31/07/08

Sang Kenangan Telah Pulang

Tera melangkah perlahan sepanjang jalan setapak kuburan itu. Udara pagi yang dingin dan berembun membelai kulitnya. Kemeja hitam dan rok hitamnya tidak mampu melawan udara yang menggigilkan tubuhnya. Dengan dituntun seorang penjaga kubur tua yang baik, ia menemukan kuburan yang ia cari. Kuburan yang sederhana. Dengan nisan kayu dan tidak dicor. Kembang-kembang setengah segar berwarna merah muda masih banyak bertebaran di atasnya.

Tera duduk perlahan di sebelah kubur itu. Si penjaga kubur pamit dan pergi. Tera sendiri di sana. Menyediakan waktu pribadi bagi dirinya dan dia yang di dalam kubur itu. Tera meletakkan sebuah kotak kardus yang sejak tadi ia bawa dengan kedua tangannya. Pelan-pelan, ia buka kotak itu. Ia keluarkan seikat mawar hitam yang dililit pita hitam yang indah.

”Ini melambangkan cinta dan hatiku yang sedang berduka,” bisik Tera sambil perlahan-lahan meletakkan bunga itu di atas kubur di hadapannya.

Kemudian, dari kardus itu juga ia mengeluarkan beberapa kartu ucapan yang telah ditumpuknya selama bertahun-tahun. Kartu ucapan ulang tahun dan hari raya Valentine. Semua karyanya sendiri. Baik desain maupun tulisan di dalamnya.

Ia angkat salah satu yang berbentuk persegi seukuran kotak CD. Ketika dibuka, di dalamnya ada kepingan bulat dengan lubang kecil bulat di tengahnya. Di atasnya ada sebait tulisan karangan Tera. Ia bisikkan perlahan isinya.

”Paru-paru tidak bekerja tanpa NAPAS

Jantung tidak berpacu tanpa NAPAS

Darah tidak mengalir tanpa NAPAS

Hidup tidak berlaku tanpa NAPAS

Kaulah NAPAS-ku

28 Agustus 2007.”

Setetes air mata mengaliri sebelah pipinya.

Ia mengangkat salah satu kartu yang lain. Berbentuk jam matahari. Di sekeliling angka-angka Romawi-nya, sebait tulisan juga untuk seseorang yang sedang ditangisi Tera. Ia membisikkannya pelan.

”Andai dapat kuputar waktu

Dan perbaiki laku

Tapi aku tidak mampu

Yang kupunya hanya rindu

Untukmu

14 Februari 2008.”

Beberapa tetes air mata mengaliri pipi Tera.

Ia memungut kartu-kartu itu dan ia tumpuk di satu tempat. Lalu, ia singkirkan kardus di hadapannya. Dengan tangannya, perlahan-lahan ia gali lubang kecil di sisi kubur itu. Kemudian, ia masukkan kartu-kartu itu ke dalam lubang itu. Ia tutup kembali lubang itu. Lalu, ia meraih kardus yang tadi telah disingkirkannya. Dari dalam kardus itu, ia keluarkan kelopak-kelopak bunga mawar hitam dengan beberapa genggam tangannya untuk ia taburkan di atas tanah yang mengubur kartu-kartunya, lalu tanah yang mengubur separuh hatinya.

Andai tak pernah kusia-siakan kesempatanku untuk meminta maaf padamu dan menyatakan isi hatiku, bisik Tera dalam hati.

*Kupersembahkan untuk Cintaku yang telah berpulang ke Rumah Bapa di Sorga.

30/07/08

tembok

Di malam yang panas, Urdin bosan bersembunyi di dalam kamar. Urdin bosan mendengarkan makian bersahut-sahutan dari ayah dan ibunya yang sedang bertengkar. Urdin bangkit dari persembunyiannya di balik selimut di atas ranjangnya. Ia mencopot piyamanya, menggantinya dengan pakaian yang pantas dipakai berpergian, lalu ia merengut sebuah tas ransel kecil dari salah satu rak di kamarnya. Ia isi ransel itu dengan sebotol air mineral, dompet, dan dua buah telepon genggamnya. Tanpa basa-basi, ia menerobos keluar pintu kamarnya. Ia tidak hiraukan sepasang orang tuanya yang masih saling meneriaki. Demikian juga kedua orang tua itu tidak menghiraukan satu-satunya anak mereka yang berjalan ke arah rak sepatu, memasang sepasang sepatu olah raga ke kakinya, dan lenyap di balik pintu depan rumah mereka.

