01/05/08

endin

Endin berjalan kaki ke sekolah. Memang sekolahnya tidak jauh dari rumahnya. Hanya butuh satu belokan untuk sampai di sana melalui jalan terdekat. Sebuah sekolah menengah atas yang sederhana sederhana, kecil, tidak elit, tidak terkenal. Terpencil di sebuah gang buntu.

Sebenarnya, sekolah itu condong bobrok. Hal pertama yang tampak adalah pagarnya yang tidak mungkin mengurungkan niat seorang maling (yang mengurungkan niat maling adalah kenyataan bahwa sekolah itu tampak miskin). Berikutnya, dinding dengan cat koyak-koyak. Mungkin terakhir kalinya dicat adalah sepuluh tahun lalu. Suasana kelas? Aku tidak yakin suasana seperti itu akan baik untuk kegiatan belajar mengajar. Ruangan kecil, diisi deretan bangku dan meja kayu yang telah lapuk, berlubang-lubang, dan penuh coretan. Sebuah lemari seperti telah siap untuk ambruk di salah satu sudut kelas. Meja guru, satu-satunya yang tidak rapuh, dengan taplak yang telah berdebu dan vas bunga lengkap dengan bunga palsu yang juga telah berdebu. Papan tulis hitam. Astaga! Mereka masih menggunakan kapur tulis! Lalu, jendela kaca yang kaca-kacanya berbentuk persegi panjang dan bersusun secara vertikal. Jendela-jendela itu telah ompong. Oh, pintunya! Itu sudah tidak dapat difungsikan lagi. Gagangnya saja tidak ada!

Akhirnya, seorang guru masuk. Guru itu tampak begitu lesu. Mungkin sedang sakit. Selembar tisu tergenggam di tangannya. Mungkin sudah dipakai berkali-kali untuk menampung ingus yang keluar dari hidungnya yang merah itu. Sang guru menuliskan beberapa hal di papan tulis. Soal-soal matematika yang sebenarnya terlalu mudah bagiku. Oh, hari ini mereka ujian! Murid-murid mengeluarkan kertas jawaban ujian dan mulai mengerjakan soal-soal yang terpampang di papan tulis. Aku terpana menatap salah satu kertas ulangan yang terdekat denganku. Pada bagian atas kertas itu, sederetan huruf dan angka menerangkan alamat sekolah itu. Jakarta, kotanya. Aku tercengang. Rupanya, masih ada sekolah semacam ini di Jakarta! Aku merasa seperti katak dalam tempurung!

Ah, itu dia Endin -entah bagaimana aku tahu namanya. Ia mengerjakan soal dengan serius. Dahinya sedikit berkerut dan alisnya saling mendekat. Di sebelahnya duduk seorang murid laki-laki. "Ssst!" seru laki-laki itu berulang kali sebelum akhirnya mencolek bahu Endin. Ia bermaksud untuk meminta contekan. Endin tidak memberikan contekan. Ia merasa konsentrasinya terganggu. Wajahnya ditekuk. Tiba-tiba saja ia mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, sehingga si guru mengalihkan perhatian kepadanya.

"Bu, dia minta contekan terus sama saya!" teriaknya kepada sang guru sambil menunjuk laki-laki itu.

Guru itu lalu mengalihkan pandangannya kepada si laki-laki. Laki-laki itu tidak mampu menutupi rasa terkejut dan gelisahnya. Ia salah tingkah. Apalagi, saat sang guru mendekati mejanya. Mimiknya terbaca jelas oleh sang guru. Sang guru semakin yakin ketika melihat kertas tes yang kosong melompong di mejanya. Maka, laki-laki itu dipersilahkan keluar. Ia tidak berhak mengikuti ujian dan berhak atas sebuah angka nol untuk nilainya kali ini.

***

Pada jam istirahat, murid laki-laki itu menghampiri Endin yang tidak pernah beranjak dari kelas untuk jajan karena ia selalu membawa bekal dari rumah. Si laki-laki tampak marah.

"Heh, tukang ngadu!" seru laki-laki itu sambil menggebrak meja Endin.

Endin tak tampak terkejut sama sekali. Dijawabnya dengan santai, "salah sendiri gak belajar".

