26/05/08

mimpi

Aku sangat percaya kepada mimpi. Bagiku, mimpi bukanlah "hanya" kembang tidur. Mimpi juga bukan "sekedar" ingatan-ingatan tak penting di siang hari yang terbawa tidur. Mimpi selalu mempunyai sesuatu untuk disampaikan kepadaku. Meskipun ketika kuceritakan mimpiku kepada orang lain selalu ada yang meremehkanku bahwa aku hanya seorang remaja dengan emosi labil. Aku tetap percaya pada mimpi-mimpi itu.

Salah satu cerita adalah suatu malam ketika aku memimpikan seorang bayi kecil yang bugil dan berdarah-darah merangkak ke arahku. Namun, ia peralahan-lahan berhenti. Mati. Ketika kuceritakan kepada adikku di pagi harinya, ia yakin itu hanya karena di hari sebelumnya aku menonton sebuah film horor bermutu seadanya tentang makhluk yang melahirkan di kuburan. Makhluk itu melahirkan dengan bantuan seorang bidan dari bangsa kuntilanak. Lalu, karena laki-laki yang menanamkan benih kepadanya tidak mau mengakui anak itu, seorang genderuwo yang baik hati bersedia menjadi ayah angkatnya. Anak itu pun diberi nama oleh genderuwo itu. Namanya Tuyul. Baiklah, kembali ke mimpi tentang bayi merangkak yang mati mendadak itu. Setelah berdebat dengan adikku di pagi hari, siang hari itu juga, kami mendapat kabar bahwa ibuku yang saat itu hamil telah keguguran. Bagiku, itu bukan sekedar kebetulan belaka.

Cerita lain adalah ketika aku bermimpi sopirku mengebut gila-gilaan ketika mengantarku ke sekolah suatu di pagi. Saat itu, ia tertawa-tawa seperti orang gila sampai lidahnya memanjang dan menjulur-julur ke luar. Matanya juga keluar dan terkatung-katung pada urat-urat di belakangnya. Aku berteriak-teriak tanpa ia hiraukan. Bukan mimpi yang enak untuk didengar, diceritakan, apalagi dialami. Esok hari setelah mimpi itu, sopirku tidak lagi datang ke rumahku untuk memberikan jasanya. Belakangan, kudengar ia dipenjara karena tertangkap melarikan mobil orang. Ibuku sampai merasa bersalah karena merasa gaji yang selama ini diberikannya kurang.

Maka, lain waktu ketika mimpi-mimpi lain datang untuk bercerita dalam tidurku, aku selalu menyambut mereka dengan baik. Aku menyimak mereka baik-baik. Terkadang, aku pun harus berusaha menafsir mereka dan aku berusaha menafsir dengan baik.

Suatu ketika datang kepadaku sebuah mimpi. Ia tergolong mimpi yang harus kutafsir agar dapat kumengerti. Mimpi itu tentang pacarku. Di sebuah lorong panjang dan remang-remang, kulihat pacarku itu berlari terbirit-birit ke arahku, tapi ia tersandung dan jatuh. Ketika ia bangun dari jatuhnya, aku menjerit keras-keras karena kulihat wajahnya hancur dan busuk. Langsung saja aku terbangung terduduk di ranjangku. Napasku terengah-engah dan aku berkeringat dingin. Jika begini keadaannya, aku tahu bahwa itu bukanlah mimpi biasa.

Aku pun merenung. Entah mengapa, selesai dari perenunganku, aku menyimpulkan bahwa pacarku tidak sebaik dugaanku. Ia adalah laki-laki berhati busuk yang bersembunyi di balik sikap manisnya dan ia akan segera menunjukkan sifat aslinya. Sebelum ia sempat melakukan itu, aku buru-buru meninggalkannya tanpa kabar.

Karena itulah aku sangat menyesal. Belakangan kuketahui bahwa ia ditimpa masalah besar. Ayahnya meninggal dan ia putus sekolah. Tidak itu saja, ia dan ibunya dikejar-kejar lintah darat karena ayahnya meninggalkan sejumlah hutang.