Urdin yang telah berada di teras menarik keluar sepedanya dan memacu sepedanya secepat yang ia bisa. Kemanapun, ia tak tahu. Ia mengayuh sekuat tenaga. Angin menerpa wajahnya kuat-kuat sampai pipinya tampak sedikit bergelambir ke belakang. Teriakan pejalan kaki yang nyaris tertabrak olehnya, makian sopir angkutan umum yang nyaris menabraknya, semua tidak ia hiraukan.

Suatu ketika, Urdin masuk ke sebuah gang buntu tanpa menyadarinya karena tempat itu begitu gelap dan ia begitu kalap. Ia baru sadar ketika seorang tunawisma yang tidur di pinggir gang itu meneriakinya, "heh! Awas! Tembok!". Urdin sedikit berteriak, memejamkan mata, dan mengerem sepedanya secepat mungkin. Itulah persiapannya menghadapi tabrakan dengan tembok yang rasanya memang tak terelakkan lagi. Namun, tiba-tiba segala sesuatu seperti berjalan dengan sangat lambat. Seolah hidupnya dikendalikan oleh seorang yang jauh lebih besar dan orang itu menekan tombol "slow motion" pada rimut di tangannya. Ketika jarak antara tembok dan roda sepedanya hanya tinggal 1 milimeter, ia mendengar bisikan "tembok tidak bisa ditabrak. Tembok adalah segala kesenangan di baliknya!". Sepersekian detik, ia tersentak. Sepersekian detik, ia melihat roda depan sepedanya memasuki tembok itu. Tembus.

***

Dengan satu sentakan, Urdin bangun terduduk dan mendapati dirinya duduk di atas permukaan empuk, sementara yang dilihatnya adalah kegelapan karena sesuatu menutupi wajahnya. Dengan satu tarikan oleh tangannya, sesuatu yang menyelubungi wajah dan seluruh tubuhnya ia tarik. Maka, ia melihat cahaya dari lampu kamarnya dan selimut di tangannya. Ia menghela napas panjang.

Dengan malas, ia turun dari ranjangnya. Ia menyeret kakinya berjalan untuk mencari sebotol air mineral karena ia begitu haus. Ia ingat botol air itu sebelumnya ia letakkan di atas meja belajarnya, tapi sekarang ia tidak menemukannya di sana. Urdin memutar otaknya. Mengingat-ingat apabila ia telah memindahkan botol itu. Maka, kejadian tentang berpacu dengan sepeda, tembok, dan semuanya itu terlintas lagi di kepalanya. Buru-buru, ia mencari tas ransel kecil miliknya di rak tempat biasa ia menaruhnya. Tidak ada. Rupanya, tas ransel itu ada di atas ranjangnya. Ia buka tas itu dan mendapati botol air mineralnya ada di sana bersama sepasang telepon genggam dan dompetnya. Dengan cepat, ia serbu botol itu, ia buka tutupnya, dan ia tegak isinya sampai tandas.

Baru ia sadari, dari luar kamarnya tidak terdengar keributan lagi. Perlahan ia berjalan ke pintu kamarnya. Ia buka pintu itu dan ia keluarkan sedikit demi sedikit kepalanya. Ia dapati rumahnya diterangi cahaya, tetapi bukan cahaya lampu, melainkan cahaya matahari. Petanda hari tidak lagi malam. Aku pasti tertidur semalam, pikir Urdin.

