17/01/08

jijik

Aku tidak membencinya, tapi aku jijik padanya. Aku jijik setiap kali melihatnya, mendengar suaranya, bahkan ketika aku memikirkannya, membayangkan wajahnya. Dahulu, aku dapat menerima segala kelakuannya yang kampungan dan wajahnya yang buruk rupa. Namun, sekarang tidak lagi. Setampan apapun dia dan sebaik apapun prilakunya, aku tak dapat mentoleransi rasa jijikku kepadanya.

Baiklah, aku tahu betapa membosankan jika aku hanya membicarakan rasa jijikku padanya secara panjang lebar tanpa menceritakan mengapa aku begitu jijik padanya.

Awalnya, aku mengenalnya dari dunia maya. Sebuah situs pertemanan mempertemukan kami karena persamaan selera musik kami. Dari sana, kami mulai akrab sebagai online buddy. Lalu, kami mulai bertukaran nomor telepon. Kami mulai saling mengirim pesan pendek, lalu saling menelepon. Semua begitu mengalir sampai suatu saat kami memutuskan untuk bertemu muka. Ternyata, kami sangat cocok dan cepat akrab satu sama lain.

Ia memang kelihatan malu-malu pada mulanya, tapi ia sangat baik. Ia tidak pernah membiarkanku membayar makanan sendiri jika kami berpergian bersama, ia sering membelikanku benda-benda yang kubutuhkan, ia banyak memberiku hadiah, ia juga sering mengisikan pulsaku yang cepat habis karena harus menjaga kelangsungan komunikasi dengannya. Apalagi, kami berhubungan jarak jauh dan kami berdua sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing, sehingga kami tidak bisa sering bertemu.

Hal itu terus berlanjut, sampai suatu hari ia menyatakan perasaan cintanya padaku. Ia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Tentu, saat itu aku sangat terkejut. Apalagi, aku tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Aku memang menyayanginya, tetapi sebagai seorang saudara. Namun, aku tidak menolak permintaannya. Selain tidak tega, aku juga berpikir bahwa menjalin hubungan dengannya adalah semacam kesempatan untukku.

Ternyata, perasaan semacam yang dia rasakan kepadaku sangat penting. Aku baru menyadarinya setelah hubungan itu berlangsung agak lama. Saat itu, ia mulai suka menyentuhku dengan cara yang hanya dilakukan orang-orang yang saling mencintai secara intim. Bahkan, bagiku, hal itu baru pantas dilakukan ketika sepasang manusia telah diberkati di bawah pernikahan.

Awalnya, sebagai orang yang tidak mempunyai rasa cinta semacam itu untuknya, aku sama sekali tidak mau membiarkannya melakukan itu padaku. Namun, paksaannya yang halus, pelan, tapi pasti telah menyeretku perlahan-lahan ke arah itu. Itulah yang terjadi, sehingga suatu hari aku memutuskan untuk tidak pernah mengunjungi rumahnya lagi. Rasanya, setiap kali dia menjemputku untuk bertamu ke rumahnya, aku seperti sapi yang sangat tahu bahwa sebentar lagi aku akan dimultilasi di rumah penjagalan.

Perlahan-lahan, aku membatasi hubunganku dengannya. Membatasi, menghapus, memisahkan. Aku ingin lepas darinya. Aku tahu ia tidak akan menerima itu. Makanya, aku melakukannya diam-diam. Sama sekali tidak pernah membicarakan hal ini kepadanya.

Pertama, aku beralasan bahwa aku tidak dapat mengunjungi rumahnya lagi karena tempat itu sangat jauh dan aku akan pulang terlalu larut, sementara aku selalu sibuk esok harinya. Kedua, aku mengurangi perlahan-lahan frekuensi saling bertelepon hingga tidak pernah lagi. Ketiga, aku berusaha menuntaskan segala urusan antara kami berdua yang belum terselesaikan. Keempat, aku juga mengurangi frekuensi saling mengirim pesan pendek sampai tak pernah lagi.

Perlahan-lahan, bertahap, dan butuh kesabaran. Akhirnya, kami sama sekali kehilangan komunikasi. Aku merasa berhasil. Aku telah lolos dari tukang jagal. Aku tidak jadi mati dipotong-potong. Aku lega, bangga, dan bahagia.

Namun, sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Perlahan-lahan, memori akan hal-hal busuk yang dahulu kulakukan bersamanya muncul kembali. Tampil begitu saja dalam layar ingatanku. Begitu jelas. Mengganggu aktivitasku sehari-hari, mengganggu pekerjaanku, mengganggu ketenangan batinku, dan mengganggu kewarasanku.

Andai aku bisa menundingkan segala kesalahan itu kepadanya, tetapi tidak. Nyatanya, aku juga berandil dalam kenajisan itu. Aku telah pasrah, aku telah menurut, aku telah membiarkannya. Yang paling buruk, aku juga menikmatinya. Andai aku tidak punya libido sebesar itu, tapi kenyataannya sedikit picuan saja darinya dapat membangkitkan birahiku. Bodohnya.

Aku jijik. Aku jijik. Aku jijik. Aku benar-benar tak dapat mengusir bayangan-bayangan itu dari retinaku. Aku mengingat semua itu dengan jelas. Perbuatannya, rasanya, nikmatnya, dan aku jijik!

Aku berusaha menghilangkan semua itu dari penglihatanku. Aku ingin membuangnya. Aku benturkan kepalaku ke dinding kamarku. Aku ingin ingatan itu rontok bersama gempa dalam kepalaku. Kubenturkan. Kubenturkan. Makin kuat. Makin kuat. Tembok bata yang keras, bantu aku.

Aku merasa ringan. Sangat ringan. Seperti melayang. Melayang. Mengambang. Terbang. Naik. Naik. Mungkin perasaan ini yang membuat para pemakai obat-obatan terlarang menjadi kecanduan. Entahlah. Ah… Aku mendekati atap rumahku. Aku melewatinya. Aku sejajar dengan pohon-pohon tinggi. Hei, aku setinggi puncak monas! Oh, aku lebih tinggi darinya! Aku telah menembus awan. Ke luar angkasa kah aku menuju?

*

“…seorang wanita ditemukan tewas di kamarnya. Diduga ia tewas bunuh diri akibat stres. Diduga juga ia stres karena dipecat dari pekerjaannya oleh karena kelalaiannya sendiri…”

3 komentar:

  1. Anonim1/17/2008

    Hiiiii....
    aku bacanya jadi merinding..
    jangan sampe deh kita-2 kayak gituh....
    biarin hidup menderita... asalkan tidak membunuh jiwa kita sendiri sebagai amanat dari Yang Maha Kuasa...

    *Hemm... pelajaran berharga,,, berarti aku hrs menjadi orang yg byk bersyukur....*

    Thx areta... :)

    BalasHapus
  2. Anonim1/19/2008

    Lho, ternyata cuma fiksi, ya? Saya kok jadi ikut sedih tadi :P Gaya tulisannya itu, lho

    BalasHapus
  3. Anonim1/22/2008

    antar pulau, makasi yah... rajin sekali bertamu ke sini. saya juga sudah jadi warga pulau sih... hehehe...
    yah, hidup selalu punya sisi baik dan buruk. sayang, gak semua orang memandang sisi baik itu. yang dilihat melulu yang buruk. jadi gak punya harapan dan merasa terlalu menderita. yang penting, kita gak begitu (ngikut2)... hehe..

    mardies, lho?
    saya pengen ketawa juga jadi gak enak... di blog ini semua ceritanya fiksi. maap tho, mas mardies, saya udah bikin sedih.

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.