15/02/08

alam dinding

6.29 pagi. Aku tiba di sekolah lebih awal 30 menit dari bel masuk sekolah. Menunaikan tugas apel pagi (huruf "E" pada kata "apel" dibaca seperti "bebek", bukan seperti "belatung")-melapor ke guru piket sebelum jam 6.30 pagi- selama beberapa minggu berturut-turut akibat tiba di sekolah terlambat beberapa kali. Setelah melapor kepada guru piket, aku pun memasuki kelasku yang terletak di salah satu sudut di lantai dua. Sesampaiku di sana, kutatap kelasku yang kosong melompong. Empat buah tas dengan desain dari zaman megalithikum sampai zaman orde reformasi tergeletak tanpa pemilik di empat meja secara acak. Aku tidak ingat siapa saja pemilik tas itu karena murid-murid di sekolah anak-anak orang kaya ini terlalu sering berganti tas. Ah, anak manja ibukota. Aku berjalan menyusuri gang-gang di antara deretan meja-meja dan kursi-kursi sampai ke tempat dudukku di pojok kiri belakang. Aku duduk.

Sambil menunggu seseorang datang, imajinasiku menari-nari di dalam kepalaku. Apakah bencana banjir baru-baru ini (saat ini awal bulan Februari tahun 2008) telah mengakibatkan sesuatu terjadi kepada teman-teman sekelasku? Apakah ada sesuatu yang lain yang terjadi dan membuat mereka menjadi makhluk-makhluk tak terlihat? Atau, justru aku yang tak terlihat dan tak dapat melihat mereka? Aku teringat akan "Misteri Kota Ninggi" karya Seno Gumira Ajidarma (kubaca dalam Cerpen Pilihan KOMPAS 1994) yang menceritakan tentang sebuah kota dengan orang-orang tak terlihat. Suasana mendadak mencekam.

Aku menunggu. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit. Setengah jam. Satu jam. Sebenarnya aku tertidur. Tiba-tiba, aku tersentak bangun. Aku dapat merasakan bahwa tidurku memang telah terlampau lama. Kukira kelas ini sudah penuh dan seorang guru telah masuk dan mengajar. Lalu, mereka memilih menertawakan lalu membiarkanku tidur selama pelajaran daripada membangungkanku. Mungkin juga mereka telah membangunkanku, tetapi tidurku terlampau nyenyak. Aku terkejut. Tidak seperti yang kukira, kelas ini tetap kosong! Hening sunyi senyap diam tanpa tanda-tanda kehidupan. Kulirik jam tanganku: 7:30.

Aku berlari keluar kelas. Memeriksa setiap kelas, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium akuntansi, laboratorium biologi, laboratorium fisika, ruang musik, ruang tata boga, ruang multimedia, ruang guru, perpustakaan, aula, kantin, toilet, tata usaha, gudang. Kemana semua orang? Ini konyol! Tadi, ketika aku baru tiba, masih ada guru piket dan secuil murid penunai apel pagi. Mengapa semua menjadi janggal begitu aku memasuki kelasku?

Aku berlari keluar sekolah. Menatapi sebuah kota mati dari sudut pandangku. Sebatas pandanganku. Tak ada manusia. Gedung-gedung kosong. Mobil-mobil kosong. Semua kosong. Aku berteriak sekeras mungkin. Berkali-kali. Sekuat tenaga. Sampai tenggorokkanku sakit. Aku berhenti. Aku melirik ke kiri dan kanan. Berharap seseorang akan muncul. Nihil.

Ini mimpi. Ini hanya mimpi. Aku berusaha bangun. Kucek mata berkali-kali. Tampar wajah berkali-kali. Sentakkan kepala berkali-kali. Injakkan kaki kuat-kuat berkali-kali. Aku tetap di sini. Dunia yang sama. Aku ingin bangun. Mungkin aku masih tergeletak di ranjang di kamarku dengan jam beralaram menjerit-jerit di sampingku tanpa kusadari. Aku ingin bangun. Aku tidak bangun. Aku memang sudah bangun. Semua ini nyata.

