06/10/09

hilang*

Aku hanya seorang lain. Tiada arti dan tiada hadir. Hanya sesosok bayangan, terpojok di sudut ruangan. Aku meraung sedih. Mencabik-cabik wajahku yang berkerut-kerut bagai pare busuk. Aku benci kehadiranku. Aku benci dinamika dunia. Aku membenci segala sesuatu.
Namun, aku tidak membenci dia. Justru, dialah yang membuatku membenci segala sesuatu.
Ia tidak salah. Satu-satunya kesalahannya hanyalah kesempurnaannya. Kesempurnaan yang tidak ia percayai.
Ia realistis. Ia mengerti betapa dunia dan isinya tidak mungkin sempurna. Ia mengerti bahwa tidak ada insan yang sempurna di dunia ini. Ia hanya tidak mengerti bahwa setiap titik ketidaksempurnaannya pun adalah kesempurnaan bagiku.
Aku tenggelam dalam silau kilau kehadirannya.
Aku merongrong mengemis kehadirannya dan ketika ia hadir, aku menciut dan bersembunyi dalam kenistaan.
Aku gila mutlak.
Aku mengharapkan eksistensi ujung dunia, aku berharap mencapai ujung dunia, untuk kemudian menghilang di sana.
Atau tengah dunia sudi menelanku?

Ini semua ilmiah. Jatuh cinta, ketidakpercayadirian, gangguan jiwa dan kepribadian, gejolak hormon, dan penolakan. Hanya saja, jika semuanya kau alami secara bersamaan, kau jadi tidak mampu berpikir secara ilmiah, atau paling tidak secara realistis.
Kau akan memandang dunia seperti ini.
Seperti bola besar berputar-putar, membuatmu mabuk, tenggelam dalam hiruk pikuk, tertawa lepas di tengah keramaian, menari-nari di antara gelimangan percik-percik bintang, dan kemudian kau sadar, semua itu tidak nyata. Kau terjatuh ke dalam kegelapan, mencari-cari apapun yang konkrit. Apapun yang dapat kau raih, kau raba, kau pegang, kau lihat, kau dengar. Namun, semua hanya kekosongan dan kau berharap, kamu pun tak pernah ada. Kau berharap, kamu pun hanya kosong.

Aku menatap diriku dalam pantulan cermin di depanku. Aku berbisik memanggil namaku. Aku menatap nanar kepada mataku yang sembab dan bengkak, juga agak merah. Aku memaafkan diriku karena telah menangis begitu parah. Aku mengerti perasaanku. Aku tidak menuntut diriku untuk menjadi wajar atau menjadi kuat. Aku menerima diriku yang lemah, cengeng, pecundang, dan putus asa.
Aku menatap sebilah belati di tangan kananku.
Akankah kupakai untuk membelah leherku sendiri atau lebih baik kupakai untuk membelah lehernya saja?
Ini terlalu kekanak-kanakan dan tidak berpendidikan, tetapi ketika otakmu telah kehilangan rasio, kau menjadi barbar seperti kera. Aku tidak memaafkan diriku untuk itu, tetapi aku juga tidak berusaha mengendalikan diriku. Aku perusak kesejahteraan umat manusia.

Aku akan pergi ke ujung dunia. Aku tidak akan membuat orang-orang takut (atau sedih, jika ada yang sedih jika aku mati). Aku yakin mereka tidak akan meributkanku. Aku yakin aku bukan sesuatu yang cukup eksis untuk diributkan jika tiba-tiba aku menghilang.
Maka aku menghilang. Aku ingin menghilang di ujung dunia, lalu aku akan menghilang dari dunia ini.
Aku berjalan dituntun kakiku. Melewati jalan-jalan besar, menelusuri jalan-jalan kecil, mendaki jalan-jalan menanjak, menuruni jalan-jalan curam, menyeberangi sungai yang deras dan dingin, membiarkan diriku terbawa di sana. Lalu, aku tersadar, aku terkapar dan terdampar di tepi perairan. Tempat di mana tidak tampak tanda-tanda keberadaan manusia, tetapi penuh dengan tumbuhan dan hewan-hewan berbunyi merdu.
Jika aku hidup di sini, betapa aku akan bahagia. Betapa alam ini memanjakan manusia, andai manusia menyadarinya.
Namun, bayangannya menyergap pikiranku. Aku tidak mau hidup di dunia yang sama dengannya. Aku mau pergi. Aku memeriksa tangan kananku. Belatiku tidak lagi ada di sana. Aku mencari cepat ke kiri, ke kanan, ke sekelilingku. Aku tidak menemukannya. Aku menutup wajah dan menangis.
Aku berjalan ke tengah hutan. Berdoa kepada alam agar mengutus beruang, serigala, singa, harimau, atau apapun, untuk memakanku. Nihil. Aku berjalan dengan langkah terseret-seret dengan segala hewan yang kulewati melirik kepadaku, tetapi hanya itu. Hanya lirikan. Tiada respon lebih lanjut. Aku memohon dalam hati kepada mereka agar mereka menyerangku. Mereka hanya menatap.

Malam menenggelamkan matahari, tetapi aku melihat terang selain terang bulan. Aku berjalan ke arah terang itu. Segerombolan anak muda. Mereka sedang berkemah. Mereka membuat tenda di tanah lapang terbuka. Aku terduduk dan tersandar di salah satu pohon di tepi lapangan itu. Aku memerhatikan mereka. Membakar daging dan bersenda gurau. Seseorang muncul dari balik salah satu tenda. Dia.
Itu dia.
Aku menghela nafas, meskipun aku tidak merasakan nafas melewati rongga dadaku.
Sejauh ini pun, ia masih harus hadir di depanku. Aku memejam mata. Aku ingin memejamkan mata untuk selamanya.

Aku membuka mata. Matahari telah kembali merajai langit. Seorang di antara mereka berteriak-teriak dengan ribut. Membangunkan semua orang dan membuatku spontan membuka mata.
Mayat, mayat, katanya.
Semua temannya, termasuk dia, berlari mengikutinya ke tempat di mana ia mengaku melihat mayat. Aku ingin tahu. Aku turut ke sana.
Di sana, aku melihat seorang wanita terbujur kaku dan membiru, dibalut gaun tanpa lengan, selutut, putih, dan koyak-koyak. Rambutnya pendek. Di tangan kanannya, sebuah belati.
Kurasa, aku kenal dia.

3 komentar:

  1. Aku suka sama gaya penulisanmu, mungkin karena kamu suka baca karya sastra kali ya? Hehehe. Tinggal disempurnakan lagi beberapa point dalam cerita di postingan ini, tapi segini juga udah oke kok.

    And one thing: fortunately, I'm not sad right now. Hehehe. Keep writing, ta! I'll be waiting for your new blog-posting. (^_^)

    BalasHapus
  2. When i read this story i feel disturbed, but at the same time i feel sadless pity.

    It's like i see the girl laying right in front of me, hopelessly, suicidally regret her life.

    Tragically, that's the one making this gloomy story good....

    BalasHapus
  3. IBS, makasi yah.. eh, lu selalu pake inisial. insial lu bagus sih. hahaha..
    makasi yah. gw udah lama banget gak baca buku sastra, sehingga jadi tumpul. nunggu jilid ketiga tetralogi dangdutnya putu wijaya gak kuar2. argh.

    jb, it must be u. hahaha... why anonym?
    itz such a hopeless story, rite.
    the ggod news is, i am now tired of this gloomy-thingy. so, this is time for make up! hahaha...

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.