26/08/09

hilang IV

Kuli itu diungsikan ke sebuah kamar di bagian belakang ruko oleh sang kakek. Di sana, beberapa kuli membantu mengobati tangan kakinya yang lecet dan memar, juga dahinya yang berdarah tertimpa tangga. Sebentar saja, sang kakek muncul membawa segulung perban, lalu membantu membalut luka di dahi si kuli. Kuli tersebut sangat berterima kasih. Kakek itu memberikan dua botol obat Cina, sebotol arak dan sebotol tie da yao jin untuk si kuli. Saat pulang nanti pun, kakek itu akan memberi bayaran lebih bagi kuli yang tertimpa bencana itu.

Ketika kuli itu telah ditinggal sendirian di kamar belakang itu agar bisa istirahat, cucu perempuan sang kakek penasaran ingin menengoknya. Sang cucu meminta izin ke toilet –yang kebetulan juga terletak di bagian belakang ruko- kepada sang kakek.

Di kamar belakang, Arien menemukan Gani.

“Aku tau kamu masih hidup,” bisik Arien dengan senyum lebar di wajahnya. Arien beranjak duduk di sisi ranjang yang ditiduri Gani.

Gani terlonjak kaget. Ia terbangun dari tidurnya yang baru beberapa menit. Dahinya terasa berdenyut. Ia tidak mampu berkata-kata. Arien pun terkejut karena reaksi Gani yang begitu rupa.

Untuk beberapa lama, mereka saling diam. Tidak bicara dan salah tingkah. Terkadang ada yang mencoba memulai, sudah membuka mulut, tetapi tak muncul satu patah kata pun. Lalu, mereka menyerah. Mereka membiarkan jam dinding mendominasi ruangan dengan detak detiknya. Mereka saling diam dan masing-masing tersedot kepada masa lalu. Butuh waktu lama agar mereka masing-masing merasa dekat lagi seperti dulu kala.

Ketika perasaan akrab itu sudah cukup membauri mereka, mereka pun saling tatap.

“Ngapain kamu ke sini?” Gani memulai.

“Ini toko kakekku.”

“Oh.”

Hening lagi.

“Kamu lihat aku?”

“Kamu luka-luka gara-gara aku. Maaf ya...”

“Bukan itu maksudku. Kamu lihat, aku ini miskin. Aku cuman bisa kerja serabutan. Hidup pontang-panting. Kamu lihat diri kamu. Kamu anak orang kaya. Pengusaha sukses. Gak pantes kita deket-deket begini.”

Dengan dahi terkerut sempuran, Arien mencurigai, “omongan kamu persis Mama.”

“Memang mama kamu yang bilang begitu sama aku.”

Mata Arien terbelalak.

“Gak usah heran,” Gani hendak bercerita, “sebelum kamu pulang dari Singapur, mama kamu nyamperin aku.” Kedekatan yang terasa di antara mereka berdua membuatnya menjadi berani untuk terbuka. “Orang tua kamu kasih aku rumah dan uang. Mereka mau aku pergi dan jauh-jauh dari kamu. Aku gak boleh berhubungan dengan kamu lagi. Kalo sampai aku nolak, aku masuk penjara. Lagian, apa kata mama kamu toh bener! Aku memang gak pantes buat kamu.”

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Gani. Dahinya makin berdenyut.

“Kamu rela ninggalin aku untuk rumah dan uang? Kamu takut masuk penjara?” Arien menuntut dalam isaknya.

“Kamu mengharapkan sesuatu yang berlebihan, Rien!” bentak Gani. “Kamu tau ayahku udah meninggal. Siapa yang urus ibuku kalo aku dipenjara?” Urat-uratnya menegang dan tampak di lehernya. Dahinya makin berdenyut. “Kamu enak! Orang tua kamu tajir! Kamu gak usah mikirin duit, duitnya dateng sendiri! Kamu liat aku! Aku ini orang susah! Kalo gak kerja keras, gak dapet duit! Gimana mau makan? Kamu juga tau ibuku sakit-sakitan! Aku gak tega liat dia kelaperan! Kamu tau, aku bisa bawa dia berobat karena duit yang orang tua kamu kasih!” Napasnya tersengal-sengal.

