14/08/09

hilang III

Tok tok tok.

“Arien? Arien sayang?”

“Iya, Ma! Masuk aja!”

Terdengar bunyi gagang pintu ditekan dan decit pintu. Pintu ditutup kembali.

Ibu dan anak berpandang-pandangan di kamar si anak.

Ada apa, Ma?”

“Justru Mama yang mau tanya kamu, ada apa?”

“Lho? Memang Arien kenapa, Ma?”

“Harusnya Mama yang tanya.”

Arien terdiam. Menatap wajah ibunya yang teduh.

“Rien, sejak pulang dari Singapur, kamu murung terus. Jarang makan. Sekarang udah tambah kurus. Kamu juga gak jalan-jalan kalo gak diajak Cindy. Di kamar terus. Apa apa, Rien?”

Arien memutar otak mencari alasan.

Ibunya melanjutkan, “papa dan mama khawatir sama kamu.”

Arien berusaha tersenyum meskipun tentu tampak terpaksa. Ia berkilah, “Arien kangen sama opa dan oma.”

Ibunya langsung ceria, “ya ampuuun! Kenapa gak bilang?”. Menyusul tawa wanita elit dari ibunya yang sama sekali tidak berlebihan apalagi kampungan.

“Sekarang ‘kan udah sore banget,” lanjut sang ibu, “gimana kalo besok pagi, kita ke rumah opa-oma?” tak lupa ibunya membubuhkan senyum lebar dan hangat di akhir kalimatnya.

Arien mengangguk pelan.

Dengan lega, sang ibu berjalan anggun keluar kamar.

Arien kembali merenung seorang diri.

Tiba-tiba saja ia terkejut. “Rumah opa-oma kan di Tangerang!” pekiknya lirih.

Tak menunggu lama, ia berlari keluar kamar, mendapati ibunya sedang menyiapkan makan malam bersama pembantu-pembantunya.

“Ma?”

“Iya, sayang?”

“Boleh gak, Arien nginep di rumah opa-oma? Emmm... Seminggu aja!”

“Boleh dong, sayang!”

Wajah Arien langsung cerah. Benar-benar lega dan senang hati ibunya karena hal itu.

Arien kembali masuk ke kamar. Di sana, ia memutuskan untuk tidak mengabari teman-temannya lagi karena menganggap mereka tidak bisa dipercaya dan diandalkan.

***

Dini hari, Arien telah menyiapkan segala keperluannya untuk menginap di rumah oma dan opanya. Ia begitu bersemangat.

Begitu sopir dan mobilnya siap, ia langsung memanggil-manggil ayah dan ibunya.

Ayo, Pa! Ayo, Ma! Cepetan!”

Ayah dan ibunya yang belum siap pun menjadi buru-buru. Ditambah lagi, mereka senang sekali melihat anak mereka menjadi begitu bersemangat, sehingga gerakan mereka pun bertambah cepat.

Sejenak kemudian, semua telah siap. Dalam mobil Kijang hitam mengkilap, seorang sopir duduk di tempat setir, sang tuan pemilik mobil di sebelahnya, sementara sang nyonya dan anaknya di bagian tengah. Bagian belakang berisi barang-barang Arien yang luar biasa banyak.

Jika tanpa macet, tentu mereka lebih cepat sampai. Namun, kemacetan dan waktu yang terbuang tidak sedikit pun memengaruhi suasana hati Arien. Diliriknya sopirnya yang tampak stres ketika turun dari mobil. Juga ayah dan ibunya yang tampak suntuk, tetapi lega karena sudah sampai tempat tujuan. Ia tetap tersenyum ceria.

Mereka semua disambut dengan hangat dan senang oleh tuan dan nyonya rumah, kakek dan nenek Arien. Sejenak, terjadi adegan peluk-pelukan dan salam-salaman. Lalu, semua menyerbu masuk ke ruang tamu.

Sampai sore, ayah-ibu dan kakek-nenek Arien tidak berhenti mengobrol sejak datang, mengemil di ruang tamu, makan siang, menonton televisi di ruang tengah, sampai akhirnya mereka harus pamit pulang.

Ayah dan ibu Arien pulang, sementara Arien tetap tinggal. Ia akan menginap satu minggu di sana. Ia masih mengobrol dengan kakek dan neneknya ketika makan malam dan menonton televisi lagi sebelum tidur.

Ketika telah saatnya tidur, ia masuk ke kamar tamu, lalu berbaring di ranjang yang telah disiapkan untuknya. Mendadak, sebuah pikiran jelek menyelusup ke kepalanya, Tangerang ‘kan luas! Mau cari dia di mana?