Ya, tebakanmu benar. Aku salah menafsirkan mimpi. Tafsiran yang benar adalah bahwa ia sedang jatuh ke dalam kesulitan dan ia sangat membutuhkanku. Ia membutuhkanku sebagai tempat mengadu dan menghibur diri. Akan tetapi, aku meninggalkannya dengan cara yang sangat kejam dan menyakitkan baginya.

Ketika telah kusadari semua, telah terlambat, tetapi aku tetap berusaha mencari kekasih hatiku itu. Aku hendak meminta maaf dan menawarkan sedikit bantuan. Namun, ia telah mengganti semua nomornya, pindah rumah, tak ada lagi kabar terdengar darinya. Aku telah berusaha mencarinya. Ia hilang. Lenyap tak berjejak.

Sejak saat itu, aku tak percaya lagi pada mimpi. Aku merasa mimpi telah mengkhianatiku.

Bahkan, suatu saat ketika sebuah mimpi yang mengerikan mendatangiku berulang kali dan selalu membuatku bangun terduduk dan terengah-engah, aku tidak mau menghiraukannya. Dalam mimpi itu, aku berdiri di tengah jalan raya. Kemudian, sebuah truk angkut besar berwarna kuning menabrakku sampai hancur lebur tak berbentuk dan tak bernyawa. Mimpi yang bodoh. Mana mungkin aku begitu bodohnya berdiri mematung di tengah jalan.

Aku tidak akan pernah percaya pada mimpi itu jika apa yang kumimpikan itu tak terjadi pada akhirnya. Saat itu matahari telah tegak lurus di atas kepalaku. Bayangan tubuhku hanya tersisa secuil tepat di bawah kakiku. Saat itu, sekolah baru usai. Aku berjalan dari kelas ke tempat parkir, tapi tak menemukan mobilku terparkir di sana. Maka, aku menelepon sopir baruku. Rupanya, ia harus mengantar ibuku keluar kota untuk urusan mendadak, sehingga ia tidak bisa menjemputku.

Terpaksa aku harus naik angkutan umum. Untuk mendapatkan angkutan umum yang kubutuhkan, aku harus berjalan dari gerbang depan sekolah sampai ke sebuah persimpangan, lalu menyeberang dua kali. Penyeberangan pertama berhasil. Menjelang penyeberangan kedua, jantungku berpacu kencang. Mengingatkanku pada mimpi yang menghantuiku di tiap malam belakangan ini. Aku terlanjur tidak percaya pada mimpi. Maka kuteguhkan hatiku untuk melangkahkan kaki-kakiku. Sebelumnya, aku menengok ke kiri dan kanan. Tak ada truk besar maupun truk kuning. Langkahku yang ragu-ragu menjadi mantap.

Tiba-tiba, mataku tertumbuk pada sesosok pria bertubuh liat dan berkulit hitam. Wajahnya babak belur. Jelas habis dikeroyok. Apakah kau dapat menebaknya? Itu cintaku yang hilang. Ia telah kembali. Ia menantiku di seberang jalan. Menatapku dengan perasaan perantau haus yang terjebak di gurun. Terlintas sekilas saja gosip di antara teman-temanku bahwa ada seseorang yang selalu memata-mataiku dari seberang jalan.

Tak kusadari, langkahku terhenti. Kami saling tatap. Tak satupun dari kami menghiraukan hiruk pikuk klakson mobil yang merasa terganggu oleh keberadaanku di tengah jalan. Juga tak terhiraukan hiruk pikuk orang-orang di pinggir jalan yang meneriakiku dengan maksud menyuruhku menepi. Tak juga ada di antara kami yang terkejut ketika sebuah truk kuning besar pengangkut tanah menabrakku. Tak juga di antara kami ada yang peduli ketika orang-orang dari pinggir jalan mengerubungiku.