Urdin masuk kembali ke kamarnya. Ia mengganti piyamanya dengan baju lain yang biasa ia pakai di dalam rumah. Setelah itu, ia beranjak ke dapur untuk memuaskan perutnya yang telah ribut memprotes kelaparan. Dari dapur terdengar kasak-kusuk dan Urdin yakin itu adalah pembatunya yang sedang menyiapkan sarapan bagi ia sekeluarga. Namun, begitu menerobos ke dalam dapur, ia terkejut mendapati ibunya tengah memasak. Sebelum selesai ia terkejut, ibunya telah berkata-kata dengan nada sangat riang.

"Hari ini, Mama masak masakan spesial buat kamu dan Papa!"

"A... Ada apa, ... Ma?"

"Duh, kamu lupa ya? Hari ini, ulang tahun pernikahan Papa dan Mama!"

Urdin terkejut sebab hal itu belum pernah disebut-sebut di rumahnya sepanjang hidupnya. Ibunya seolah tidak membaca keterkejutan Urdin, terus saja meneruskan pekerjaannya. Setelah selesai, ia menata semua masakannya dengan rapi di atas meja. Kemudian, ia pergi ke kamarnya sendiri untuk membangunkan suaminya. Mereka sarapan bersama.

Selama sarapan, ayah dan ibu Urdin tampak begitu akrab dan mesra. Urdin sampai tidak sanggup menelan makanannya. Ia hanya memain-mainkan makanan di piringnya dengan sendok dan grapu di tangannya. Sesekali menyuapkan makanan ke mulutnya, tapi hanya dikunyah pelan-pelan tanpa ditelan, sehingga mulutnya menjadi begitu penuh. Dengan tiba-tiba, Urdin menyambar gelas berisi air mineral. Air di dalam gelas itu ia habiskan untuk mendorong makanan dalam mulutnya. Setelah itu, ia bangkit dari sana dan tanpa permisi menuju ke kamarnya.

Di dalam kamar, ia merenung. Di tengah-tengah renungannya, samar-samar ia mendengar suara pintu dibuka dengan kasar, lalu ditutup kembali dengan keras. Ia yakin, itu adalah suara pintu kamar ayah dan ibunya. Ia pun mendengar teriakan, "gak tau adat! Jangan banting-banting pintu!". Buru-buru Urdin meraih gagang pintunya, membuka pintu kamarnya, dan melongokkan kepalanya keluar kamar. Ia tidak mendapati siapapun di ruang keluarga yang menghubungkan semua kamar di dalam rumahnya. Belum sempat ia bereaksi, ia mendengar lagi teriakan parau yang samar, "lu yang gak tau adat! Jadi suami, kerjaannya cuman males-malesan! Cuman buang-buang uang! Kerja dong!". Urdin terkejut.

Begitu Urdin mengingat bahwa tadi ia bertemu ayah dan ibunya di ruang makan, ia langsung berlari ke sana. Ia terkejut lagi. Demikian juga ayah dan ibunya terkejut karena dipergoki anaknya sedang berciuman mesra. Mereka jadi salah tingkah dan muncul kemerah-merahan di wajah mereka. Seketika itu juga, Urdin lupa akan suara-suara yang didengarnya. Ia ikut salah tingkat, meminta maaf, dan cepat-cepat kembali ke kamarnya.

Kali ini, ia langsung mandi di kamar mandi dalam kamarnya. Ia mengenakan pakaian sekolahnya dengan rapi, membawa tas selempang berisi buku-buku sekolah dan alat tulis, lalu mengambil botol minumannya. Ia langsung menuju ke dapur untuk mengisi botol minumannya sampai penuh, mengambil sekotak bekal yang disediakan pembantunya, lalu ia hendak langsung beranjak ke sekolah. Namun, baru sampai di ruang keluarga, ia telah mendengar maki-makian yang sebenarnya tak mungkin pantas diperdengarkan. Juga pukulan dan tangisan. Ia mencari ke semua ruangan di rumahnya untuk menemukan asal suara itu. Tidak ada siapa-siapa. Terakhir, ia berhenti di dapur dan menemukan pembantunya.

"Mbok, Papa dan Mama mana?"

"Oh, mereka pergi. Kayaknya mau bulan madu lagi tuh..." kata pembantunya dengan nada menggoda dan senyum yang lucu.

