28/09/07

tunding

Aku pergi meninggalkanmu

bersama seorang yang lebih baik darimu

dan sederajat denganku

Itulah tundingmu atas diriku

Kututup rapat telinga ini, tapi masih terdengar sayup

Betapa kejam, menghujam perasaan

Andai kemarahan sanggup membakar,

tapi cinta begitu murah memberi maaf

Maaf yang memadamkan kemarahan tak berdaya

Sakit

muncul sebagai pemenang

Sakit yang melelehkan hati menjadi air mata

dalam diam yang pedih

Lantas untuk apakah semua cinta itu jika aku demikian biadab?

Perpisahan adalah permintaanmu yang lain

Apakah aku ini? Bisul besar bernanah dalam hidupmu?

Mengapakah kau menghimpitku begitu keras?

Menghancurkanku?

Memusnahkanku?

Cukuplah

Tutuplah

Aku lelah

27/09/07

ganggu

“Jadi, kamu tetep ikut camping?”

“Iya.”

“Meskipun ada dia?”

“Iya.”

“Yakin?”

“Yakin.”

“Masalah itu gimana?”

“Justru itu. Kalo ada kesempatan, gue mau minta maaf sama dia.”

***

Ada apa sih? Kok harus mojok gini?”

“Gue mau minta maaf.”

“Lo salah apa?”

“Soal itu…”

“Soal apa?”

“Dulu, gue pernah ganggu lo.”

“Hah?”

“Waktu SMP.”

“Yaelah! Itu kan udah empat taon lalu!”

“Iya, tapi gue masih gak enak sama lo.”

“Iya deh, gue maafin.”

“Makasi.”

“Kenapa sih, dulu lo kayak gitu?”

“Emangnya lo gak denger gosip?”

“Gosip apa?”

“Itu…”

“Apa?

“Gue naksir lo.”

“Uhm, emang itu bener?”

“Iya.”

“Trus, kenapa lo ganggu gue?”

“Sori, waktu itu kan gue masih ingusan dan cupu. Itu cara gue mengungkapkan rasa suka gue ke elo.”

“Hahahahahahah!!”

“Jangan ketawa!”

“Sori.”

“Gue ampe bikin lo marah, bokap-nyokap lo marah, cewek lo marah…”

“Udah lah… Itu masa lalu.”

“Sekarang kita temen?”

“Iya, temen.”

***

17/09/07

anjing*

Majikanku yang baru berumur 15 tahun itu adalah majikan yang paling sering meluangkan waktunya untukku di rumah ini. Ia cantik, cerdas, dan baik hati. Aku sangat menyukainya. Aku ingin menunjukkan kepadanya bahwa aku bukan anjing biasa.

Usaha pertamaku adalah dengan menunjukkan berbagai ekspresi pada wajahku yang tidak dapat ditunjukkan oleh anjing manapun. Anjing-anjing lain hanya dapat menggunakan bahasa tubuh dan terutama ekor mereka sebagai alat komunikasi. Aku dapat memasang tampang memelas saat lapar atau menginginkan sesuatu, tersenyum saat diberi makan atau keinginanku terpenuhi, sedih saat ia menceritakan masalah-masalahnya, marah saat ia mengacuhkanku karena tugas-tugas sekolahnya, dan banyak lagi.

Sayang sekali, aku adalah anjing pertama yang dipelihara olehnya, sehingga ia mengira hal-hal tersebut adalah wajar karena anjing merupakan salah satu mamalia terpandai dan bersahabat dengan manusia.

Aku tidak putus asa. Aku berusaha membantunya dalam setiap pekerjaannya di rumah. Aku mengambilkan sandal untuknya saat ia tiba di rumah, aku mengambilkan tasnya saat ia hendak berangkat ke sekolah, aku membawakan buku-bukunya saat ia hendak mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru sekolahnya, aku bisa membantunya mencarikan barangnya yang hilang, aku membangunkannya di pagi hari jika alarm ponselnya tidak mempan mengangkatnya dari alam mimpi, terkadang aku bahkan membawakan keranjang sampah kepadanya ketika ia hendak membuang sampah.