Kami telah saling tatap dalam jarak yang lebih dekat. Saat itu, dalam penglihatanku, ia tidak lagi babak belur. Ia tampan dan manis, lebih dari sebelum-sebelumnya. Ia tersenyum menatapku dan aku terseyum balik menatapnya. Tangan-tangan kami yang tembus pandang dan lebih ringan dari udara saling bergandengan. Kemudian, bersama kami melalui sebuah perjalanan yang tidak logis dan tidak mungkin dijelaskan kepada orang-orang yang masih hidup dalam tubuh berdaging bertulang berdarah mengalir.

Kami hampir tiba di tempat tujuan kami. Di sana, kami akan berkumpul dengan arwah-arwah lain. Dari jauh aku telah melihat Romeo dan Juliet di antara pintu gerbang. Mereka hendak menyambut kami. Kurasa, mereka menjabat sebagai kepala daerah di sana. Kulihat juga di belakang mereka berdua, semua orang berpasangan menatap kepada kami. Tak lama kemudian, kami telah melewati sebuah gerbang mewah dengan plang besar di depannya yang bertuliskan kalimat selamat datang.

"SELAMAT DATANG DI DESA SUKACINTA".

23/05/08

badai dan gempa

Mars : Bumi, kamu makin berair.

Bumi : Iya, aku berkeringat. Mereka membuatku kepanasan.

Merkurius : Begitu panaskah sampai kau menangis, Bumi?

Bumi : Iya, mereka juga menyakitiku. Mereka merusakku.

Mars : Bukankah itu sudah lama mereka lakukan?

Bumi : Mereka bertambah parah. Kulitku, dagingku, darahku, udaraku, semuanya! Mereka tidak mau menyisakan apapun! Oh, Matahari! Panasmu pun ikut menyengatiku!

Matahari : Maafkan aku, Bumi. Bukan kehendakku. Bukan kuasaku untuk meredam atau menghentikan pijar panas dan cahayaku sendiri. Namun, kau telah diberi selimut ozon untuk tetap terlindung dariku. Apakah mereka juga mengambilnya darimu?

Bumi : Ya, mereka melubanginya. Bagi mereka telah tersedia berbagai kenyamanan dariku, sehingga mereka telah menjadi parasit bagi diriku sendiri.

Mars : Kawan, mereka berkembang biak terlalu cepat. Mereka akan semakin mebutuhkan banyak darimu.

Matahari : Ah, mereka selalu punah pada akhirnya. Mungkin kali ini akan punah kupanggang. Namun, Bumi, kau tetap bundar dan mengitariku.

Bumi : Tidak, Matahari. Mereka tak pernah punah. Selalu ada sisa dari mereka yang akhirnya berkembang biak gila-gilaan lagi dan merubah-ubah wajahku lagi.

Mars : Toh kami akan tetap mengenalmu.

Merkurius : Ya. Orbit dan posisimu tak berubah.

Bumi : Hahaha! Betul juga! Tapi aku tetap kepanasan!

Mars : Mari kutiup dirimu agar sejuk!

Merkurius : Aku juga mau meniupimu!

Matahari : Bolehkah aku ikut?

Bumi : TIdak! Jika kau lakukan itu, aku akan terpanggang lidah api dan musnah!

Mars dan Merkurius : (meniupi Bumi).

Mars : Bagaimana? Sudah lebih baik?

Bumi : Jauh lebih baik, tetapi wajahku menjadi berantakan karena badai.

Matahari, Bumi, Mars, dan Merkurius : (tertawa bersama)

Bumi : (gempa)

01/05/08

endin

Endin berjalan kaki ke sekolah. Memang sekolahnya tidak jauh dari rumahnya. Hanya butuh satu belokan untuk sampai di sana melalui jalan terdekat. Sebuah sekolah menengah atas yang sederhana sederhana, kecil, tidak elit, tidak terkenal. Terpencil di sebuah gang buntu.