Urdin tersenyum, mengangguk, lalu berpamit. Setelah itu, ia langsung menuju ke terasnya. Karena tidak mendapati sepedanya di sana, tanpa pikir panjang ia langsung berjalan kaki.

***

Sepulang sekolah, Urdin tiba-tiba teringat jalan buntu yang pernah ia masuki di mana ia menabrak, atau menembus, temboknya. Ia pikir, di saat siang, pasti lebih mudah melihat apa yang ada di sana. Dengan susah payah, ia mengingat-ingat jalannya. Akhirnya, ia temukan juga gang itu. Ia langsung berlari hendak menghampiri ujung jalan itu.

Betapa terkejut dirinya mendapati sepedanya di ujung jalan itu. Sedikit lecet di bagian depannya dan tergeletak di tanah. Ia menengok ke sampingnya di mana seorang tunawisma tersenyum kepadanya. Ia membalas senyuman itu. Kemudian, ia mengangkat sepedanya dan menaikinya sampai ke rumahnya.

Setelah masuk ke dalam rumahnya, kali ini ia mendengar (masih samar-samar) suara teriakan, makian, pukulan, tangisan, dan semuanya itu. Ia menjadi sangat bingung. Ia memutuskan untuk menajamkan telinganya, sehingga ia mendengar semua itu menjadi semakin jelas dan nyata. Ia ingin menangis dan berteriak karena ia mulai berpikir semua kebahagiaan ini pasti hanya mimpi dan aku pasti masih tertidur di kamarku sementara semua kegaduhan itu bercampur dengan mimpiku.

”Semua suara itu dapat kau abaikan,” tiba-tiba sebuah bisikan terdengar dan membuat Urdin terkejut.

Ia turuti saja suara itu. Ia berusaha mengabaikan suara-suara itu. Perlahan-lahan, suara-suara itu pun surut. Lalu hilang sama sekali. Betapa senang hati Urdin saat itu. Dengan riang, ia melompat ke sana ke mari.

***

”Kamu liat sekarang! Gara-gara punya ibu kayak kamu, anak kita jadi gila!”

Urdin masih terus berlompatan dan tertawa riang.

”Aku? Justru gara-gara punya bapak kayak kamu, dia jadi gila!”

Urdin tetap terus berlompatan sambil tertawa-tawa.

”Keluargaku bahagia!” teriak Urdin.

14/07/08

lika

Lika adalah anakku. Aku adalah ibunya. Sebagai seorang yang taat beragama, aku harus yakin bahwa Tuhan mempunyai rancangan yang terbaik bagi setiap makhluk yang diciptakannya. Demikian juga dengan aku dan Lika. Maka, haram bagiku bila aku menggugat Tuhan karena telah memberikan Lika menjadi anakku. Aku makhluk hina yang tidak punya hak untuk itu.

Lika anakku. Anak durhaka, kurang ajar, dan pembohong. Si pembual kecil ini selalu menjelek-jelekkan diriku di hadapan orang lain. Melalui percakapan dengan teman-temannya, ia bercerita tentang kekejamanku di rumah. Seolah ia tidak tahu bahwa pukulan demi pukulan untuknya adalah caraku mendidiknya menjadi orang benar. Ia tidak pernah merahasiakan kepada siapapun apabila ia sedang bertengkar denganku. Padahal, bagiku, masalah keluarga bagaikan aib besar yang tidak boleh diketahui pihak luar. Bahkan, Lika beberapa kali berhasil menghasut suami dan mertuaku. Mereka memandangku sebagai pihak bersalah dan Lika sebagai pihak yang benar. Betapa jahat dan licik anak itu.

Suatu hari, anak itu memulai sebuah bisnis tanpa memberitahuku. Ia berdagang kosmetik dan perawatan kulit yang bersistem MLM (multi level marketing). Sepulang sekolah, anak itu seenaknya memakai mobil dan sopir untuk pergi ke kantor cabang perusahaan kosmetik tersebut, yang cukup jauh dari rumah kami, untuk mengambil pesanan teman-temannya. Sungguh egois, ia tidak memikirkan adiknya yang sore itu ada kursus Bahasa Inggris.