Arien menangis sesungukan. Arien sungguh-sungguh menyesali ucapan dan tuntutannya. Ia begitu saja menghambur memeluk Gani. Gani mendekapnya erat. Di pelukan Gani, Arien makin deras menangis.

“Rien, aku gak pantes deket-deket kamu. Apalagi meluk kamu kayak gini. Aku gak tau diri,” ucap Gani lirih sekali.

Gani hendak melepas Arien dari pelukannya, tetapi Arien bertambah erat memeluk, sehingga tubuh Gani yang tadi terjatuh dari tangga terasa ngilu. Ia kembali memeluk Arien dan membelai rambutnya.

Muncul sebuah gagasan di kepala Gani. Gagasan itu ia rumuskan menjadi sebuah janji yang ia ingin Arien percayai dan pegang teguh. “Aku janji, aku akan kerja keras. Aku akan jadi orang sukses. Lalu-“

“Sssst...” Arien memotong.

Mereka berdua lama sekali tetap berpelukan seperti itu. Menikmati detak jantung lawannya.

Sementara, kakek Arien yang tetap setia menunggui toko tahu persis apa yang terjadi di belakang sana. Ia sempat menguping sebentar. Ia tersenyum-senyum. Mengingat bagaimana hal serupa terjadi atas dirinya dan istrinya. Ia tersipu-sipu. Dalam hati, ia berjanji akan membantu kuli itu.

*****


-harus berakhir di sini-

14/08/09

hilang III

Tok tok tok.

“Arien? Arien sayang?”

“Iya, Ma! Masuk aja!”

Terdengar bunyi gagang pintu ditekan dan decit pintu. Pintu ditutup kembali.

Ibu dan anak berpandang-pandangan di kamar si anak.

Ada apa, Ma?”

“Justru Mama yang mau tanya kamu, ada apa?”

“Lho? Memang Arien kenapa, Ma?”

“Harusnya Mama yang tanya.”

Arien terdiam. Menatap wajah ibunya yang teduh.

“Rien, sejak pulang dari Singapur, kamu murung terus. Jarang makan. Sekarang udah tambah kurus. Kamu juga gak jalan-jalan kalo gak diajak Cindy. Di kamar terus. Apa apa, Rien?”

Arien memutar otak mencari alasan.

Ibunya melanjutkan, “papa dan mama khawatir sama kamu.”

Arien berusaha tersenyum meskipun tentu tampak terpaksa. Ia berkilah, “Arien kangen sama opa dan oma.”

Ibunya langsung ceria, “ya ampuuun! Kenapa gak bilang?”. Menyusul tawa wanita elit dari ibunya yang sama sekali tidak berlebihan apalagi kampungan.

“Sekarang ‘kan udah sore banget,” lanjut sang ibu, “gimana kalo besok pagi, kita ke rumah opa-oma?” tak lupa ibunya membubuhkan senyum lebar dan hangat di akhir kalimatnya.

Arien mengangguk pelan.

Dengan lega, sang ibu berjalan anggun keluar kamar.

Arien kembali merenung seorang diri.

Tiba-tiba saja ia terkejut. “Rumah opa-oma kan di Tangerang!” pekiknya lirih.

Tak menunggu lama, ia berlari keluar kamar, mendapati ibunya sedang menyiapkan makan malam bersama pembantu-pembantunya.

“Ma?”

“Iya, sayang?”

“Boleh gak, Arien nginep di rumah opa-oma? Emmm... Seminggu aja!”

“Boleh dong, sayang!”

Wajah Arien langsung cerah. Benar-benar lega dan senang hati ibunya karena hal itu.

Arien kembali masuk ke kamar. Di sana, ia memutuskan untuk tidak mengabari teman-temannya lagi karena menganggap mereka tidak bisa dipercaya dan diandalkan.

***

Dini hari, Arien telah menyiapkan segala keperluannya untuk menginap di rumah oma dan opanya. Ia begitu bersemangat.

Begitu sopir dan mobilnya siap, ia langsung memanggil-manggil ayah dan ibunya.

Ayo, Pa! Ayo, Ma! Cepetan!”