Sebenarnya, sekolah itu condong bobrok. Hal pertama yang tampak adalah pagarnya yang tidak mungkin mengurungkan niat seorang maling (yang mengurungkan niat maling adalah kenyataan bahwa sekolah itu tampak miskin). Berikutnya, dinding dengan cat koyak-koyak. Mungkin terakhir kalinya dicat adalah sepuluh tahun lalu. Suasana kelas? Aku tidak yakin suasana seperti itu akan baik untuk kegiatan belajar mengajar. Ruangan kecil, diisi deretan bangku dan meja kayu yang telah lapuk, berlubang-lubang, dan penuh coretan. Sebuah lemari seperti telah siap untuk ambruk di salah satu sudut kelas. Meja guru, satu-satunya yang tidak rapuh, dengan taplak yang telah berdebu dan vas bunga lengkap dengan bunga palsu yang juga telah berdebu. Papan tulis hitam. Astaga! Mereka masih menggunakan kapur tulis! Lalu, jendela kaca yang kaca-kacanya berbentuk persegi panjang dan bersusun secara vertikal. Jendela-jendela itu telah ompong. Oh, pintunya! Itu sudah tidak dapat difungsikan lagi. Gagangnya saja tidak ada!

Akhirnya, seorang guru masuk. Guru itu tampak begitu lesu. Mungkin sedang sakit. Selembar tisu tergenggam di tangannya. Mungkin sudah dipakai berkali-kali untuk menampung ingus yang keluar dari hidungnya yang merah itu. Sang guru menuliskan beberapa hal di papan tulis. Soal-soal matematika yang sebenarnya terlalu mudah bagiku. Oh, hari ini mereka ujian! Murid-murid mengeluarkan kertas jawaban ujian dan mulai mengerjakan soal-soal yang terpampang di papan tulis. Aku terpana menatap salah satu kertas ulangan yang terdekat denganku. Pada bagian atas kertas itu, sederetan huruf dan angka menerangkan alamat sekolah itu. Jakarta, kotanya. Aku tercengang. Rupanya, masih ada sekolah semacam ini di Jakarta! Aku merasa seperti katak dalam tempurung!

Ah, itu dia Endin -entah bagaimana aku tahu namanya. Ia mengerjakan soal dengan serius. Dahinya sedikit berkerut dan alisnya saling mendekat. Di sebelahnya duduk seorang murid laki-laki. "Ssst!" seru laki-laki itu berulang kali sebelum akhirnya mencolek bahu Endin. Ia bermaksud untuk meminta contekan. Endin tidak memberikan contekan. Ia merasa konsentrasinya terganggu. Wajahnya ditekuk. Tiba-tiba saja ia mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, sehingga si guru mengalihkan perhatian kepadanya.

"Bu, dia minta contekan terus sama saya!" teriaknya kepada sang guru sambil menunjuk laki-laki itu.

Guru itu lalu mengalihkan pandangannya kepada si laki-laki. Laki-laki itu tidak mampu menutupi rasa terkejut dan gelisahnya. Ia salah tingkah. Apalagi, saat sang guru mendekati mejanya. Mimiknya terbaca jelas oleh sang guru. Sang guru semakin yakin ketika melihat kertas tes yang kosong melompong di mejanya. Maka, laki-laki itu dipersilahkan keluar. Ia tidak berhak mengikuti ujian dan berhak atas sebuah angka nol untuk nilainya kali ini.

***

Pada jam istirahat, murid laki-laki itu menghampiri Endin yang tidak pernah beranjak dari kelas untuk jajan karena ia selalu membawa bekal dari rumah. Si laki-laki tampak marah.

"Heh, tukang ngadu!" seru laki-laki itu sambil menggebrak meja Endin.

Endin tak tampak terkejut sama sekali. Dijawabnya dengan santai, "salah sendiri gak belajar".

Sungguh hal tersebut membuat laki-laki itu marah. Namun, sebelum ia dapat melampiaskan amarahnya, perhatiannya telah teralih kepada sebuah suara dehem berat yang sangat familiar baginya maupun bagi Endin. Mereka berdua menoleh ke arah yang sama. Di sana, seorang pria paruh baya berkepala setengah botak dan berkumis tebal sedang menatap laki-laki yang memarahi Endin itu dengan raut yang dapat dipastikan tidak senang. Laki-laki itu cepat-cepat menunduk.

