11/12/09

Jika Aku menjadi Filsuf yang Mati Bunuh Diri

Inilah kenyataan. Masa lalu dan masa kini. Kau tidak berkuasa mengubahnya. Lebih baku dari bahasa. Kau hanya bisa mengubah sikapmu dan pandanganmu terhadapnya, dan kau bisa mengusahakan masa depanmu. Sebatas itu.
Kau bisa membantah, menyangkal, lalu hidup dalam kebohongan. Kau dapat menerima dan berduka. Kau dapat menerima dengan sukacita.


Sungguh kenyataan bahwa Tuhan ada. Ada satu Tuhan yang kita sebut Maha Kuasa. Ratusan manusia menyembahnya dengan berbagai cara, melalui berbagai agama. Namun, ada manusia yang membenci-Nya, yang tidak mengakui keberadaan-Nya, yang tidak peduli tentang-Nya, yang tidak mengetahui apa-apa tentang-Nya, bahkan yang memilih caranya sendiri untuk menyembah-Nya. Sungguh kenyataan bahwa mereka yang tidak menyembah-Nya pun memunyai tuhan untuk disembah. Esensi kehidupan manusia adalah menyembah dan menikmati tuhannya. Tanyakan pada John Calvin.

Apakah Tuhan, apakah uang, apakah kelamin, apakah diri sendiri yang disembah, pasti ada yang disembah. Setiap manusia memiliki inti dan tujuan hidup. Bahkan mereka yang tidak (pernah) memikirkannya. Yang mereka sembah adalah ketidakpastian dan yang mereka nikmati adalah kesia-siaan.

Manusia-manusia ini hidup bersama dalam kemasyarakatannya, keberagamannya, dan kesombongannya. Ketakutannya terhadap perbedaan, egoismenya, kebanggaannya yang berlebihan terhadap dirinya, egosentrismenya. Manusia.

Mereka bercampur aduk dalam kumpulan spesiesnya. Berusaha memenangkan apa yang di mata mereka patut dimenangkan. Mengejar apa yang mereka lihat pantas dikejar. Membunuh apa dan siapa yang menurut mereka harus mati.


Waktu terus berjalan dan akal terus merantau.


Angin sejuk cenderung dingin melewatiku. Aku memejam mata dan menarik napas panjang.
Aku bersandar kepada pagar pendek yang mengamankan manusia agar tidak jatuh ke laut. Aku menatap kepada keramaian, kepada lalu-lalang manusia, kepada organisme-organisme unik dan kompleks, karya tangan Sang Pencipta, Sang Penguasa, Yang Maha Kreatif.

Aku tertawa dalam hati, tersenyum kepada ironi, bertanya kepada Tuhan, mengapakah dengan ciptaanmu, manusia. Apakah sejak awal Engkau menciptakan kami sebagai pemberontak? Aku tidak mendengar jawaban. Manusia tidak lagi mendengar suara nyata dari Tuhan sejak zaman Perjanjian Baru.

Aku berbalik kepada laut, kepada gelombang air dengan sejuta kehidupan di dalamnya. Sydney Opera House di depanku dan Harbour Bridge di sebelahnya. Berdiri berdampingan dalam kemegahan. Saling tersenyum, meskipun tidak saling menyentuh atau berbincang.
Aku tertawa kepada laut, HAHAHAHAHAHA!

Tuhan, kupanggil nama-Nya, seonggok otak, segelintir pengetahuan, dan secuil akal, Engkau berikan kepada manusia, dan jadilah kami angkuh! Kami bahkan merasa melebihi-MU!! HAHAHAHAHA!

Kusadari beberapa orang mulai memerhatikanku tertawa terpingkal-pingkal, tertawa kepada laut. Kepada perairan lepas, aku berbagi lelucon kehidupan.

Kami bahkan terbatas di daratan, kami akan mati jika ditenggelamkan bulat-bulat di daratan, dan kami merasa berkuasa! HAHAHAHAHA!

Aku menunjuk kepada udara, tertawa kepada langit. Kami terbatas di daratan! Di tanah! Udara pun bukan tempat kami! Kami tidak terbang bebas seperti burung-burung di atas sana, dan kami merasa berkuasa! HAHAHAHAHA!

Ya, ya, aku menemukannya di Kitab Kejadian. Engkau memberikan kuasa kepada manusia, mandat. Salah satu keserupaan manusia terhadap-Mu. Kuasa. Kuasa kecil mungil yang Engkau berikan dan kami banggakan secara berlebihan. HAHAHAHAHA!


Betapa lucu hidup ini.


Aku bertumpu kepada lututku karena kakiku telah lemas berurusan dengan tawaku yang tak terhentikan. Satu tanganku menahan perutku yang keram dan mataku bercucuran air mata. Tanganku yang lain bertumpu kepada pagar pembatas.

HAHAHAHAHAHA!!

Aku beribadah, aku berdoa, aku melakukan apa yang Kau katakan baik, dan aku mengerti, dalam setiap kesulitan yang kualami, Engkau merencanakan kebaikan bagiku. Aku mengerti, aku menunggu waktu-Mu, aku tidak mengeluh, aku tidak menuntut, aku hanya berdoa untuk kekuatan, pimpinan, dan kebijaksanaan dari-Mu.

Aku pun berusaha mengerti bahwa Engkau Maha Adil. Keadilan-Mu tergenapi, di dunia dan di akhirat. Orang-orang membenci-Mu, menuntut-Mu, menunding-Mu, karena Engkau tidak mengehentikan perang, genosida, pembunhan, pemerkosaan, penganiayaan, multilasi, kanibalisme, dan semuanya itu. Engkau membuat peraturan bahwa homoseksualitas adalah penyimpangan, tetapi Engkau membiarkan orang-orang lahir dengan penyimpangan itu. Aku berusaha mengerti, bahwa dalam setiap kenyataan, Engkau bekerja dengan cara-Mu.

Apakah kita, manusia ? Debu yang Engkau angkat. Apakah kita, manusia, untuk menuntut ini-itu kepada-Mu. Mengapakah kita, manusia, tidak mampu menyadari betapa banyak yang telah Engkau beri kepada kami.

Aku belajar tentang-Mu. Aku berusaha menyelami-Mu. Aku meminta hikmat, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengertian dari-Mu. Aku tak pernah mampu. Kau tak pernah bersedia memampukanku dan aku tidak pernah mampu mengerti mengapa.


Aku lelah. Aku lelah. Manusia merasa akalnya tak terbatas. Manusia salah. Aku salah. Aku lelah.


Laut, terimalah aku.

Tuhan, ambillah aku.

1 komentar:

  1. Kata katanya bagus, menyiratkan hal yg sesungguhnya ada di dalam diri manusia, namun seringkali di tutupi oleh manusia itu sendiri. :D

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.