Ayah dan ibunya yang belum siap pun menjadi buru-buru. Ditambah lagi, mereka senang sekali melihat anak mereka menjadi begitu bersemangat, sehingga gerakan mereka pun bertambah cepat.

Sejenak kemudian, semua telah siap. Dalam mobil Kijang hitam mengkilap, seorang sopir duduk di tempat setir, sang tuan pemilik mobil di sebelahnya, sementara sang nyonya dan anaknya di bagian tengah. Bagian belakang berisi barang-barang Arien yang luar biasa banyak.

Jika tanpa macet, tentu mereka lebih cepat sampai. Namun, kemacetan dan waktu yang terbuang tidak sedikit pun memengaruhi suasana hati Arien. Diliriknya sopirnya yang tampak stres ketika turun dari mobil. Juga ayah dan ibunya yang tampak suntuk, tetapi lega karena sudah sampai tempat tujuan. Ia tetap tersenyum ceria.

Mereka semua disambut dengan hangat dan senang oleh tuan dan nyonya rumah, kakek dan nenek Arien. Sejenak, terjadi adegan peluk-pelukan dan salam-salaman. Lalu, semua menyerbu masuk ke ruang tamu.

Sampai sore, ayah-ibu dan kakek-nenek Arien tidak berhenti mengobrol sejak datang, mengemil di ruang tamu, makan siang, menonton televisi di ruang tengah, sampai akhirnya mereka harus pamit pulang.

Ayah dan ibu Arien pulang, sementara Arien tetap tinggal. Ia akan menginap satu minggu di sana. Ia masih mengobrol dengan kakek dan neneknya ketika makan malam dan menonton televisi lagi sebelum tidur.

Ketika telah saatnya tidur, ia masuk ke kamar tamu, lalu berbaring di ranjang yang telah disiapkan untuknya. Mendadak, sebuah pikiran jelek menyelusup ke kepalanya, Tangerang ‘kan luas! Mau cari dia di mana?

Sejenak ia mengutuk-ngutuki dirinya karena merasa bodoh. Tidak lama, karena ia cukup lelah untuk tertidur pulas dengan cepat.

Esok hari, Arien bangun masih dengan tanda tanya besar di kepalanya, BAGAIMANA? Namun, hal itu terobati sedikit setelah sebuah pemikiran muncul bahwa selama ia masih berada di Tangerang, ia akan mempunyai lebih banyak peluang untuk berjumpa dengan Gani.

Ia berlari keluar kamar, mendapati kakek dan neneknya yang masih sehat dan enerjik di umur 70-an. Kakeknya pemilik sebuah ruko di mana ia menjual segala jenis plastik. Dari plastik kemasan sampai perabotan plastik. Setiap hari, sang kakek ke sana untuk mengawasi pekerjaan karyawan-karyawannya dan menjaga tokonya. Sementara, sang nenek aktif di gereja. Menjadi panitia berbagai acara, bergabung dalam paduan suara usia indah, dan bermain piano di kebaktian sekolah minggu. Mereka pun masih begitu mesra dan romantis. Diam-diam, Arien menginginkan hal yang sama untuk dirinya di hari tua. Harapannya, hari tua bersama Gani.

“Ayo, sarapan, Rien!” seru neneknya.

“Iya, Oma.” kata Arien sambil meraih sepotong roti tawar dan memakannya.

“Gak pake selai?” sang kakek menawarkan.

Arien menggeleng, “begini juga enak.”

Semua tersenyum.

“Kakek mau ke toko. Kamu mau ikut?” kakek Arien menawarkan.

“Mauuu!!” pekik Arien.

Arien buru-buru menuntaskan sarapannya, lalu mandi, dan merias diri. Setelahnya, ia menghampiri kakeknya yang telah menunggu di teras sambil membaca koran.

“Ayo, Opa!”

Kakeknya tersenyum. “Pamit dulu sama Oma.”

Arien hendak berlari masuk, tetapi baru berancang-ancang, neneknya telah muncul dari pintu depan. Arien langsung memeluk neneknya dan mencium pipi neneknya. Sebuah ciuman kencang dan basah menyerang pipi si nenek. Nenek tertawa saja.

“Aku pergi yah, Oma!”

“Iya, sayang.”