Sungguh hal tersebut membuat laki-laki itu marah. Namun, sebelum ia dapat melampiaskan amarahnya, perhatiannya telah teralih kepada sebuah suara dehem berat yang sangat familiar baginya maupun bagi Endin. Mereka berdua menoleh ke arah yang sama. Di sana, seorang pria paruh baya berkepala setengah botak dan berkumis tebal sedang menatap laki-laki yang memarahi Endin itu dengan raut yang dapat dipastikan tidak senang. Laki-laki itu cepat-cepat menunduk.

Tak lama kemudian, tampak pria paruh baya itu berjalan cepat keluar dari kelas itu diikuti seorang murid laki-laki di belakangnya. Tak lama setelahnya di ruang guru, murid laki-laki itu telah diceramahi sang pria paruh baya yang disebutnya sebagai "Pak Guru". Pak Guru menyatakan kekecewaannya pada murid laki-laki itu karena muridnya itu tidak menghargai kesempatan pendidikan yang telah dikaruniakan kepadanya.

***

"Eriiiiiinnn!!!! Baguuuun!!! Kamu udah kesiangan nih!" terdengar pekikan oktaf kesembilan yang langsung manjur mengangkat jiwaku dari alam mimpi.

"Iya, maaa!" balasku.

Kukucek-kucek mataku yang telah disarangi kotoran mata berbagai ukuran. Aku bangkit dari ranjangku perlahan-lahan lalu berjalan gontai menuju kamar mandi di kamarku. Kunyalakan shower yang kuartur agar mengucurkan air hangat, lalu aku mandi. Setelah aku keluar dari kamar mandi, aku bersiap untuk mengenakan seragam sekolah dan berdandan.

"Cepetan, Riiin!! Mama gak mau dipanggil lagi sama wali kelas kamu cuman gara-gara kamu sering telat! Malu tauk!!" lagi-lagi Mama mengomel.

"Iya!" jawabku sekenanya.

"Kamu tuh udah mahal-mahal disekolahin di sekolah yang bagus, bukannya sekolah dengan bener, malah males-malesan!" Mama melanjutkan omelannya.

Sejenak, kata-kata itu membuat desiran kecil di hatiku. Sejenak, terlintas sebuah nama dalam kepalaku. Sejenak, nama itu kubisikkan, "Endin...".

"Riiiinnn!!! Ayo dong!!"

"Iya, Ma! Bentar!!"

Cepat-cepat kusambar tasku yang terletak di meja belajar yang tak jauh dari ranjangku. Aku berlari keluar dari kamarku yang terletak di lantai dua. Aku pun berlari menuruni tangga menuju ruang makan di mana Mama telah menungguku bersama roti panggang berselai coklat dan segelas susu.

"Cepetan makan," sambut Mama sesampaiku di meja makan.

Saat aku tengah mengunyahi roti di dalam mulutku, muncul seorang wanita paruh baya yang tidak kukenal dari dapur membawakan jus buah campur-campur untuk Mama. Baru aku teringat bahwa pembantuku selama ini, Mbak Yati, telah kembali ke kampung untuk menikah.

"Rin, ini pembantu baru kita, Mbok Jah. Mbok, ini anak saya, Erin."

Aku mengangguk pada Mbok Jah dan Mbok Jah membalas anggukanku dengan anggukan juga. Kami sama-sama melakukannya dengan seulas senyum tipis yang agak terpaksa.

"Anaknya Mbok Jah sekalian Mama pekerjakan jadi pembantu kita. Biar rumah kita tambah kinclong," Mama melanjutkan, "anaknya seumuran lho sama kamu".

"Mana?" tanyaku singkat karena mulutku masih penuh dengan roti panggang.

Setelah menyeruput beberapa teguk jus, Mama memanggil anak Mbok Jah "Diiiin!".

Sejenak saja, tampak seorang perempuan berkulit hitam, berambut panjang berombak, berlesung pipit, dan berwajah manis berjalan cepat agak berlari masuk dari kebun belakang rumahku. Aku merasa familiar dengan perempuan yang tengah tersenyum padaku itu.

"Din, ini anak saya, Erin."

Anak Mbok Jah itu mengangguk padaku tanpa menghentikan senyumnya.

"Saya Endin, Non," ia memperkenalkan diri sebelum Mama melakukan hal itu untuknya.

1 komentar:

  1. wah.. ci areta bener-bener jago banget yh.. keren2 smuaaaa.. hehehe..
    keren!!!

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.