Sejenak ia mengutuk-ngutuki dirinya karena merasa bodoh. Tidak lama, karena ia cukup lelah untuk tertidur pulas dengan cepat.

Esok hari, Arien bangun masih dengan tanda tanya besar di kepalanya, BAGAIMANA? Namun, hal itu terobati sedikit setelah sebuah pemikiran muncul bahwa selama ia masih berada di Tangerang, ia akan mempunyai lebih banyak peluang untuk berjumpa dengan Gani.

Ia berlari keluar kamar, mendapati kakek dan neneknya yang masih sehat dan enerjik di umur 70-an. Kakeknya pemilik sebuah ruko di mana ia menjual segala jenis plastik. Dari plastik kemasan sampai perabotan plastik. Setiap hari, sang kakek ke sana untuk mengawasi pekerjaan karyawan-karyawannya dan menjaga tokonya. Sementara, sang nenek aktif di gereja. Menjadi panitia berbagai acara, bergabung dalam paduan suara usia indah, dan bermain piano di kebaktian sekolah minggu. Mereka pun masih begitu mesra dan romantis. Diam-diam, Arien menginginkan hal yang sama untuk dirinya di hari tua. Harapannya, hari tua bersama Gani.

“Ayo, sarapan, Rien!” seru neneknya.

“Iya, Oma.” kata Arien sambil meraih sepotong roti tawar dan memakannya.

“Gak pake selai?” sang kakek menawarkan.

Arien menggeleng, “begini juga enak.”

Semua tersenyum.

“Kakek mau ke toko. Kamu mau ikut?” kakek Arien menawarkan.

“Mauuu!!” pekik Arien.

Arien buru-buru menuntaskan sarapannya, lalu mandi, dan merias diri. Setelahnya, ia menghampiri kakeknya yang telah menunggu di teras sambil membaca koran.

“Ayo, Opa!”

Kakeknya tersenyum. “Pamit dulu sama Oma.”

Arien hendak berlari masuk, tetapi baru berancang-ancang, neneknya telah muncul dari pintu depan. Arien langsung memeluk neneknya dan mencium pipi neneknya. Sebuah ciuman kencang dan basah menyerang pipi si nenek. Nenek tertawa saja.

“Aku pergi yah, Oma!”

“Iya, sayang.”

Gantian sang kakek mencium dahi nenek dengan lembut dan hangat. Lalu mereka saling melambai. Setelah beberapa langkah, beranjak dari rumah, terdengar suara sang nenek, “hati-hati di jalan!”.

Arien dan kakeknya berjalan kaki ke sebuah perempatan dekat rumah kakek-neneknya untuk menumpang angkutan umum sampai ruko kakeknya.

*

Di ruko kakeknya yang sederhana dan sumpek dengan berbagai jenis plastik, juga bau plastik, Arien kepanasan karena di sana tidak ada pendingin ruangan. Ia mengipasi wajahnya dengan selembar karton bekas. Ia beruntung karena kelenjar keringatnya tidak hiperaktif, sehingga ia tidak harus berbasah-basah karena keringat meskipun dahinya sedikit berkilau karena keringat.

Arien sebenarnya telah membawa sebuah novel untuk ia baca sewaktu-waktu jika bosan. Namun, penerangan di sana rupanya kurang, sehingga ia tidak nyaman membaca di sana. Ia memberitahukan hal tersebut kepada kakeknya, sehingga kakeknya memanggil salah satu kuli pengangkat barang untuk memasangkan bola lampu baru. Awalnya, Arien acuh tak acuh dan tidak sabar, tetapi ketika melihat yang memasang lampu itu, dadanya jadi bergejolak. Ia mengenal kuli itu.

Saat Arien memerhatikannya, kuli itu belum menyadari kehadiran Arien. Ia telah beberapa hari bekerja di deretan ruko itu. Sebagai apa saja. Juga telah beberapa kali ia bekerja kepada kakek pemilik toko plastik itu, tetapi selama ini kakek itu selalu datang seorang diri, sehingga ia juga tidak memerhatikan ketika kakek itu membawa seorang cucunya yang masih gadis.

Selesai memasang bola lampu, ia hendak turun dari tangga lipat yang dinaikinya. Ia menoleh ke bawah, mencari pegangan, tetapi ia melihat sepasang mata zaitun indah sedang menatapnya. Ia begitu terkejut, sehingga ia terjatuh dan membuat kegaduhan.

1 komentar:

  1. wahh.. panjang juga ceritanya..
    izin copas dulu baru komen ya.. i'll be back..

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.