Tak lama kemudian, tampak pria paruh baya itu berjalan cepat keluar dari kelas itu diikuti seorang murid laki-laki di belakangnya. Tak lama setelahnya di ruang guru, murid laki-laki itu telah diceramahi sang pria paruh baya yang disebutnya sebagai "Pak Guru". Pak Guru menyatakan kekecewaannya pada murid laki-laki itu karena muridnya itu tidak menghargai kesempatan pendidikan yang telah dikaruniakan kepadanya.

***

"Eriiiiiinnn!!!! Baguuuun!!! Kamu udah kesiangan nih!" terdengar pekikan oktaf kesembilan yang langsung manjur mengangkat jiwaku dari alam mimpi.

"Iya, maaa!" balasku.

Kukucek-kucek mataku yang telah disarangi kotoran mata berbagai ukuran. Aku bangkit dari ranjangku perlahan-lahan lalu berjalan gontai menuju kamar mandi di kamarku. Kunyalakan shower yang kuartur agar mengucurkan air hangat, lalu aku mandi. Setelah aku keluar dari kamar mandi, aku bersiap untuk mengenakan seragam sekolah dan berdandan.

"Cepetan, Riiin!! Mama gak mau dipanggil lagi sama wali kelas kamu cuman gara-gara kamu sering telat! Malu tauk!!" lagi-lagi Mama mengomel.

"Iya!" jawabku sekenanya.

"Kamu tuh udah mahal-mahal disekolahin di sekolah yang bagus, bukannya sekolah dengan bener, malah males-malesan!" Mama melanjutkan omelannya.

Sejenak, kata-kata itu membuat desiran kecil di hatiku. Sejenak, terlintas sebuah nama dalam kepalaku. Sejenak, nama itu kubisikkan, "Endin...".

"Riiiinnn!!! Ayo dong!!"

"Iya, Ma! Bentar!!"

Cepat-cepat kusambar tasku yang terletak di meja belajar yang tak jauh dari ranjangku. Aku berlari keluar dari kamarku yang terletak di lantai dua. Aku pun berlari menuruni tangga menuju ruang makan di mana Mama telah menungguku bersama roti panggang berselai coklat dan segelas susu.

"Cepetan makan," sambut Mama sesampaiku di meja makan.

Saat aku tengah mengunyahi roti di dalam mulutku, muncul seorang wanita paruh baya yang tidak kukenal dari dapur membawakan jus buah campur-campur untuk Mama. Baru aku teringat bahwa pembantuku selama ini, Mbak Yati, telah kembali ke kampung untuk menikah.

"Rin, ini pembantu baru kita, Mbok Jah. Mbok, ini anak saya, Erin."

Aku mengangguk pada Mbok Jah dan Mbok Jah membalas anggukanku dengan anggukan juga. Kami sama-sama melakukannya dengan seulas senyum tipis yang agak terpaksa.

"Anaknya Mbok Jah sekalian Mama pekerjakan jadi pembantu kita. Biar rumah kita tambah kinclong," Mama melanjutkan, "anaknya seumuran lho sama kamu".

"Mana?" tanyaku singkat karena mulutku masih penuh dengan roti panggang.

Setelah menyeruput beberapa teguk jus, Mama memanggil anak Mbok Jah "Diiiin!".

Sejenak saja, tampak seorang perempuan berkulit hitam, berambut panjang berombak, berlesung pipit, dan berwajah manis berjalan cepat agak berlari masuk dari kebun belakang rumahku. Aku merasa familiar dengan perempuan yang tengah tersenyum padaku itu.

"Din, ini anak saya, Erin."

Anak Mbok Jah itu mengangguk padaku tanpa menghentikan senyumnya.

"Saya Endin, Non," ia memperkenalkan diri sebelum Mama melakukan hal itu untuknya.