Paling tidak, kali ini ia tidak lagi menganggapku wajar. Baginya, aku adalah anjing yang sangat pandai. Seperti anjing-anjing di film-film barat. Sayangnya, aku tetaplah seekor anjing saja baginya. Aku tidak puas.

Baiklah, aku tidak akan makan makanan anjing lagi! Ketika ia memberiku makanan anjing, aku tidak menyentuhnya sama sekali. Ia menjadi kalang kabut. Ia mengunjungi semua toko hewan yang dapat dikunjunginya untuk membeli berbagai jenis dan merek makanan anjing, tapi tidak mendapat sambutan yang baik dariku. Aku sangat lapar, tapi aku ingin ia sadar, aku bukan anjing biasa.

Ia duduk terkapar di atas sofa ruang tengah dengan wajah lesu. Menyerah. Kemudian, dengan sempoyongan ia menghampiri lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa potong pizza dingin dari sana, lalu menghangatkannya dengan microwave oven. Setelah itu, ia telah siap menyantap, tapi aku menggonggonginya.

“Apa?” katanya.

Aku menggonggong lagi.

“Gak usah sirik! Siapa suruh, dikasih makan gak mau! Biarin lo laper! Gue mau makan!”

Aku menggonggong lagi, lalu mengigit dan menarik-narik kecil unjung celananya.

“Apaan sih? Lo mau neh?” ia membentak, lalu menyodorkan sepotong pizza ke depan moncongku.

Tanpa basa-basi, kuterkam makanan itu dan kusantap penuh nafsu. Ia terkejut dan agak bingung, tapi kemudian ia memberiku sepotong lagi. Lama-kelamaan, ia terbiasa memberiku makanan manusia. Akan tetapi, aku hanya seekor anjing yang makan makanan manusia baginya. Itu tidak cukup!

Aku bertekad, aku akan belajar menulis. Membaca dan berhitung adalah perkara mudah, tetapi menulis dengan empat kaki ini atau mocong ini sangatlah sulit. Aku akan belajar!

Aku berhasil! Aku menulis beberapa kalimat dengan moncongku di ubin kamar majikanku dengan spidol papan tulis yang sembarang kucomot dari meja belajarnya. Majikanku terkejut dan jatuh terduduk karena lemas. Tak lama setelah itu, ia meminta pembantu-pembantunya membuangku. Karena aku memberontak, ia meminta bantuan sopir, tukang kebun, dan satpam untuk menarikku keluar dari rumah itu. Aku ditendang keluar dari rumah itu dengan keadaan luka-luka.

Tertatih aku berjalan menyeberangi jalan untuk berteduh di bawah pohon yang agak rindang di depan rumah itu karena hujan mulai menitiki tanah. Tak lama setelah itu, hujan deras menghujami bumi. Aku kedinginan dan kesepian. Aku melolong panjang. Aku ingin sekali kembali ke rumah itu, tapi aku tahu majikanku tidak akan pernah menerimaku kembali. Aku pasti telah menakutinya. Aku mendengar sendiri ia memekik, “aku gak mau pelihara anjing lagi!”.

Meskipun begitu, semangat dan rinduku tak terpatahkan. Biarpun dihantami dingin dan kerasnya hujan, aku tetap bertekad menyeberangi jalan untuk menghampiri rumah majikanku. Sayang sekali, mobil pacar majikanku melesat cepat dan mengahantamku di tengah jalan. Aku terpental dan mendarat kembali di tanah dengan keras, sehingga sebagian tubuhku tercecer.

Aku tidak jadi menghampiri rumah mantan majikanku. Aku tidak bisa. Aku hanya mampu menatapi tubuhku yang tercecer dengan darah yang mengalir deras bersama air hujan yang menuruni jalan ke selokan. Aku terapung dan melayang jauh ke atas. Bertemu dengan majikan baruku, Nabi Musa.

***

Majikanku yang cantik jelita,

janganlah anggap aku hewan

Meskipun tubuhku terperangkap dalam tubuh anjing pointer ini,

aku mempunyai jiwa berakal budi yang tidak dimiliki hewan manapun

Jiwa manusia

Aku adalah manusia yang terperangkap dalam tubuh hewan

Sungguh, aku pernah menghuni tubuh manusia

Hanya saja, ibuku mengutukku ke dalam tubuh yang tidak praktis ini

hanya karena aku membunuh ayahku yang bejat

Apa yang salah dengan membunuhnya?