Gantian sang kakek mencium dahi nenek dengan lembut dan hangat. Lalu mereka saling melambai. Setelah beberapa langkah, beranjak dari rumah, terdengar suara sang nenek, “hati-hati di jalan!”.

Arien dan kakeknya berjalan kaki ke sebuah perempatan dekat rumah kakek-neneknya untuk menumpang angkutan umum sampai ruko kakeknya.

*

Di ruko kakeknya yang sederhana dan sumpek dengan berbagai jenis plastik, juga bau plastik, Arien kepanasan karena di sana tidak ada pendingin ruangan. Ia mengipasi wajahnya dengan selembar karton bekas. Ia beruntung karena kelenjar keringatnya tidak hiperaktif, sehingga ia tidak harus berbasah-basah karena keringat meskipun dahinya sedikit berkilau karena keringat.

Arien sebenarnya telah membawa sebuah novel untuk ia baca sewaktu-waktu jika bosan. Namun, penerangan di sana rupanya kurang, sehingga ia tidak nyaman membaca di sana. Ia memberitahukan hal tersebut kepada kakeknya, sehingga kakeknya memanggil salah satu kuli pengangkat barang untuk memasangkan bola lampu baru. Awalnya, Arien acuh tak acuh dan tidak sabar, tetapi ketika melihat yang memasang lampu itu, dadanya jadi bergejolak. Ia mengenal kuli itu.

Saat Arien memerhatikannya, kuli itu belum menyadari kehadiran Arien. Ia telah beberapa hari bekerja di deretan ruko itu. Sebagai apa saja. Juga telah beberapa kali ia bekerja kepada kakek pemilik toko plastik itu, tetapi selama ini kakek itu selalu datang seorang diri, sehingga ia juga tidak memerhatikan ketika kakek itu membawa seorang cucunya yang masih gadis.

Selesai memasang bola lampu, ia hendak turun dari tangga lipat yang dinaikinya. Ia menoleh ke bawah, mencari pegangan, tetapi ia melihat sepasang mata zaitun indah sedang menatapnya. Ia begitu terkejut, sehingga ia terjatuh dan membuat kegaduhan.

10/08/09

hilang II

Si Nando ini rupanya begitu tekun dan cekatan. Entah karena masalah ini menyangkut teman baiknya atau karena ia ingin menunjukkan dirinya di depan Cindy yang ia sangat sukai itu. Hanya beberapa menit setelah berpisah dengan Cindy dan Arien, ia langsung menghubungi satu per satu temannya yang nomornya tersimpan dalam telepon genggamnya.

Alhasil, dua hari kemudian, ia telah dengan bangga bekumpul kembali dengan Cindy dan Arien di kafe yang sama dengan sebelumnya. Ia membawa kabar baik.

“Ternyata, dia pindah ke Tangerang!”

“Tangerang?” pekik Cindy, “tau dari mana?”

“Dari temen gua yang tinggal di sana dong! Ternyata temen gua itu satu tongkrongan ama dia! Hah! Besok gua seret dia ke sini!”

Arien, yang sejak tadi hanya mendung, tetap mendung. Ia menyembunyikan informasi jelek yang ia miliki dan menunggu saja sesuatu terjadi atas perbuatan kedua temannya itu.

*

Keesokan harinya, tiada kabar dari Nando.

Arien gelisah. Ia berulang kali menelepon Nando tanpa mendapat jawaban. Ia juga meminta Cindy melakukan hal yang sama dan Cindy pun mendapat perlakuan yang sama.

Keesokan harinya lgai, Nando menelepon Arien pagi-pagi sekali.

Arien terbangun dari tidurnya, berusaha meraih telepon genggamnya yang terletak tepat di sebelah kepalanya. Di meja berlampu jingga.

“Halo?” suaranya masih serak.

“Rien?”

“Do, ada apa? Kenapa kemaren lo-“

“Rien,” Nando memotong kalimat Arien, “kabar buruk.”

Arien bangun terduduk di ranjangnya. Wajahnya berubah tegang.

“Apa?”

“Gani...”

“Kenapa, Do?” Arien gemas dan cemas.

“Dia... udah meninggal.”

Arien diam. Lalu tertawa.

“Kamu becanda, Do! Gak lucu! Keterlaluan!”