Kutelepon dan kumaki-maki anak itu agar ia lebih tahu diri. Bukannya sadar, anak itu malah ngotot.

”Suruh aja si Dadang (sopir kami) jemput Lili (adik Lika) dulu!”

Maka Dadang kusuruh kembali dari tempat itu untuk menjemput Lili. Setelah itu, tak kubiarkan Dadang kembali ke tempat itu untuk menjemput Lika. Anak kurang ajar itu harus diberi pelajaran. Hanya saja, saat itu aku tidak tahu bahwa Lika hanya membawa uang secukupnya untuk membeli barang-barang pesanan teman-temannya. Ia tidak punya ongkos untuk pulang. Maka, ia terpaksa berjalan kaki. Meskipun kasihan, aku harus konsisten dengan perkataanku sendiri.

Tak lama kemudian, suamiku pulang kerja. Entah bagaimana, ia sudah tahu permasalahan yang sedang terjadi, tetapi tidak dari sudut pandang yang benar. Ia menjadi marah padaku, lalu ia pergi menjemput Lika. Maka, langsung kuketahui, Lika telah menghubungi suamiku dan menghasutnya.

Anak durhaka itu, yang bahkan ketika masih balita telah membenciku dan mengumumkan kepada semua orang di sekolahnya bahwa ia membeciku di Hari Ibu, telah membuatku sakit hati. Sepulangnya bersama suamiku, aku memarahinya habis-habisan. Suamiku diam saja, mungkin karena takut tekanan darahku naik terlalu parah jika dia ikut membantah. Namun, anak durhakaku tidak bisa demikian. Ia terus membantah dan merasa dirinya benar. Setelah acara adu mulut berkepanjangan, aku memutuskan untuk pergi sebentar dari rumah.

Malam hari, sepulangku ke rumah, mertuaku, nenek Lika, menghampiriku dan mengajakku berbicara empat mata. Saat itu, Lika telah tertidur di kamarnnya. Mertuaku malah menyalahkanku karena -menurutnya- aku terlalu kasar memarahi anakku. Katanya, aku tidak tahu sopan santun karena aku memaki-makinya dan memaki-maki seperti itu tidak akan membuat Lika berubah menjadi lebih baik. Banyak hal lagi yang ia tuduhkan padaku. Makin perih saja luka di hatiku.

Namun, beberapa hari kemudian, tak kusangka, Lika mendatangiku ke kamarku. Saat itu, aku sedang duduk di meja riasku dan menyisir rambut. Ia mengambil alih sisir itu, lalu menyisiri rambutku dengan lembut. Kemudian, ia mengakui segala kesalahannya dan meminta maaf. Aku bangkit dari kursiku, berbalik, dan memeluknya erat.

percik api

Kila ibuku. Lika kakakku. Aku Lili. Aku mempunyai seorang ibu dan seorang kakak yang baik. Sayangnya, kedua wanita yang kucintai itu tidak saling cocok satu sama lain. Ibuku mempunyai pemikiran yang tertutup, kolot, dan konservatif. Ia juga seorang yang keras kepala. Sementara, kakak menuruni pola pikir ayah yang terbuka, demokratis, dan modern, tetapi ia menuruni sifat keras kepala ibu. Jadi, mereka seperti dua kubu yang sangat bertentangan dan sama-sama sekeras batu. Ketika mereka berhantaman, akan terjadi percikan api di antara mereka. Percikan api itu dapat dengan cepat menjadi besar.