Tidak penting

Yang penting, aku adalah seorang manusia yang jatuh cinta kepadamu

*)terinspirasi dari Buntut-Buntutnya… by Miund.

15/09/07

temu

Mereka saling bertatap.

“Aku menemukanmu, akhirnya.”

“Aku menemukanmu, akhirnya.”

“Aku merindukanmu.”

“Bagai ikan yang dirampas dari air.”

Mereka berpegangan tangan.

“Tetapkah cintamu untukku?”

“Tak pernah berkurang setitik pun, makin melimpah tiap harinya.”

“Tak terbendung pula cintaku untukmu.”

Mereka saling menaung dengan peluk.

Hangat.

Lembut.

Mereka saling merasakan detak jantung.

Tenang.

Damai.

Mereka saling mengecup dan sesekali saling berbisik.

“Tidakkah kita kembali?”

“Bersatu?”

“Dalam kasih.”

“Dan birahi.”

“Tidak!”

Mereka terkoyak lepas satu sama lain.

“Tidak?”

“Tidak! Ini pengkhianatan!”

“Pengkhianatan?”

“Terhadap hati masing-masing.”

“Mengapa?”

“Karena kita tidak saling memiliki”

Mereka saling berteriak.

“Lalu milik siapakah aku kalau bukan milikmu?”

“Milik kekasihmu yang menunggumu dengan setia sementara kau mengkhianatinya bersama masa lalumu!”

“Lantas milik siapa kau ini?”

“Milik kekasihku yang sekarat dalam kerinduannya kepadaku sementara aku mengkhianatinya bersama kenanganku!”

Mereka terdiam.

Mereka tertunduk malu.

Mereka saling berbalik.

Mereka berpisah.

Mereka kembali kepada takdir masing-masing.

10/09/07

zahza

Zahza adalah seorang guru Sejarah di sekolahku. Ia orang yang sangat kaku. Ia tidak pernah menunjukkan ekspresi dari sebuah emosi di wajahnya, gerak-geriknya seperti mesin, bicaranya berintonasi datar, dan ia mengajarkan persis apa yang ada dalam buku paket pelajarannya. Bahkan kegiatan dan tugas untuk murid-murid pun merupakan salinan mentah dari buku paket (murid-murid menyebutnya “guru text book”).

Berhubung aku mendapat tempat kehormatan di dalam kelas, yaitu bangku paling tengah dan paling depan, aku berada di posisi paling dekat dengannya dibanding murid-murid lain ketika ia sedang mengajar. Daripada bosan selama pelajaran, sementara tidak mungkin tidur di tempat strategis itu, aku lebih baik memperhatikan raut wajahnya daripada pelajaran yang disampaikannya. Toh, semua yang ia lisankan ada versi tulisannya di buku paket yang kumiliki. Dari raut wajahnya yang tanpa ekspresi, tampak lajur-lajur, jalur-jalur, jalan-jalan, garis-garis, keriput-keriput, terserah bagaimana menyebutnya.

Ada sesuatu yang kusukai dari jalur-jalur itu, yaitu perjalanannya. Sebenarnya semua hanya imajinasiku, tapi lebih menyenangkan berimajinasi tentang sejarah hidupnya melalui keriputan di wajahnya daripada sejarah Indonesia melalui pelajaran lisan darinya. Sungguh, di sana ada banyak hal. Ada garis-garis tipis ketika hidupnya sedang ringan, ada garis-garis dalam ketika hidupnya berat, ada juga jebolan dalam ketika hidupnya sedang jatuh.

Bagian menarik mulai di tengah-tengah sejarah kehidupannya, yaitu pengalaman pertama ia mengajar sebagai guru Sejarah.

***

Ini adalah hari pertama saya mengajar sebagai guru Sejarah di Sekolah Menengah Atas Genteng. Rasanya senang sekali! Saya membayangkan murid-murid dengan wajah manis yang akan saya ajar dan saya sayangi. Persis sebagaimana dulu guru-guru saya menyayangi saya. Saya ingat, saya tidak pernah berbuat nakal, sehingga saya yakin bahwa murid-murid saya sekarang juga akan bersikap seperti saya dulu.

