25/06/10

laut malam

Langit gelap, seperti malam-malam yang telah lalu. Setitik dua titik bintang berkelip, lainnya sekedar bertabur. Awan hitam menutupi bulan bulat. Angin musim dingin menikam-nikam kulit. Kakiku terbenam dalam pasir yang hanyut ditarik ulur ombak. Kutarik kedua kakiku, lalu aku berlari, ke laut. Aku berenang, menyelam, di laut.

Aku berlari sampai air mencapai dadaku, kutarik napas dalam-dalam, dan aku pun menyelam. Terus mengayuh dan menendang ke arah yang lebih dalam. Kubuka mataku, perih. Di depanku, adikku. Juga berenang, menyelam, melambai dan tersenyum kepadaku. Aku berenang mendekat ke arahnya. Rambut hitam pekatnya melambai-lambai, mata hitamnya, hitam benar-benar hitam, berkedip-kedip, kulit putihnya sungguh putih, gaun hitamnya berjuntai dan melambai-lambai. Ia seolah menyatu dengan arus dan ombak. Ia tersenyum. Kami berpelukan. Ia sedingin batu karang.

Aku terbangun. Seluruh tubuhku basah. Matahari terik, menyinari pasir putih. Pasir-pasir putih menempeli tubuhku yang basah. Aku mencari kamar mandi. Membasuh diriku, lalu pulang.

Aku berjalan menuju halte bus terdekat, lalu melambaikan tangan, sebuah bus berhenti. Sang sopir menatap aku yang basah kuyup.

“A ticket to City, please.”

“Three dollars.”

“Thank you.”

Aku duduk. Bangku yang kududuki menjadi basah. Beberapa penumpang lain menatapku sejenak. Lalu kembali ke lamunan, buku, dan ponsel masing-masing.

Aku menatap ke luar jendela. Melamun. Tawa adikku bergema dalam telingaku. Musim panas tahun lalu, Ayah, Ibu, dan Adik datang menjengukku dari Indonesia ke Australia. Adikku sedang liburan panjang pergantian semester. Saat itu, ia kelas 2 SMA. Satu setengah tahun kemudian, seharusnya ia datang melanjutkan kuliahnya di sini. Setengah tahun lagi, seharusnya ia datang, mempersiapkan kuliahnya tahun depan.

Musim panas tahun lalu, di bandara, aku menyambut Ayah dan Ibu dengan pelukan hangat, dan adikku dengan tatapan dan “halo”. Ia tersenyum dan membalas sapa “halo, Kak”. Sejak kecil, kami tidak pernah akur. Aku benci padanya. Ia selalu berusaha meniruku dan aku tidak suka ia meniruku. Ayah dan Ibu suka membanding-bandingkanku dengannya, dan mereka tidak pernah adil.

Lamunanku bertambah jauh. Bertahun-tahun lalu, di rumah kita di Jakarta, di Indonesia. Aku berumur 7 tahun, adikku 4 tahun. Kami berdua bermain-main di dapur, sambil memperhatikan Ibu membuat kue. Aku melihat tepung-tepung bertaburan di atas meja. Aku ingat iklan kosmetik di televisi. Kuluruskan telapak tanganku, kuraih tepung yang bertebaran di atas meja, lalu kuoleskan di wajahku. Sebelah wajahku menjadi putih. Aku kaget karena tiba-tiba Ibu memukul tanganku.

“Jangan mainan tepung!” teriaknya.

Wajahku memerah. Aku menahan tangis. Adikku tampak sedih. Ia ingin menemaniku. Ia mencolek sedikit tepung dari meja dengan telunjuknya, lalu ia mengoleskannya di wajahnya. Satu garis putih terbentuk di sebelah pipinya. Ibu tersenyum melihat hal itu. Ia ikut mencolek sedikit tepung, lalu mengoleskannya ke hidung adikku. Lalu Ibu tertawa. Adikku menoleh kepadaku dan menatapku. Wajahku merah, marah. Adikku tampak sedih.

Kurasa, aku tidak pernah mengerti bahwa adikku selalu mengidolakanku. Aku selalu melihatnya sebagai anak yang diidam-idamkan Ayah dan Ibu. Bodohnya aku karena aku selalu menyalahkan adikku, yang juga selalu bersedih atas perlakuan Ayah dan Ibu terhadapku. Ia selalu membangkang, menolak perhatian dan perlakuan manis Ayah dan Ibu, dan selalu direspon dengan kata-kata dan perlakuan manis mereka. Aku berusaha menjadi anak baik, melakukan semua yang mereka ingin kulakukan, tetapi aku tidak pernah cukup baik.

Aku turun di sebuah halte dekat apartemenku. Aku pulang, mandi, makan siang, lalu tidur.

Aku memimpikan adikku. Musim panas tahun lalu. Ayah, Ibu, aku, dan Adik, menginap di sebuah hotel. Kami menyewa dua kamar yang tersambung dengan sebuah pintu. Ayah dan Ibu di satu kamar, aku dan Adik di kamar lainnya. Malam yang panas, kami semua terlelap, dibuai pendingin ruangan.

Adik terbangun. Ia membangunkanku.

“Apaan sih kamu? Udah malem! Jangan ganggu! Sana tidur!” bentakku.

“Ke pantai yuk, Kak?”

“Kamu gila?! Malem-malem gini?!”

“Aku mau berenang, Kak!”

“Sinting kamu! Besok pagi aja!”

“Ayo, Kak, aku gak bisa tidur!”

“Pergi aja sendiri! Aku ngantuk!”

Malam itu, bulan bulat mengintip dari balik awan hitam, malu-malu menyapa satu dua bintang yang berkelip, menghiraukan ribuan bintang lain yang hanya bertabur.

Malam itu, ia berenang di laut, terseret ombak besar, menabrak karang, dan ditemukan keesokan paginya. Di atas pasir, dengan kakinya terbenam dalam pasir yang terseret ombak lalu-lalang, dan ia pun diterpa-terpa ombak yang datang dan pergi, membuat kepalanya bergeleng-geleng mengikuti sapuan ombak. Rambut hitamnya yang panjang turut melambai, menyatu dengan irama ombak.

Malam ini, aku kembali ke laut. Menyelam. Ke arah yang lebih dalam dan tidak pernah kembali.

2 komentar:

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.