“Ini beneran, Rien!”

“Gak mungkin!”

“Rien, kemaren gue baru pergi ke Tangerang. Gue ketemu temen gue itu. Ternyata, temen gue itu juga udah lama gak ketemu si Gani, tapi dia kasih tunjuk rumahnya. Di rumahnya, gue ketemu nyokapnya. Pas gue tanyain, nyokapnya malah nangis-nangis-“

Klik. Arien memutuskan pembicaraan secara sepihak. Ia tidak sanggup mendengar lebih. Ia membenamkan wajahnya kepada bantal besar empuknya dan menangis di sana.

Tak lama, ia bangun terduduk lagi dengan sangat tiba-tiba. Ia teringat pembicaraannya di telepon dengan ibu Gani. Berjuta pertanyaan menyergap pikirannya, sehingga menjadi ngilu kepalanya. Benarkah itu ibu Gani? Mungkinkah Endah yang melakukan itu karena sesuatu? Mungkinkah Nando berbohong? Lalu, MENGAPA??

Ia bertekad untuk menyelesaikan semua teka-teki ini sebelum waktu liburannya habis dan ia harus kembali melanjutkan studinya.

Sementara itu, ayah dan ibunya mulai mengkhawatirkan keadaannya yang lesu tanpa semangat. Tentu ada masalah yang sedang ia sembunyikan dari mereka.

***

“Gani! Gila lo! Ngapain lo ngumpet di sini? Mantan lo yang tajir tuh kocar-kacir nyariin lo!”

Tampak kerut-kerut terbentuk di dahi Gani.

“Jadi, lo ke sini buat ngasih tau itu?” ketus Gani.

“Iya sih. Tapi gue pengen ketemu lo juga. Eh, jing! Kok lu pindah gak bilang-bilang gua sih? Lu gak anggep gue sohib lo lagi?”

“Gue sengaja. Sialan aja lu masih nyari-nyari gua.”

“Sengaja?” Nando kaget dan bingung. “Kenapa?”

Gani menghela napas panjang. “Kita harus ngomong serius. Ke dalem aja.”

Gani memberi isyarat dengan tangannya, lalu mereka berdua beranjak dari ruang tamu ke kamar tidur Gani.

Nando melihat rumah Gani yang baru ini keadaannya lebih baik dari yang sebelumnya. Juga sekarang Gani bisa tidur di kasur, bukan matras.

“Lo masih sekolah di sini?” Nando berbasa-basi penasaran.

“Ah! Duit dari mana?”

“Kerja?”

“Iya.”

“Kerja apa?”

“Apa aja. Gak pasti.”

“Gak jual diri ‘kan?”

Nando mendapat jawaban berupa timpukan bantal ke wajahnya. Lalu, mereka berdua tertawa lebar. Hanya sesaat sebelum berubah hening.

“Sebelum gua pindah ke sini, bo-nyok Arien nyamperin gue ke rumah lama gue,” Gani memulai.

“Gile! Mau apa mereka?”

“Ngusir gue, jelas!”

“Lo pindah ke sini karna mereka suruh?”

“Gua bukan cuman disuruh pindah! Gua dikasih ini rumah! Gua masih dikasih duit banyak! Pokoknya, gua harus pindah dan putus kontak sama si Arien. Kalo gak nurut, gua malah bakal difitnah biar masuk penjara! Gila!”

“Tapi Arien kan di luar negeri waktu itu? Kenapa...?”

“Justru itu! Mereka tau si Arien bakal nyari gua kalo udah pulang.”

Nando tidak dapat berkata-kata.

Tak lama, Nando terpikir sesuatu dan langsung menanyakannya, “nyokap lu mau dikasih rumah dan duit sama mereka?”

“Nyokap gua gak tau. Gua bilang aja gua menang undian. Kalo gak, bisa dikutuk jadi batu gua!”

Nando mengangguk-ngangguk mengerti.

Kemudian, Nando terkesiap lagi. “Terus gua mesti bilang apa sama si Arien? Gua udah janji mau bawa lu ke sana hari ini!”

“Ah, bego lo!”

“Yah, gue ‘kan gak tau!”

“Lo bilang aja…. Nggg… Apa kek…”

“Apa??”