Benar saja, mereka sangat tenang ketika saya mengajar. Mereka semua memperhatikan dan mencatat. Tidak ada yang berkomentar untuk melucu, tidak ada yang berbuat onar, tidak ada melawan perintah saya, semua sesuai dengan harapan saya.

Hanya saja, ketidakadaan variasi ini membuat saya bosan. Semua murid saya mirip mesin pencatat gelombang suara dari saya. Saya berkali-kali mencoba berkembang dari buku. Saya mencoba bercerita tentang hal-hal yang dapat mereka temui dengan mudah dalam kehidupan mereka sehari-hari, tapi masih berhubungan dengan materi yang saya ajarkan. Sayangnya, mereka tidak merespon. Mereka terus mencatat apa yang saya tulis di papan tulis dan apa yang saya katakan.

Selanjutnya, saya mendapat ide untuk tidak menulis lagi di papan tulis dan saya akan berbicara cepat-cepat. Ternyata, mereka tetap mencatat dengan tangan-tangan mereka yang bergerak sangat cepat.

Lalu, saya berusaha mengajak mereka beraktifitas, seperti berdiskusi, mengerjakan teka-teki silang, mencari artikel dari media cetak, tentunya tanpa menyimpang dari materi yang saya ajarkan. Memang, mereka mengerjakan semua yang saya tugaskan, tapi mereka tetap seperti mesin. Mereka saling bergerombol untuk berdiskusi dengan sangat rapi, mereka berdiskusi dengan kelompok mereka dengan formal dan kaku, mereka hanya saling berbisik sebentar saja, lalu mereka kembali ke tempat mereka masing-masing sebagai tanda bahwa mereka telah selesai. Selanjutnya, saya menanyakan hasil diskusi per kelompok dan sementara kelompok yang mendapat giliran sedang menyampaikan hasil diskusi mereka, murid-murid lain mencatat apa yang dikatakan juru bicara kelompok tersebut. Ketika harus mencari artikel, mereka hanya terus mengikuti instruksi saya, lalu mencatat. Setiap mengisi teka-teki, mereka mencatat pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang telah saya sediakan.

Saya mulai sadar, mereka tidak pernah memberikan pertanyaan kepada saya. Baiklah, saya memutuskan untuk sering-sering bertanya selama saya mengajar. Mereka cukup merespon. Mereka menjawab jika mereka tahu jawaban dari pertanyaan yang saya tanyakan dan mereka selalu benar, tapi mereka menjawab dengan hemat, tepat, jelas, dan datar. Lebih buruk lagi ketika saya memberikan pertanyaan menyimpang dari materi yang tidak ada jawabannya. Hanya keheningan yang menjawab saya. Mereka hanya menatap saya dengan tatapan datar. Mereka tetap saja mesin.

Saya mulai berpikir, apakah mereka memang mesin? Mungkin mesin-mesin ini harus diberi ilmu supaya mereka mempunyai data yang cukup untuk bekal masa depan mereka nanti ketika mereka dilepas untuk bercampur dengan manusia-manusia.

Berdasarkan pemikiran itu, saya berkeputusan untuk menyesuaikan diri dengan mereka. Saya akan menjadi kaku. Persis seperi mereka. Saya cukup mengajar apa yang tertulis di buku paket yang saya pegang, saya cukup memberikan mereka aktivitas sebatas yang disarankan buku paket yang saya pegang, dan saya hanya perlu “membacakan” buku paket yang saya pegang itu tanpa mengurangi atau menambahkan apapun.

Hasilnya baik. Saya merasa menyatu dengan mereka. Saya telah semesin sepikir dengan mereka. Saya adalah mesin. Sama seperti mereka.

***

Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnng!

Ah, bel pergantian jam pelajaran itu mengganggu ceritaku!

