05/11/07

rumah

Aku senang pulang ke rumah. Rumah adalah tempat yang menyenangkan. Di rumah ada kamarku yang luas dan indah. Di kamarku ada televisi, komputer, playstation, sound system, dan sebuah lemari yang sangat besar tempat boneka-bonekaku tinggal. Di rumah juga ada seorang adik kecil yang lucu dan menggemaskan. Terkadang, di rumah juga ada ayah dan ibu yang selalu memanjakanku. Tidak lupa, di rumah ada pembantu-pembantu yang sangat baik.

Rumah teman-temanku pun tak kalah menyenangkan. Salah satu temanku mempunyai rumah yang sangat luas. Di sana juga ada dua kolam renang yang sangat mewah dan luas. Temanku yang lain mempunyai cagar alam mini di perkarangan rumahnya. Ada juga temanku yang di rumahnya ada sebuah ruang musik yang besar dan berfasilitas lengkap dengan segala jenis dan model alat musik di dalamnya. Kedua orang tuanya adalah pecinta dan pemain musik klasik. Ada lagi teman lain yang di rumahnya ada perpustakaan pribadi yang jauh lebih luas dan lengkap dibandingkan dengan perpustakaan sekolah. Tidak lupa, seorang teman yang berumah antik dengan segala perabotan antik dari berbagai penjuru dunia. Ayahnya seorang kolektor barang antik.

Itulah mengapa aku tidak mengerti apa yang membuat dia tidak senang pulang ke rumahnya. Aku ingin mendekatinya dan menanyakan hal itu kepadanya, tapi dia seorang penyendiri yang tidak suka bicara. Aku jadi segan mendekatinya. Apalagi, teman-temanku mengatakan bahwa dia bervirus menular, orang miskin (apa itu miskin?), anak haram (apa pula aritnya?), dan banyak lagi. Padahal, dia adalah anak yang pandai. Setahuku, dia bersekolah dengan beasiswa.

Meskipun banyak tuduhan yang ditujukan kepadanya, aku tidak mau mempedulikan itu. Aku tetap ingin mendekatinya, berteman dengannya. Maka, semua temanku yang dahulu telah meninggalkanku. Menjauhiku. Mengecapku sebagai anak bervirus lainnya. Itu semua tidak mempengaruhiku. Aku tetap ingin berteman dengannya. Sayangnya, ia memang benar-benar sulit didekati. Aku selalu diacuhkannya, sehingga aku seperti anak yang tidak punya teman sama sekali. Sekarang aku memang tidak punya teman lagi. Teman-teman lama telah memusuhiku dan teman baruku tidak mau berteman denganku.

Untungnya, suatu saat aku mendapatkan kesempatan yang baik untuk memulai pertemanan dengannya. Saat itu adalah jam istirahat. Setelah jajan beberapa kotak kue dan beberapa gelas air mineral, aku langsung menuju ke kelas. Jauh lebih baik daripada diganggu anak-anak lain di kantin. Begitu sampai di kelas, aku mendapatinya sedang menyendiri di tempat duduknya di pojok kanan belakang kelas. Dia sedang menunduk sambil memegangi, mungkin meremasi, perutnya. Aku langsung menghampirinya dan menaruh sekotak kue di atas meja di depannya. Sejenak dia terkejut, lalu dia membuka kotak itu dan melahap habis isinya. Saat kulihat dia agak kesulitan menelan suapan terakhir yang masih dikunyahnya, aku menaruh segelas air mineral di hadapannya. Tak ragu-ragu, dia langsung merobek selembar plastik yang menutupi bagian atas gelas plastik itu dan menegak habis air di dalamnya. Setelah itu ia bersendawa. Aku menatapnya sambil menahan tawa. Dia sadar dan tersipu malu. Akhirnya, kami tertawa lepas bersama. Sejak saat itu, kami berteman.

Karena kami telah akrab, aku tidak lagi segan menanyakan hal-hal tentang dirinya yang membuatku penasaran. Ia pun selalu dengan senang hati menjawabnya, meskipun aku sering tidak mengerti jawabannya. Misalnya, ketika kutanya hari ulang tahunnya. Satu Januari. Kukira, dia akan mendapat banyak hadiah sekaligus karena merayakan dua hal dalam satu hari. Ternyata tidak. Katanya, keluarganya miskin dan tidak mampu membelikannya hadiah. Ketika kutanya apa itu miskin, dia menjawab bahwa miskin adalah tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhan. Aku hanya mengangguk pura-pura mengerti.

Suatu hari, aku memberanikan diri menanyakan alasannya tidak menyukai rumahnya. Kali ini lain dari biasanya, dia tidak mau membicarakannya. Setelah aku mendesak, akhirnya dia berkata bahwa rumahnya tidak menyenangkan. Dia bercerita bahwa ibunya sangat membencinya. Ibunya selalu menyuruhnya melakukan semua pekerjaan rumah dan ibunya selalu menyalahkannya atas kesalahan-kesalahan yang tidak diperbuatnya. Ibunya juga sering memukuli pantatnya dengan tangkai sapu ijuk.

Aku tercengang mendengar semua itu. Aku mengutarakan pemikiranku bahwa ibunya itu bisa jadi bukan ibu kandungnya. Seperti di sinetron-sinetron. Dia membantah. Aku tidak percaya. Dia meyakinkanku. Dia bilang, ibunya membencinya karena dia adalah anak haram. Ibunya bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Aku lebih keheranan lagi. Dia memberitahu bahwa ibunya seorang pekerja seks. Aku tidak mengerti. Dia bilang, suatu saat nanti, aku akan mengerti. Aku mengangguk saja.

Setelah itu, aku ingin mengunjungi rumahnya. Aku ingin tahu rupa ibunya yang jahat itu. Dia melarangku. Katanya, jika aku telah mengunjungi rumahnya, aku tidak akan lagi mau berteman dengannya. Aku bilang, aku akan tetap berteman dengannya sampai kapan pun. Aku berjanji. Kami saling mengaitkan kelingking.

Kami berjalan bersama menuju rumahnya. Rumahnya terletak di ujung jalan sempit. Sebelumnya, aku tidak pernah tahu ada jalan sesempit itu dan ada tempat seperti itu. Sampai di rumahnya, aku tercengang karena rumah itu tidak bersih dan tidak lebih besar dari kamarku. Gerbangnya pun seperti sekat untuk tempat bermain adik kecilku. Kecil dan rendah. Dia memperkenalkan rumahnya. Aku masih tercengang.

Dia tampak kesal, lalu menganjurkan agar aku kembali ke sekolah saja untuk menunggu supirku datang menjemputku. Dia menawarkan diri untuk mengantarku sampai ke sekolah. Karena hawa rumah itu membuatku tidak ingin masuk, aku mengikuti anjurannya untuk kembali ke sekolah.

Tak lama setelah sampai di depan gerbang sekolah, mobil sedan hitamku telah sampai di depanku. Aku masuk. Ternyata ada ibu di dalam. Kelihatannya ia baru saja berbelanja pakaian.

“Kok kamu gak tunggu di dalem aja, Sayang?”

“Aku gak sabar pengen pulang, Bu.”

Ibu mengelusi keningku.

2 komentar:

  1. home sweet home..
    seperti membaca cerpen yang memakai tutur bahasa dari sudut pandang orang ketiga. baru kali ini nemu kayak gini.. keep writing y

    BalasHapus
  2. wah, makasi yah...
    mampir lagi lain kali..

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.