“Ah! Bilang aja gua udah mati!”

“Iye, kecelakaan di jalan kek, ketabrak kereta kek, dimakan kucing kek…”

02/08/09

hilang

Seorang gadis remaja, begitu jelita, teronggok tak beradaya di ranjangnya. Raganya tidak sakit. Hanya jiwanya sedang bimbang. Merenung-renungi masa lalunya. Masa-masa indah bersama seorang remaja putra yang sangat membahagiakan dirinya. Kemudian, masa-masa sulit ketika mereka menghadapi orang tua masing-masing. Kedua orang tuanya yang merasa tidak sudi anaknya terlalu akrab dengan anggota masyarakat golongan ekonomi bawah karena dianggap memalukan atau membuat aib. Juga satu-satunya orang tua kekasihnya, yaitu ibunya, yang menganggap persahabatan dengan orang kaya hanya akan memberi kesempatan bagi mereka untuk menghina dan melecehkan dirinya. Kemudian, teringat masa-masa perpisahan mereka. Ketika ia diharuskan meneruskan studi ke luar negeri, sementara kekasihnya tidak punya cukup dana untuk turut serta.

Kini ia kembali ke tanah air di waktu liburannya. Segala benteng yang dibangunnya untuk menghalangi memori sentimentil itu agar tidak mengganggu studinya kini runtuh seketika. Tepat ketika ia menginjakkan kakinya di tanah air, menghirup udara setempat. Semua kenangan menyerbu masuk ke dalam dirinya. Membuatnya menjadi perhatian banyak orang karena menangis secara tidak wajar di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tak lama, muncul kedua orang tuanya, yang mengira anaknya menangis karena terlampai merindukan mereka, memeluknya dan membuat orang-orang maklum.

Beberapa hari telah ia lewatkan di rumah, tidak banyak yang ia telah lakukan. Ia lebih banyak terkapar di kamar. Merenungi kenangan. Di mana ia sekarang? Masih ingatkah padaku? Masih sudikah denganku?

Telepon genggam ia raih untuk menghubungi seorang teman terdekat. Dari teman dekatnya itu, kemudian ia mendapatkan nomor-nomor teman-teman yang lain. Ia memulai sebuah penyelidikan kecil dengan dibantu teman baiknya itu.

***

“Gimana? Apa kata Endah?” tanya si gadis.

“Dia bilang, udah sekitar tiga bulan dia gak nongkrong-nongkrong bareng mereka,” jawab sahabatnya membuat dirinya kehilangan harapan karena kenyataan bahwa Endah adalah kekasih terakhir kekasihnya setelah ia tinggalkan tidaklah menolong.

Mereka berdua tampak berpikir lama. Masing-masing mengerutkan dahinya. Semua mendiamkan minuman lezat yang tersaji di depannya. Tiada juga yang memerhatikan mereka, tidak pengunjung-pengunjung kafe yang mereka tongkrongi, tidak juga pelayan-pelayan di sana, kecuali sepasang mata milik seorang laki-laki yang duduk sendirian di pojok. Tadinya ia tampak tenang-tenang saja. Menyeruput kopi sambil membaca buku dan menikmati kesendiriannya. Namun, kini dahinya pun turut dikerut-kerutkan. Tak lama, ia datang menghampiri dua gadis yang semenjak tadi ia perhatikan.

“Cindy? Arien?”

Yang mereasa namanya disebut pun menoleh.

“Nando?” terdengar pekik serempak dengan dua nada berbeda. Yang satu dengan tertarik dan senang, yang satu dengan penuh harapan.

“Kamu ngapain di sini?” Cindy, sahabat si gadis cantik yang juga tak kalah cantik, mendadak ceria berbasa-basi dengan penuh kecentilan.

Nando tersipu-sipu menjawab lirih, “minum kopi.”

Arien, si gadis yang benar-benar berkeperluan dengan penyelidikan kecilnya, berusaha menyusun pertanyaan di dalam kepalanya untuk kemudian disemburkan kepada Nando, yang ia tahu benar adalah teman baik kekasihnya. Ia masih sempat mengutuk-ngutuki dirinya sendiri yang tidak kepikiran untuk menanyakan Nando kepada teman-temannya yang lain atau kepada sahabatnya yang naksir berat Nando ini.