05/09/07

sibuk

Beberapa hari setelah mereka memutuskan untuk menjalin sebuah hubungan berstatus pacar, Cowok mendapatkan informasi dari Cewek bahwa Cewek dilarang secara halus oleh neneknya untuk berpacaran. Nenek Cewek beralasan bahwa bila Cewek berpacaran, konsentrasi sekolahnya akan berantakan dan umurnya belum cukup matang untuk menjalin hubungan semacam itu. Suatu masalah yang sudah tidak berlaku bagi Cowok karena ia sudah dewasa dan bekerja. Cowok menanyakan kepada Cewek, apakah Cewek mau melanjutkan format hubungan mereka seperti adanya saat itu. Ternyata, Cewek lebih memilih untuk melanjutkan apa yang sudah ada daripada menuruti kata-kata neneknya. Cowok berjanji tidak akan mengganggu sekolah Cewek dan membantu Cewek belajar sebisanya.

Beberapa hari setelah itu, Cewek sibuk. Sekolahnya menyediakan banyak sekali tugas untuk murid-muridnya. Setiap beberapa tugas selesai dan dikumpulkan kepada guru yang bersangkutan, selalu ada tugas-tugas lain berdesakan dalam antrian. Terkadang, masih banyak tugas yang belum selesai, sudah ada tugas lain lagi yang terlalu tidak sabar untuk menunggu. Cewek terpaksa mengurangi frekuensi pertemuan dan perbincangan di telepon dengan Cowok.

Sementara itu, Cowok pun sibuk. Perusahaan tempatnya bekerja sedang berlomba dalam persaingan dengan perusahaan lain. Karyawan-karyawan di sana pun saling bersaing. Selain pekerjaannya yang dahulu telah menggunung dan menunggu untuk dipindahkan ke gunung prestasi, masih banyak pekerjaan-pekerjaan baru yang menambah ketinggian gunung pekerjaan itu. Cowok pun harus mengurangi frekuensi pertemuan dan perbincangan di telepon dengan Cewek. Demi kebaikan bersama.

Cewek merasakan banyak perubahan. Cowok yang dulu selalu menahannya berlama-lama di telepon dan merengek jika Cewek hendak mengakhiri percakapan mereka, tidak lagi seperti Cowok yang selalu haus akan dirinya. Cowok tidak mengajaknya mengadakan pertemuan, Cowok jarang meneleponnya, Cowok jarang mengirim pesan singkat lewat ponsel kepadanya, dan banyak lagi.

Cowok berusaha menahan diri. Ia ingin maju di perusahaan itu. Demi Cewek. Ia harus menahan diri untuk tidak terlalu banyak mengganggu studi Cewek. Juga demi Cewek. Ia yakin Cewek akan sangat bangga kepadanya.

Cewek makin sebal. Cowok makin lama terasa makin jauh darinya. Cewek selalu berpura-pura sibuk dan harus mengakhiri perbincangan dengan Cowok di telepon. Ia selalu berharap Cowok akan merengek meminta percakapan dilanjutkan lebih lama, tapi ia selalu kecewa.

Cowok rindu akan Cewek, haus akan Cewek, lapar akan Cewek, tapi Cewek terlalu sibuk untuk meluangkan waktu untuknya, terlalu sibuk untuk memuaskan dahaganya, dan terlalu sibuk untuk mengenyangkan hatinya yang lapar. Cowok berusaha menahan diri. Cowok mengerti bahwa Cewek harus mengejar prestasi. Cowok juga akan bangga kepada Cewek bila Cewek menjadi seorang murid yang berprestasi.

Cewek marah kepada Cowok. Cewek merasa sudah terlalu lama diacuhkan. Cewek menuduh Cowok menduakannya mentang-mentang ia masih ingusan. Cowok ingin membela diri dan ingin marah, tapi Cowok tidak ingin Cewek bertambah marah dan tidak ingin melukai Cewek. Cowok diam saja. Cewek bertambah yakin dengan teori-teorinya. Cewek memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Cewek langsung pergi meninggalkan Cowok bersama hatinya yang kisut. Harapan Cowok untuk menjadi kebanggan Cewek telah luntur. Cowok kembali menjadi dirinya yang sendiri, seperti dulu. Cewek pun begitu.

Mereka menjalani hari-hari mereka selanjutnya dengan hati yang hanya sepotong. Mereka saling mengidamkan potongan yang lain, tapi tak pernah saling melengkapi.

