis dengan cepat saat aku berusaha membuka pintu dengan tangan-tanganku yang gemetaran. Setelah aku dapat menghambur keluar dari sana, kupanggil Tante Peri. Aku berteriak dengan serak dan dia tak kunjung tiba. Satu tanganku memegang dan memeras dadaku yang sakit dan tanganku yang lain bertumpu pada wastafel untuk membangkitkan tubuhku. Baru sejenak aku berdiri agak tegak, banyak kunang-kunang menghinggapi mataku dan menari-nari disana. Kepalaku sangat sakit. Ngilu dan berputar-putar. Aku kehilangan kekuatan dan keseimbangan. Aku roboh dan kepalaku menghantam wastafel yang jelas tak mungkin dikalahkannya. Hal terakhir yang kurasakan adalah panas dan amir cairan yang mengalir keluar dari kepalaku.

*Pernah dikirimkan ke sebuah majalah remaja, tapi tidak dimuat.

2 komentar:

  1. Anonim6/14/2008

    agak berat kali jadi g dimuat..lagian pake kirim ke majalah remaja

    BalasHapus
  2. Anonim2/25/2009

    duh... w gak merasa itu berat sih..
    hehehe.. gak nyangka kalo itu kurang ringan.

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.