Tanpa menunggu pertanyaan untuk selesai tersusun di kepala Arien, Nando mendahului bertanya, “gue denger dari temen-temen lain, lo lagi nyari si Gani.”

“Iya.”

“Percuma lo tanya-tanya mereka.”

Pernyataan Nando membuat dua gadis di depannya terbelalak bingung.

“Sejak lo tinggal,” Nando meneruskan, “dia udah jarang banget maen sama anak-anak laen. Jadi petapa di rumah. Ketemu gue aja jarang!”

“Endah?” Cindy terpikir akan gadis lain yang belakangan dikabarkan berpacaran dengan Gani.

“Endah kan dari bahuela udah naksir berat sama Gani,” Nando menjelaskan,”sejak lo pergi,” ia menunjuk Arien, “dia nempel-nempel si Gani, trus ngaku-ngaku udah jadian. Padahal, kalo dateng ke rumah Gani aja, dia cuma diladenin sama emaknya Gani. Gani mah boro-boro mau keluar kamar cuman buat ketemu cewek centil macam gitu!”

Sesuatu menyengat hati Arien. Ia ingat perlakuan ketus ibu Gani padanya. Ternyata ibu Gani lebih menyenangi Endah daripada dirinya. Cindy yang menyadari perubahan suasana hati sahabatnya langsung memotong pembicaraan Nando, “terus, sekarang Gani di mana?”.

“Nah, itu gua juga gak tau!” jawaban Nando mengecewakan sekaligus mengejutkan mereka berdua.

“Sekitar... Hmmm... Tiga bulan lalu, dia pindah rumah. Gak bilang-bilang ama gue! Monyet! Gue tau dari tetangganya! Trus gak ada kabar lagi ampe sekarang.”

Kini semua tertunduk lesu.

Paling tidak, sekarang Arien mendapat satu tenaga baru untuk masuk ke dalam tim penyelidiknya.

*

Semua pulang ke rumah masing-masing.

Sampai di rumah, Arien langsung masuk ke kamar untuk berganti baju. Sebelum ia membuka bajunya, pembantunya telah memanggil-manggil.

“Noooon! Non Ariiiiin! Ada telpon! Katanya penting!”

Buru-buru Arien keluar dari kamarnya dan meraih gagang telepon tanpa kabel yang telah diantar oleh sang pembantu sampai ke depan pintu kamarnya.

“Makasi, Bi,” katanya sebelum masuk kembali ke dalam kamar dan menutup pintu.

“Halo?”

“Iya, halo! Kamu Arien?” suara wanita paruh baya begitu ketus di seberang sana.

“I-iya, aku Arien. Ada apa ya?”

“Heh! Kamu! Jangan cari-cari Gani lagi! Cewek gak tau diri! Jangan cari-cari anak gua lagi!”

Arien susah payah menelan ludah dan berkeringat dingin.

“Denger gak kamu!”

Arien jatuh terduduk di ranjangnya yang tebal dan empuk.

“Kamu anak orang kaya, cari cowok orang kaya juga sana! Jangan genit-genit sama anak gua! Jangan kamu kira karna lo banyak duit, semua orang tunduk sama lo! Najis!”

“Ma-maaf, Bu?”

“Eh, gua najis sama bapak lo, tau! Bapak lo tuh pejabat korup! Gua najis kalo anak gua harus deket-deket sama anak tukang korup! Apalagi ampe megang duit hasil korup lo! Najiiiis!!”

Sekarang Arien mengerti mengapa segala hadiah di segala hari raya yang ia berikan kepada ibu Gani selalu ditolak dengan cara paling menyakitkan.

“Setan! Denger gak lo! Jauhin anak gua!”

Klik. Telepon dimatikan secara sepihak dari seberang sana.

Dengan tangan berkeringat dingin dan gemetaran, Arien bersusah payah menekan tombol redial.

“Halo?” ucapnya lirih, “Bu?”

“Maaf, Dek,” suara seorang pria, “ini telepon umum.”

Arien menghela napas.

“Sudah yah? Saya mau pake.”

“Iya, Pak. Maaf.”

Klik.


(bersambung)