03/09/07

tunggu

Sepasang kekasih yang dahulu pernah berpisah itu jatuh cinta kembali meskipun jarak memisahkan mereka.

Rena menunggu. Tiga hari lagi hari ulang tahun Reno. Rena telah meluangkan banyak waktu untuk merancang sebuah kartu dan hadiah untuk Reno. Rena menunggu hari itu untuk menitipkan pemberiannya untuk Reno kepada sopirnya. Ia tidak dapat memberikan semua itu secara langsung kepada Reno karena orang tuanya dan orang tua Reno yang saling membenci senantiasa menyusahkan mereka.

Rena menunggu...

Menunggu…

Dan menuggu...

Sampailah hari itu.

Rena berangkat ke sekolah lebih awal karena semangatnya yang bergebu mempercepat geraknya. Dengan girang, Rena mempercayakan pemberian kecilnya kepada sopirnya. Sopirnya langsung mengerti bahwa kedua majikan besarnya tidak boleh tahu menahu mengenai hal ini.

Rena menunggu lagi. Menunggu laporan dari sopinya.

***

Sepulang sekolah, Rena berlari keluar dari kelasnya, lalu dari gedung sekolahnya. Langsung menghampiri mobil sedan hitamnya. Di sana sopirnya telah siap sedia menerima titah darinya. Rena langsung melompat masuk ke mobil dan menanyakan Reno. Rena kecewa. Reno tidak di tempat.

Rena sabar.

Rena menunggu lagi…

Menunggu…

Dan menunggu…

Menunggu esok hari yang akhirnya tiba.

Kedua kalinya Rena menitipkan pemberian kecilnya untuk Reno. Kedua kalinya Rena kecewa. Reno tidak di tempat.

Rena menunggu lagi.

Rena kecewa lagi.

Rena menunggu lagi.

Rena kecewa lagi.

Rena menunggu lagi.

Rena kecewa lagi.

Rena menunggu lagi.

Rena kecewa lagi.

Rena menyerah. Rena sedih. Rena kecewa. Rena sakit hati.

Reno menyerah. Reno sedih. Reno kecewa. Reno sakit hati. Reno berusaha menemui Rena, tapi gagal menekan darah yang mengalir dari luka di hatinya sendiri. Memori lima tahun lalu terus menyayatnya. Lima tahun lalu ketika Rena memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Tanpa pembicaraan, Reno ditinggalkan, diacuhkan, dibuang. Reno merasa salah, merasa bodoh, merasa buruk, merasa percuma, merasa benci pada dirinya, merasa seperti serpihan kecil debu yang tak berarti.

Reno menangis di atap itu. Reno menangis diteduhi malam berbulan purnama, Reno menangis sementara teman-temannya mengira ia bersama keluarganya dan keluarganya mengira ia bersama teman-temannya. Reno mengangis bersama sebilah silet yang setengah terbenam di telapak tangan kanannya kerena digenggam kuat. Reno menangis dan membenamkan silet itu ke pergelangan tangan kirinya di mana urat nadinya berdetak tak damai.

Rena menangis di gudang itu. Rena menangis diteduhi atap berselimut sarang laba-laba. Rena membalikkan lembaran album lukanya ke lima tahun lalu. Lima tahun lalu ketika ia terpaksa menyakiti Reno karena tidak ingin ayahnya menyakiti Reno dengan kekuasaannya, juga karena tidak mau dipaksa menikahi pria yang sebaya dengan ayahnya. Apalagi saat itu ia masih sangat muda. Ia ingat tiap sayatan di hatinya setiap ia mengacuhkan Reno. Ia ingat sayatan terdalam ketika Reno akhirnya menemukan perempuan lain bagi dirinya. Sayatan persis seperti yang dicetaknya di pergelangan tangan kirinya di mana urat nadinya berdetak memberontak dalam persembunyiannya.

***

Reno dan Rena bertemu di alam orang mati. Di Kota Sukamati. Bersama Kurt Cobain, Hitler dan pengikut-pengikutnya, Romeo dan Juliet, dan orang-orang yang sempat mucul di koran-koran lokal.