Aku sangat merasa bersalah karena kali ini akulah yang menjadi pemercik api itu. Saat itu, kakak sedang mengambil barang dagangannya di daerah Rawamangun, sementara aku sedang menunggu sopir menjemputku di Mal Kelapa Gading karena aku hendak pergi kursus Inggis. Tentunya, sopir yang kutunggu itu agak lama datangnya karena ia sedang menunggui kakak di Rawamangun. Hal tersebut kuketahui setelah kutelepon sopir itu. Maka, kutelepon kakakku. Ia menjelaskan bahwa ia telah hampir selesai dari sana dan ia telah menghitung dengan baik waktu yang ia miliki. Ia menjamin, aku tidak akan terlambat pergi kursus. Aku tahu ia sangat cerdas dan perhitungan. Maka, aku tidak keberatan. Aku percaya kepadanya. Tak lama kemudian, sopir pun datang. Aku naik ke mobil. Aku diantar ke tempat kursusku.

Namun, sangat mengejutkan bagiku, ketika aku pulang, yang kudengar adalah ribut-ribut dari dalam rumah. Ibu dan Kakak yang sedang bertengkar.

”Pukimak kamu, anak setan!” teriak Ibu.

”Gue anak setan? Liat dong siapa ibunya!” Kakak tidak mau kalah.

Ibu langsung merengut tas tangannya, melangkah besar-besar dan cepat ke arah pintu. Ia menabrak pundakku sebab saat itu aku masih berdiri terpaku di depan pintu. Ibu memberi uang makan kepada sopirku, menyuruhnya pulang, lalu ia menyetir sendiri entah kemana.

kila

Kila adalah ibuku. Aku anaknya. Aku tidak boleh bertanya mengapa kepada Tuhan. Nantinya aku juga akan tahu mengapa. Setiap hal yang diadakan Tuhan mempunyai tujuan. Jadi, jika Kila menjadi ibuku dan aku menjadi anak Kila, Tuhan mempunyai tujuan untuk kami berdua. Tujuan Tuhan selalu terlalu indah untuk terbayangkan (dan aku selalu menunggu untuk menyaksikannya).

Akan kuceritakan bagaimana susahnya menjadi anak seorang Kila. Pertama, ia menganut prinsip "yang lebih tua yang lebih benar". Jadi, sesalah apapun dia dan sebenar apapun aku, tetap segala sesuatu adalah salahku. Sayangnya, peraturan itu hanya berlaku antara diriku dan dirinya. Tidak berlaku antara aku dan adikku. Dengan kata lain, dia pilih kasih. Adikku selalu dibenarkan dan aku adalah kambing hitam dalam keluarga. Kadang aku berpikir, kelahiranku tidak diinginkan. Mengapa tidak diaborsi saja? Kadang kupikir, aku ini anak pungut atau mungkin tertukar di rumah sakit. Namun, aku sangat mirip dengan Kila. Kadang, kupikir aku ini anak haram. Tidak, menurut nenekku, ayah dan ibu adalah orang-orang baik dan orang baik-baik yang menjalani hidup dengan baik dan menikah dengan baik. Kadang, kupikir Kila membenciku karena kesakitan yang dialaminya saat mengandung dan melahirkan diriku. Jika ya, seharusnya adikku mendapat perlakuan yang sama. Banyak hal lagi yang kupikirkan, tapi nenek bilang, Kila tidak membenciku. Nenek bilang, Kila sayang padaku (sungguh, sulit dipercaya), tapi ia tidak dapat mengungkapkannya. Jadi, hanya kebencian yang dapat ia ungkapkan?

Kedua, ketika aku terlibat sebuah masalah dengannya, masalah itu akan ia pendam menjadi dendam seumur hidup meskipun masalah itu sudah selesai. Meskipun ia tahu masalah itu adalah kesalahpahaman, ia tetap akan menjelek-jelekkanku sejelek-jeleknya di depan orang lain ketika ia menceritakan kembali masalah itu. Jika aku (mengalah dan) meminta maaf kepadanya untuk menyelesaikan suatu masalah, masalah itu memang selesai (sementara waktu) karena ia merasa menang. Namun, ketika di lain waktu ada masalah baru, semua masalah yang dulu-dulu akan keluar lagi dari mulutnya dengan segala bumbu, caci-maki, dan keterbalikan fakta.

