17/09/07

anjing*

Majikanku yang baru berumur 15 tahun itu adalah majikan yang paling sering meluangkan waktunya untukku di rumah ini. Ia cantik, cerdas, dan baik hati. Aku sangat menyukainya. Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa aku bukan anjing biasa.

Usaha pertamaku adalah dengan menunjukkan berbagai ekspresi pada wajahku yang tidak dapat ditunjukkan oleh anjing manapun. Anjing-anjing lain hanya dapat menggunakan bahasa tubuh dan terutama ekor mereka sebagai alat komunikasi. Aku dapat memasang tampang memelas saat lapar atau menginginkan sesuatu, tersenyum saat diberi makan atau keinginanku terpenuhi, sedih saat ia menceritakan masalah-masalahnya, marah saat ia mengacuhkanku karena tugas-tugas sekolahnya, dan banyak lagi.

Sayang sekali, aku adalah anjing pertama yang dipelihara olehnya, sehingga ia mengira hal-hal tersebut adalah wajar karena anjing merupakan salah satu mamalia terpandai dan bersahabat dengan manusia.

Aku tidak putus asa. Aku berusaha membantunya dalam setiap pekerjaannya di rumah. Aku mengambilkan sandal untuknya saat ia tiba di rumah, aku mengambilkan tasnya saat ia hendak berangkat ke sekolah, aku membawakan buku-bukunya saat ia hendak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru sekolahnya, aku bisa membantunya mencarikan barangnya yang hilang, aku membangunkannya di pagi hari jika alarm ponselnya tidak mempan mengangkatnya dari alam mimpi, terkadang aku bahkan membawakan keranjang sampah kepadanya ketika ia hendak membuang sampah.

Paling tidak, kali ini ia tidak lagi menganggapku wajar. Baginya, aku adalah anjing yang sangat pandai. Seperti anjing-anjing di film-film barat. Sayangnya, aku tetaplah seekor anjing saja baginya. Aku tidak puas.

Baiklah, aku tidak akan makan makanan anjing lagi! Ketika ia memberiku makanan anjing, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Ia menjadi kalang kabut. Ia mengunjungi semua toko hewan yang dapat dikunjunginya untuk membeli berbagai jenis dan merek makanan anjing, tapi tidak mendapat sambutan yang baik dariku. Aku sangat lapar, tapi aku ingin ia sadar, aku bukan anjing biasa.

Ia duduk terkapar di atas sofa ruang tengah dengan wajah lesu. Menyerah. Kemudian, dengan sempoyongan ia menghampiri lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa potong pizza dingin dari sana, lalu menghangatkannya dengan microwave oven. Setelah itu, ia telah siap menyantap, tapi aku menggonggonginya.

“Apa?” katanya.

Aku menggonggong lagi.

“Gak usah sirik! Siapa suruh, dikasih makan gak mau! Biarin lo laper! Gue mau makan!”

Aku menggonggong lagi, lalu mengigit dan menarik-narik kecil unjung celananya.

“Apaan sih? Lo mau neh?” ia membentak, lalu menyodorkan sepotong pizza ke depan moncongku.

Tanpa basa-basi, kuterkam makanan itu dan kusantap penuh nafsu. Ia terkejut dan agak bingung, tapi kemudian ia memberiku sepotong lagi. Lama-kelamaan, ia terbiasa memberiku makanan manusia. Akan tetapi, aku hanya seekor anjing yang makan makanan manusia baginya. Itu tidak cukup!

Aku bertekad, aku akan belajar menulis. Membaca dan berhitung adalah perkara mudah, tetapi menulis dengan empat kaki ini atau mocong ini sangatlah sulit. Aku akan belajar!

Aku berhasil! Aku menulis beberapa kalimat dengan moncongku di ubin kamar majikanku dengan spidol papan tulis yang sembarang kucomot dari meja belajarnya. Majikanku terkejut dan jatuh terduduk karena lemas. Tak lama setelah itu, ia meminta pembantu-pembantunya membuangku. Karena aku memberontak, ia meminta bantuan sopir, tukang kebun, dan satpam untuk menarikku keluar dari rumah itu. Aku ditendang keluar dari rumah itu dengan keadaan luka-luka.

Tertatih aku berjalan menyeberangi jalan untuk berteduh di bawah pohon yang agak rindang di depan rumah itu karena hujan mulai menitiki tanah. Tak lama setelah itu, hujan deras menghujami bumi. Aku kedinginan dan kesepian. Aku melolong panjang. Aku ingin sekali kembali ke rumah itu, tapi aku tahu majikanku tidak akan pernah menerimaku kembali. Aku pasti telah menakutinya. Aku mendengar sendiri ia memekik, “aku gak mau pelihara anjing lagi!”.

Meskipun begitu, semangat dan rinduku tak terpatahkan. Biarpun dihantami dingin dan kerasnya hujan, aku tetap bertekad menyeberangi jalan untuk menghampiri rumah majikanku. Sayang sekali, mobil pacar majikanku melesat cepat dan mengahantamku di tengah jalan. Aku terpental dan mendarat kembali di tanah dengan keras, sehingga sebagian tubuhku tercecer.

Aku tidak jadi menghampiri rumah mantan majikanku. Aku tidak bisa. Aku hanya mampu menatapi tubuhku yang tercecer dengan darah yang mengalir deras bersama air hujan yang menuruni jalan ke selokan. Aku terapung dan melayang jauh ke atas. Bertemu dengan majikan baruku, Nabi Musa.

***

Majikanku yang cantik jelita,

janganlah anggap aku hewan

Meskipun tubuhku terperangkap dalam tubuh anjing pointer ini,

aku mempunyai jiwa berakal budi yang tidak dimiliki hewan manapun

Jiwa manusia

Aku adalah manusia yang terperangkap dalam tubuh hewan

Sungguh, aku pernah menghuni tubuh manusia

Hanya saja, ibuku mengutukku ke dalam tubuh yang tidak praktis ini

hanya karena aku membunuh ayahku yang bejat

Apa yang salah dengan membunuhnya?

Tidak penting

Yang penting, aku adalah seorang manusia yang jatuh cinta kepadamu

*)terinspirasi dari Buntut-Buntutnya… by Miund.

2 komentar:

  1. Anonim9/24/2007

    Salam untuk si guguk malang yang telah bergaul dengan orang bebal :D

    BalasHapus
  2. salam balik dari si guguk...
    makasi atas kunjungan paman.

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.