7.45. Bel pergantian jam pelajaran berbunyi. Dengan keadaan kosong begini, entah apa pengaruhnya. Aku berjalan malas kembali ke sekolah. Mencari toilet terdekat. Bercermin dan menangis di depan cermin. Siapa tahu, pantulan bayanganku di cermin itu bisa menarikku ke dunianya yang mungkin tidak sekosong di sini. Benar saja, pantulan bayangan itu bergerak dengan gerak-gerik yang berbeda dengan yang kubuat. Aku pun heran dan menyelidiki.

Aku bergerak ke sana kemari. Ia diam. Aku melambai. Ia diam. Aku menyapa. Ia diam. Aku menyentuh cermin. Wah, cermin itu bergelombang! Seperti air yang disentuh ringan. Hanya saja, cermin itu tidak bisa ditembus seperti air. Rupanya, sentuhan itu membuat si pantulan tersenyum. Aku pun turut senang karena setitik harapan muncul bersama senyumannya itu.

“Halo, Vena!” sapanya padaku. Wah, ia tahu namaku!

“Halo! Kamu Vena juga ya?”

“Ia. Sekarang aku Vena.”

“Sekarang? Memang dulu bukan?”

“Bukan. Dulu aku Inggri.”

“Kukira kamu bayanganku. Jadi, namamu sama denganku.”

“Tidak. Maaf ya, aku mengambil alih tubuh kamu di alam nyata. Jadi, kamu yang menggantikanku di alam itu. Itu berarti, aku tidak pernah menjadi bayanganmu.”

Aku tercengang tidak mengerti. Ia pun mengulang-ulang pernyataannya dengan berbagai kalimat yang berbeda-beda dengan maksud yang sama dan sesederhana mungkin supaya aku mengerti. Aku mengerti apa yang ia maksud. Hanya saja, itu terlalu tidak masuk akal.

Tidak peduli dengan wajahku yang masih tercengang hingga liurku hampir menetes, ia pun melanjutkan dengan bercerita. Katanya, dulu ia juga pernah berada dalam posisiku. Seorang lain mengambil alih tubuhnya juga. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Ia harus menunggu orang lain yang dapat mendengarnya dari balik tembok kelasnya agar dapat kembali ke alam nyata dengan cara mengambil alih tubuh orang itu.

Aku pun teringat. Tembok di belakang bangkuku itu memang berbunyi aneh-aneh. Terkadang seperti suara aktivitas kelas, tetapi di balik tembok itu adalah gudang. Bukan kelas. Terkadang suara orang memanggil-manggil. Padahal, gudang itu telah lama mati fungsi dan dikunci begitu saja. Tentunya semua itu membuatku ngeri, meskipun itu memang menarik perhatianku. Karena aku menunjukkan ketertarikanku dengan menempelkan telinga ke tembok itu ketika di kelas tidak ada orang lain (misalnya ketika aku datang sangat pagi), mantan Inggri menjadi tahu bahwa aku mendengarnya.

Katanya, orang yang bisa mendengarnya adalah orang yang mempunyai akses ke alam ini. Tanpa kuketahui, ia pun telah menarikku ke alam ini dan menggantikan diriku di alamku. Jadi, aku harus melakukan hal yang sama kepada orang lain yang mempunyai persyaratan akses itu agar aku dapat kembali ke alamku.

Karena kukira alam ini adalah alam hantu, aku pun memberanikan diri bertanya, “kok di sini kosong? Hantu-hantu lain mana? Masak sesama hantu gak bisa liat hantu?”

Dia tertawa mendengarnya.

“Itu bukan alam hantu! Hahaha! Dasar! Kamu kebanyakan dicekokin cerita-cerita aneh!”

“Jadi apa dong?”

“Itu alam yang belum pernah ditemukan makhluk manapun kecuali kita yang telah menjadi korbannya.”

Dahiku mengerut dan alis-alisku saling mendekat tanda tak mengerti.

