10/09/07

zahza

Zahza adalah seorang guru Sejarah di sekolahku. Ia orang yang sangat kaku. Ia tidak pernah menunjukkan ekspresi dari sebuah emosi di wajahnya, gerak-geriknya seperti mesin, bicaranya berintonasi datar, dan ia mengajarkan persis apa yang ada dalam buku paket pelajarannya. Bahkan kegiatan dan tugas untuk murid-murid pun merupakan salinan mentah dari buku paket (murid-murid menyebutnya “guru text book”).

Berhubung aku mendapat tempat kehormatan di dalam kelas, yaitu bangku paling tengah dan paling depan, aku berada di posisi paling dekat dengannya dibanding murid-murid lain ketika ia sedang mengajar. Daripada bosan selama pelajaran, sementara tidak mungkin tidur di tempat strategis itu, aku lebih baik memperhatikan raut wajahnya daripada pelajaran yang disampaikannya. Toh, semua yang ia lisankan ada versi tulisannya di buku paket yang kumiliki. Dari raut wajahnya yang tanpa ekspresi, tampak lajur-lajur, jalur-jalur, jalan-jalan, garis-garis, keriput-keriput, terserah bagaimana menyebutnya.

Ada sesuatu yang kusukai dari jalur-jalur itu, yaitu perjalanannya. Sebenarnya semua hanya imajinasiku, tapi lebih menyenangkan berimajinasi tentang sejarah hidupnya melalui keriputan di wajahnya daripada sejarah Indonesia melalui pelajaran lisan darinya. Sungguh, di sana ada banyak hal. Ada garis-garis tipis ketika hidupnya sedang ringan, ada garis-garis dalam ketika hidupnya berat, ada juga jebolan dalam ketika hidupnya sedang jatuh.

Bagian menarik mulai di tengah-tengah sejarah kehidupannya, yaitu pengalaman pertama ia mengajar sebagai guru Sejarah.

***

Ini adalah hari pertama saya mengajar sebagai guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas Genteng. Rasanya senang sekali! Saya membayangkan murid-murid dengan wajah manis yang akan saya ajar dan saya sayangi. Persis sebagaimana dulu guru-guru saya menyayangi saya. Saya ingat, saya tidak pernah berbuat nakal, sehingga saya yakin bahwa murid-murid saya sekarang juga akan bersikap seperti saya dulu.

Benar saja, mereka sangat tenang ketika saya mengajar. Mereka semua memperhatikan dan mencatat. Tidak ada yang berkomentar untuk melucu, tidak ada yang berbuat onar, tidak ada melawan perintah saya, semua sesuai dengan harapan saya.

Hanya saja, ketidakadaan variasi ini membuat saya bosan. Semua murid saya mirip mesin pencatat gelombang suara dari saya. Saya berkali-kali mencoba berkembang dari buku. Saya mencoba bercerita tentang hal-hal yang dapat mereka temui dengan mudah dalam kehidupan mereka sehari-hari, tapi masih berhubungan dengan materi yang saya ajarkan. Sayangnya, mereka tidak merespon. Mereka terus mencatat apa yang saya tulis di papan tulis dan apa yang saya katakan.

Selanjutnya, saya mendapat ide untuk tidak menulis lagi di papan tulis dan saya akan berbicara cepat-cepat. Ternyata, mereka tetap mencatat dengan tangan-tangan mereka yang bergerak sangat cepat.

Lalu, saya berusaha mengajak mereka beraktifitas, seperti berdiskusi, mengerjakan teka-teki silang, mencari artikel dari media cetak, tentunya tanpa menyimpang dari materi yang saya ajarkan. Memang, mereka mengerjakan semua yang saya tugaskan, tapi mereka tetap seperti mesin. Mereka saling bergerombol untuk berdiskusi dengan sangat rapi, mereka berdiskusi dengan kelompok mereka dengan formal dan kaku, mereka hanya saling berbisik sebentar saja, lalu mereka kembali ke tempat mereka masing-masing sebagai tanda bahwa mereka telah selesai. Selanjutnya, saya menanyakan hasil diskusi per kelompok dan sementara kelompok yang mendapat giliran sedang menyampaikan hasil diskusi mereka, murid-murid lain mencatat apa yang dikatakan juru bicara kelompok tersebut. Ketika harus mencari artikel, mereka hanya terus mengikuti instruksi saya, lalu mencatat. Setiap mengisi teka-teki, mereka mencatat pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang telah saya sediakan.

Saya mulai sadar, mereka tidak pernah memberikan pertanyaan kepada saya. Baiklah, saya memutuskan untuk sering-sering bertanya selama saya mengajar. Mereka cukup merespon. Mereka menjawab jika mereka tahu jawaban dari pertanyaan yang saya tanyakan dan mereka selalu benar, tapi mereka menjawab dengan hemat, tepat, jelas, dan datar. Lebih buruk lagi ketika saya memberikan pertanyaan menyimpang dari materi yang tidak ada jawabannya. Hanya keheningan yang menjawab saya. Mereka hanya menatap saya dengan tatapan datar. Mereka tetap saja mesin.

Saya mulai berpikir, apakah mereka memang mesin? Mungkin mesin-mesin ini harus diberi ilmu supaya mereka mempunyai data yang cukup untuk bekal masa depan mereka nanti ketika mereka dilepas untuk bercampur dengan manusia-manusia.

Berdasarkan pemikiran itu, saya berkeputusan untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Saya akan menjadi kaku. Persis seperi mereka. Saya cukup mengajar apa yang tertulis di buku paket yang saya pegang, saya cukup memberikan mereka aktivitas sebatas yang disarankan buku paket yang saya pegang, dan saya hanya perlu “membacakan” buku paket yang saya pegang itu tanpa mengurangi atau menambahkan apapun.

Hasilnya baik. Saya merasa menyatu dengan mereka. Saya telah semesin sepikir dengan mereka. Saya adalah mesin. Sama seperti mereka.

***

Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnng!

Ah, bel pergantian jam pelajaran itu mengganggu ceritaku!

2 komentar:

  1. Halo areta, ini gue Ferry. Wau cerita kamu asyik banget. Imajinatif abis en mencerahkan. buat para guru dan para dosen yang 'textbook', semoga mereka merasa tersindir dengan cerita ini lalu mengubah cara mengajar mereka sehingga murid bukan 'belajar', tapi 'menjadi diri mereka sendiri'! Teruslah berkarya yang seimajinatif ini ya honey :-))

    BalasHapus
  2. wah, terima kasih yah, oom ferry.
    senangnya ceritaku bisa menjadi inspirasi.
    iya, semoga mereka sadar.
    cerita ini sebenarnya terinspirasi dari seorang guru di sekolah gw yang agaknya sensi sama gw..
    hehehe...

    BalasHapus

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.