18/02/08

mayat dinding (alam dinding II)

Alam dinding. Dinding menjadi pembatas dan pemisah, sekaligus penghubung tak terbatas.

Terhubung tanpa tersentuh.

Mendengar tanpa melihat.

Kujalani hari-hariku dalam kesepian.

Sendiri.

Hening, kecuali dinding.

Tanpa suara manusia, kecuali dari dinding.

Tetumbuhan. Satu-satunya makhluk hidup yang menemaniku. Berbisik dalam gemerisik. Mereka berjiwa, tapi bukan di sini. Andai saja jiwa mereka ada di sini, aku akan berteman dengan mereka.

Yang tenang dan diam, justru begitu menyiksa. Aku hanya ingin mati. Lenyap tak berjejak. Kukira, itu pasti lebih baik daripada mencari orang lain untuk menggantikanku di sini. Kejam sekali membiarkan orang lain merasakan hal yang sama.

Aku naik ke atas sebuah gedung tinggi. Sebuah sekolah mewah dengan dominasi cat biru cerah di bagian luarnya. Aku naik ke atas atapnya. Terjuan dari sana. Menerpa angin, menabrak aspal.

Tidak, aku tidak mati.

Aku terantuk keras pada aspal tanpa merasakan apapun kecuali kerasnya aspal. Itu benar-benar tanpa rasa sakit.

Aku terbaring pasrah di atas aspal. Mendengarkan suara-suara aktivitas di bawah aspal. Kupikir, itu adalah suara aktivitas di atas aspal di dunia nyata. Adakah aspal juga merupakan dinding? Entahlah.

Adakah neraka lebih baik atau lebih buruk dari ini?

Atau inilah neraka?

Jika ini neraka, mana setan? Mana orang-orang bejat?

Mungkin mereka masih berkeliaran di alam nyata karena kiamat belum menjemput mereka kemari. Manusia bejat yang masih hidup berbuat jahat. Menghabiskan hidupnya untuk mati dan mati lagi di neraka. Manusia-manusia bejat yang sudah mati gentayangan. Mencari mangsa untuk ditakut-takuti. Si setan berkeliaran. Menggoda manusia. Menggelitiki iman mereka. Menggerogoti hati nurani mereka. Memanfaatkan mereka untuk pekerjaan haramnya.

Kalau begitu, aku harus menunggu akhir zaman tiba agar mereka beramai-ramai ke sini. Mungkin, aku hanya akan punya sedikit waktu untuk bermain-main dengan mereka. Setelah itu, tempat ini akan dihujani bahan bakar, lalu dibakar. Sementara di bakar, terus dihujani bahan bakar. Api yang tiada henti membakar. Semua benda habis. Gedung-degung habis. Manusia habis. Tumbuhan habis. Tetap dibakar. Sampai ke inti bumi. Cukup.

Erangan-erangan dari bawah aspal membangunkanku dari lamunanku. Dahiku berkerut penasaran. Kutempelkan salah satu telingaku pada aspal dingin itu. Matahari diacuhkannya, sehingga ia tidak menjadi panas. Erangan lagi. Erangan-erangan. Mengapa ada manusia mengerang-erang demikian rupa di dunia nyata? Atau, itu adalah dunia lain? Aku ingin menemukannya.

Aku bangkit, lalu berlari. Memasuki gedung sekolah (di sini tidak ada pintu yang terkunci). Mencari-cari di gudang sekolah. Lalu, berlari ke rumah-rumah. Mencari. Aku sadar. Meskipun aku bisa memasuki ruangan manapun dan mendengarkan apapun dari tembok manapun, di ruangan-ruangan itu tidak ada peralatan dan perlengkapan hidup seperti pakaian, teknologi, tidak juga perabotan, tidak juga makanan dan minuman, perkakas, tidak ada apa-apa.

Maka, kugunakan tanganku saja. Aku berlari lagi ke sekolah. Menjatuhkan diri di tanah kebun di belakang sekolah itu. Kutempelkan lagi telingaku pada tanah. Erangan-erangan lagi. Aku mulai menggali menggunakan tanganku. Menggali tanpa kenal waktu. Aku adalah... entah arwah atau jiwa. Tak butuh makanan, minuman, maupun istirahat. Juga tak kenal lelah. Aku menggali. Menggali. Menggali. Pagi. Siang. Sore. Malam. Menggali. Menggali.

Aku menemukannya! Sebuah kepala! Kutarik keluar kepala itu dari tanah. Perlahan-lahan agar tidak lepas dari tubuhnya. Kepala dan tubuh yang sama-sama kumal, berlubang-lubang, lusuh, lemas, hitam, dan begitulah. Aku berhasil menariknya keluar tanpa merusaknya. Jika ia terlihat rusak, ia memang telah rusak dari sebelumnya. Rusak dikunyah tanah.

Ia masih mengerang. Mulutnya membuka sesekali dan mengeluaran bunyi erangan. Ia seperti boneka yang bisa berbicara. Ia adalah boneka yang bisa mengerang. Aku mengangkatnya agar ia berposisi berdiri.

Aku memeluknya. Kami berpelukan.

Satu tanganku di pinggangnya. Satu tanganya di pundakku. Dua tangan yang lain berpasangan dan terangkat sejajar bahu.

Kami bergoyang-goyang. Berputar-putar. Melangkah maju-mundur. Kami berdansa di tengah kawah yang kugali dengan tangan-tanganku.

Sambil menari, aku menamai teman baruku: mayat.

1 komentar:

  1. Anonim2/19/2008

    Banyak mayat yg hidup...
    banyak orang hidup seperti mayat...
    keduanya gak beres... :)

    yg ideal adalah...
    hiduplah sebagaimana orang hidup....
    jgn hidup tapi mati....
    hatinya mati...
    langkahnya mati....
    jiwanya mati...
    perasaannya mati...
    dll.... :)

    *ah, kamu mah posting yg serem2...*

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.