“Seumpama alam itu planet, ini adalah planet yang belum ditemukan makhluk lain. Kita adalah penemunya.”

“Kenapa kita bisa sampai ke sini?”

“Itu kan kejadian berantai.”

“Maksudku, orang yang paling pertama menemukan alam ini. Siapa dia? Bagaimana caranya?”

“Oh, aku menanyakan pertanyaan yang sama kepada pendahuluku!”

“Jawabnya?”

“Ia bercerita tentang seorang murid perempuan dari angkatan pertama sekolah ini. Berarti, saat sekolah ini masih baru.”

Raut wajahku antusias.

“Ia adalah seorang perempuan buruk rupa. Laki-laki maupun perempuan enggan melihatnya. Wajahnya maupun tubuhnya, tak ada yang indah.”

Aku makin antusias.

“Suatu hari, ia jatuh cinta kepada seorang murid laki-laki yang tampan dan populer. Mudah ditebak, ia bagaikan pungguk merindukan bulan. Laki-laki itu sudah mempunyai kekasih yang sangat cantik dan juga populer. Dirinya bagi laki-laki itu hanya mainan. Bulan-bulanannya dan murid-murid lain kala jam pelajaran kosong atau jam istirahat.”

Aku mulai sedih.

“Keputusan perempuan itu adalah bunuh diri.”

Hening.

“Ia menyayat urat nadi di pergelangan tangannya dengan gunting yang ia bawa untuk tugas keterampilan tangan. Saat itu, bahkan tidak ada orang yang menyadari kematiannya. Apalagi, ia duduk sendiri tanpa teman sebangku. Tepat di tempat dudukmu. Sementara, murid-murid lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”

Hening.

“Lalu?” desisku.

“Lalu, si pengajarlah yang akhirnya menyadari hal itu saat hendak memeriksa pekerjaannya. Rupanya, ia menemukan genangan darah di atas meja dan mengalir membentuk genangan baru di lantai.”

Hening.

“Seharusnya, ia pergi ke alam orang mati. Desa Sukamati. Tempat orang-orang yang mati bunuh diri bermukim.”

“Tapi?”

“Tapi, ia tersesat. Ke alam ini. Alam tanpa makhluk lain. Rupanya, alam ini dapat terhubung dengan alam manusia, sehingga kita dapat mendengar hal-hal dari dunia manusia melalui setiap dinding yang ada di sana.”

“Bagaimana?”

“Jika kamu tempelkan telingamu di pasar, kamu akan dengar suara-suara pasar di alam nyata. Di dinding sekolah, suara-suara sekolah. Ia memilih dinding sekolah ini. Tepat pada dinding yang terdekat dengan tempat duduknya. Sebagian penerusnya memilih dinding sekolah juga. Termasuk aku. Ada juga yang memilih dinding pusat perbelanjaan, perkantoran, rumah. Terserah.”

“Semua dinding di seluruh dunia terhubung ke sini?”

“Ya.”

“Berarti, aku bisa keliling dunia di sini?”

“Jika kamu mau. Beberapa pendahulumu melakukan itu.”

“Wah…”

“Ya sudah, aku harus kembali ke alam yang nyata. Kutinggal kamu di sana. Terserah apa yang mau kamu lakukan. Kamu bisa mengambil alih orang lain yang memenuhi syarat, tapi kami tidak bisa mengambil kembali tubuh yang telah kuambil ini karena begitulah peraturannya. Selamat tinggal!”

Ia menghilang. Jadi, aku ini tidak punya bayangan lagi. Aku melihat ke lantai. Memang tidak ada bayangan. Pasti karena aku hanya arwah. Jiwa. Entah apa.

Sekarang aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Keliling dunia atau meneriaki dinding-dinding untuk mencari orang yang dapat mendengarku? Mungkin menikmati kesendirian yang tidak mungkin kudapatkan di alam nyata?

Sambil kupikirkan, kunamai tempat ini: alam dinding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.