Akan kuceritakan apa yang terjadi baru-baru ini. Suatu hari, ketika aku baru pulang dari sekolah, aku harus berpergian agak jauh dari tempat tinggalku di Kelapa Gading ke Rawamangun. Karena hari begitu panas dan aku membawa buku-buku yang sangat memberatkan dalam tasku, aku memutuskan untuk berpergian dengan mobil pribadi yang memang hanya satu-satunya dimiliki keluargaku dan dikendarai oleh sopir pribadi satu-satunya dalam keluargaku. Aku telah menghitung baik-baik waktu yang dapat kugunakan sebelum mobil itu akhirnya harus dipakai adikku untuk pergi kursus.

Tak lama setelah aku sampai di tempat tujuan, Kila meneleponku. Ia memarahiku dan memaki-makiku. Aku tidak sakit hati karena itu memang hal biasa. Inti pembicaraannya adalah bahwa aku egois karena tidak memikirkan adikku yang hendak pergi kursus dan membutuhkan mobil itu. Tak lama, urusanku selesai, aku hendak pulang, tetapi tak kudapati mobil pribadiku maupun sopirku. Maka, kutelepon sopirku. Rupanya, ia telah dikomando Kila untuk segera pulang dan mengantar adikku pergi les.

Masih dengan sabar, aku menelepon adikku. Adikku bahkan kebingungan ketika tahu Kila marah-marah. Rupanya, adikku tidak di rumah. Ia sedang di mal dan ia bilang ia tidak bicara apa-apa pada Kila. Ia hanya memberitahu rencananya untuk pergi ke mal kepada Ayah. Maka, ketelepon Ayah. Aku ingin tahu jika Ayah mengatakan sesuatu mengenai hal itu kepada Kila. Ayah tidak menjawab, tetapi bertanya-tanya tentang keadaan.

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya keadaan memutuskan bahwa aku harus pulang berjalan kaki karena aku tidak membawa uang. Setelah lama berjalan kaki, Ayah menelepon. Ia mengabarkan bahwa ia akan menjemputku. Karena aku telah berjalan agak jauh, aku memutuskan untuk tetap berjalan sambil menunggu Ayah yang membawa mobil untuk berpapasan denganku. Untungnya, seorang pemulung bergerobak menemaniku dalam perjalanan, sehingga perjalanan itu tidak terlalu membosankan.

Usai masalah itu, aku dan Kila tidak saling bicara lagi. Kila menuduhku pembohong, penghasut, kurang ajar, durhaka, dan lain-lain. Nenek sangat sedih karena keributan itu. Nenek pun mengadakan pembicaraan empat mata denganku, lalu empat mata dengan Kila. Ia banyak menasihati kami. Setelahnya, ia memintaku untuk mengalah (lagi dan lagi dan lagi dan lagi) dan meminta maaf kepada Kila (sungguh terlalu klise!).

Tentu apa yang diminta Nenek adalah sesuatu yang sangat adil. Bukan aku yang mengandung dan melahirkan Kila. Kila yang mengandung dan melahirkanku dengan segala kesakitannya. Itu adalah sebuah hutang besar bagiku. Hutang yang seumur hidup tak akan terbayar. Bukan aku pula yang menyusui, membesarkan, dan menyekolahkan Kila, tetapi sebaliknya. Ini hutang lain yang kuharap dapat kulunasi, tetapi tak mungkin. Kenyataan bahwa ia adalah ibuku dan aku adalah anaknya adalah sebuah kenyataan yang paling memiriskan hari, tapi begitu nyata dan benar. Tak terbantah, tak terpungkiri. Jika aku hidup di zaman dulu, aku telah menjadi budak yang mengabdi kepada Kila karena hutangku yang tak terbayar kepadanya. Namun, Kila ternyata baik. Aku dipelihara dengan baik dan (menurut Nenek) penuh kasih sayang. Aku tidak dijadikan budak. Aku masih seorang merdeka dan bebas (yang terlilit hutang!).

Sebuah permintaan maaf dariku tidak akan meringankan sedikit pun hutangku kepadanya, tetapi tidak meminta maaf menjadi sebuah dosa besar yang harus kutanggung. Percayalah, ini adil!