14/07/08

percik api

Kila ibuku. Lika kakakku. Aku Lili. Aku mempunyai seorang ibu dan seorang kakak yang baik. Sayangnya, kedua wanita yang kucintai itu tidak saling cocok satu sama lain. Ibuku mempunyai pemikiran yang tertutup, kolot, dan konservatif. Ia juga seorang yang keras kepala. Sementara, kakak menuruni pola pikir ayah yang terbuka, demokratis, dan modern, tetapi ia menuruni sifat keras kepala ibu. Jadi, mereka seperti dua kubu yang sangat bertentangan dan sama-sama sekeras batu. Ketika mereka berhantaman, akan terjadi percikan api di antara mereka. Percikan api itu dapat dengan cepat menjadi besar.

Aku sangat merasa bersalah karena kali ini akulah yang menjadi pemercik api itu. Saat itu, kakak sedang mengambil barang dagangannya di daerah Rawamangun, sementara aku sedang menunggu sopir menjemputku di Mal Kelapa Gading karena aku hendak pergi kursus Inggis. Tentunya, sopir yang kutunggu itu agak lama datangnya karena ia sedang menunggui kakak di Rawamangun. Hal tersebut kuketahui setelah kutelepon sopir itu. Maka, kutelepon kakakku. Ia menjelaskan bahwa ia telah hampir selesai dari sana dan ia telah menghitung dengan baik waktu yang ia miliki. Ia menjamin, aku tidak akan terlambat pergi kursus. Aku tahu ia sangat cerdas dan perhitungan. Maka, aku tidak keberatan. Aku percaya kepadanya. Tak lama kemudian, sopir pun datang. Aku naik ke mobil. Aku diantar ke tempat kursusku.

Namun, sangat mengejutkan bagiku, ketika aku pulang, yang kudengar adalah ribut-ribut dari dalam rumah. Ibu dan Kakak yang sedang bertengkar.

”Pukimak kamu, anak setan!” teriak Ibu.

”Gue anak setan? Liat dong siapa ibunya!” Kakak tidak mau kalah.

Ibu langsung merengut tas tangannya, melangkah besar-besar dan cepat ke arah pintu. Ia menabrak pundakku sebab saat itu aku masih berdiri terpaku di depan pintu. Ibu memberi uang makan kepada sopirku, menyuruhnya pulang, lalu ia menyetir sendiri entah kemana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.