14/07/08

lika

Lika adalah anakku. Aku adalah ibunya. Sebagai seorang yang taat beragama, aku harus yakin bahwa Tuhan mempunyai rancangan yang terbaik bagi setiap makhluk yang diciptakannya. Demikian juga dengan aku dan Lika. Maka, haram bagiku bila aku menggugat Tuhan karena telah memberikan Lika menjadi anakku. Aku makhluk hina yang tidak punya hak untuk itu.

Lika anakku. Anak durhaka, kurang ajar, dan pembohong. Si pembual kecil ini selalu menjelek-jelekkan diriku di hadapan orang lain. Melalui percakapan dengan teman-temannya, ia bercerita tentang kekejamanku di rumah. Seolah ia tidak tahu bahwa pukulan demi pukulan untuknya adalah caraku mendidiknya menjadi orang benar. Ia tidak pernah merahasiakan kepada siapapun apabila ia sedang bertengkar denganku. Padahal, bagiku, masalah keluarga bagaikan aib besar yang tidak boleh diketahui pihak luar. Bahkan, Lika beberapa kali berhasil menghasut suami dan mertuaku. Mereka memandangku sebagai pihak bersalah dan Lika sebagai pihak yang benar. Betapa jahat dan licik anak itu.

Suatu hari, anak itu memulai sebuah bisnis tanpa memberitahuku. Ia berdagang kosmetik dan perawatan kulit yang bersistem MLM (multi level marketing). Sepulang sekolah, anak itu seenaknya memakai mobil dan sopir untuk pergi ke kantor cabang perusahaan kosmetik tersebut, yang cukup jauh dari rumah kami, untuk mengambil pesanan teman-temannya. Sungguh egois, ia tidak memikirkan adiknya yang sore itu ada kursus Bahasa Inggris.

Kutelepon dan kumaki-maki anak itu agar ia lebih tahu diri. Bukannya sadar, anak itu malah ngotot.

”Suruh aja si Dadang (sopir kami) jemput Lili (adik Lika) dulu!”

Maka Dadang kusuruh kembali dari tempat itu untuk menjemput Lili. Setelah itu, tak kubiarkan Dadang kembali ke tempat itu untuk menjemput Lika. Anak kurang ajar itu harus diberi pelajaran. Hanya saja, saat itu aku tidak tahu bahwa Lika hanya membawa uang secukupnya untuk membeli barang-barang pesanan teman-temannya. Ia tidak punya ongkos untuk pulang. Maka, ia terpaksa berjalan kaki. Meskipun kasihan, aku harus konsisten dengan perkataanku sendiri.

Tak lama kemudian, suamiku pulang kerja. Entah bagaimana, ia sudah tahu permasalahan yang sedang terjadi, tetapi tidak dari sudut pandang yang benar. Ia menjadi marah padaku, lalu ia pergi menjemput Lika. Maka, langsung kuketahui, Lika telah menghubungi suamiku dan menghasutnya.

Anak durhaka itu, yang bahkan ketika masih balita telah membenciku dan mengumumkan kepada semua orang di sekolahnya bahwa ia membeciku di Hari Ibu, telah membuatku sakit hati. Sepulangnya bersama suamiku, aku memarahinya habis-habisan. Suamiku diam saja, mungkin karena takut tekanan darahku naik terlalu parah jika dia ikut membantah. Namun, anak durhakaku tidak bisa demikian. Ia terus membantah dan merasa dirinya benar. Setelah acara adu mulut berkepanjangan, aku memutuskan untuk pergi sebentar dari rumah.

Malam hari, sepulangku ke rumah, mertuaku, nenek Lika, menghampiriku dan mengajakku berbicara empat mata. Saat itu, Lika telah tertidur di kamarnnya. Mertuaku malah menyalahkanku karena -menurutnya- aku terlalu kasar memarahi anakku. Katanya, aku tidak tahu sopan santun karena aku memaki-makinya dan memaki-maki seperti itu tidak akan membuat Lika berubah menjadi lebih baik. Banyak hal lagi yang ia tuduhkan padaku. Makin perih saja luka di hatiku.

Namun, beberapa hari kemudian, tak kusangka, Lika mendatangiku ke kamarku. Saat itu, aku sedang duduk di meja riasku dan menyisir rambut. Ia mengambil alih sisir itu, lalu menyisiri rambutku dengan lembut. Kemudian, ia mengakui segala kesalahannya dan meminta maaf. Aku bangkit dari kursiku, berbalik, dan memeluknya erat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar dan saran yang berguna dan membangun diharapkan.